LIPUTAN KHUSUS:

Hari Perempuan Sedunia: Apa Kabar Mama Papua?


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Indeks kekerasan dialami perempuan mengalami peningkatan di Indonesia, baik di ranah personal, ranah publik dan ranah negara. Bagaimana di Tanah Papua?

Ekologi

Sabtu, 09 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Lebih dari satu abad Hari Perempuan Sedunia atau International Women Day diperingati di seluruh dunia. Namun indeks kekerasan dialami perempuan mengalami peningkatan, khususnya di Indonesia, baik di ranah personal, ranah publik dan ranah negara, menurut Komnas Perempuan.

Keberadaan kedudukan, hak-hak dan peran perempuan dan anak perempuan masih mendapat sorotan karena konstruksi sistem patriarki dan praktik penindasan, kekerasan berbasis gender, kekerasan seksual diskriminasi, ketidakadilan dan pengabaian hak-hak perempuan dan anak perempuan, yang cenderung meningkat.

Menurut Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, di Tanah Papua, hak dasar perempuan atas kebebasan dan terlibat menentukan dan membuat putusan atas kebijakan dan proyek sosial ekonomi dan budaya, hak atas kesehatan, hak atas pangan dan gizi yang layak, acapkali diabaikan. Perempuan memiliki keterkaitan erat dengan tanah, hutan dan lingkungan alam.

Namun pengetahuan, peran dan hak-hak perempuan belum sepenuhnya dihormati dan dilindungi oleh negara maupun kelompok dominan yang mengendalikan sistem ekonomi dan kekuasaan. Pemerintah tidak melibatkan perempuan dan komunitas masyarakat adat dalam proses pembentukan hukum hingga penetapan peraturan, mengabaikan hak masyarakat adat dan perempuan dalam menerbitkan izin usaha pemanfaatan kekayaan alam yang berlangsung di wilayah adat.

Para perempuan nelayan menggelar aksi memperingati Hari Perempuan Sedunia 2024. Foto: Kiara.

Pelanggaran dan pengambilan kontrol dan penyingkiran hak dan akses masyarakat adat dan hak perempuan atas tanah dan hutan, serta kekayaan alam lainnya, dilakukan secara paksa dan cara tipu daya, menjadi sumber penyebab kemiskinan, ketidakadilan ekonomi, kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Praktik ekstraksi sumber daya alam dalam
skala luas menyebabkan merosotnya fungsi ekologis dan mengakibatkan bencana ekologis.

Kemorosotan ekologi dan pembatasan akses pada lahan dan hutan membuat perempuan menambah tenaga dan waktu untuk usaha produksi dan memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Peran ganda yang membebani, menindas dan beresiko bagi perempuan.

"Mereka juga menjadi korban eksploitasi dalam sistem kerja ‘perbudakan modern’, mengalami penipuan, kekerasan dan diskriminasi. Perempuan Pembela HAM di Papua menghadapi risiko dalam membela hak-hak mereka," kata Franky Samperante, dalam sebuah rilis, Jumat (8/3/2024).

Franky mengungkapkan, beberapa pengacara perempuan Papua mendapat intimidasi, ancaman, tindakan teror, dan komentar negatif dari pihak berwenang selama membela hak-hak mereka. Aktivis perempuan juga dituduh makar, ditangkap dan dikriminalisasi. Para perempuan Pembela HAM dari komunitas yang melakukan pembelaan atas tanah dan hutan adat, juga seringkali diintimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat keamanan negara maupun perusahaan.

Ruang inklusif bagi perempuan nelayan

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati menuturkan, Hari Perempuan Internasional menjadi momentum penting bagi semua pihak untuk kembali merefleksikan perjuangan perempuan yang saat ini menjadi inspirasi untuk seluruh pihak untuk tetap memperjuangkan dan memberikan ruang inklusif bagi seluruh perempuan.

“Dalam konteks perikanan dan kelautan, ruang inklusif bagi perempuan nelayan harus tetap diwujudkan. Praktik yang selama ini berjalan, bahwa pelibatan dan partisipasi yang bermakna dari perempuan nelayan sangat minim, terutama dalam pengambilan keputusan yang nantinya akan berdampak kepada perempuan nelayan itu sendiri,” kata Susan.

Peran dan kontribusi perempuan nelayan, menurut Susan, sangat krusial bagi perekonomian keluarga nelayan di 12.510 desa pesisir di Indonesia. Bahkan dalam riset peran dan kontribusi perempuan nelayan di Indonesia yang pernah dilakukan Kiara menyebutkan, dalam rantai perikanan pra sampai pasca produksi, perempuan nelayan berperan hingga 17 jam setiap harinya.

Akan tetapi peran krusial dalam profesi nelayan ini belum dilihat sebagai sesuatu yang penting oleh pemerintah. Dampaknya, keberpihakan dan apresiasi melalui pengakuan perempuan dalam profesi nelayan masih sangat minim diberikan.

"Salah satu penyebabnya karena masih kentalnya budaya partiarki yang terwujud dalam sistem sosial yang menempatkan perempuan hanya sebagai objek tanpa kesetaraan hak yang sama," katanya.

Kiara dan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mencatat, selain minimnya pengakuan perempuan atas profesi nelayan, perempuan nelayan kini tengah menghadapi berbagai persoalan, khususnya perampasan ruang laut (ocean grabbing) yang saat ini sangat masif di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Perampasan ruang laut (ocean grabbing) adalah bentuk penindasan baru yang juga berakar dari budaya patriarkis yang dilegitimasi oleh sistem negara melalui berbagai bentuk kebijakan, peraturan, dan orientasi pembangunan serta ekonomi yang bersifat diskriminatif dan tidak berpihak pada perempuan.

Negara belum mengakui perempuan sebagai subjek yang berdaya dan berdaulat atas sumber daya laut sekaligus yang berpotensi menjadi korban yang akan merasakan dampak paling besar dari perampasan ruang laut tersebut. Dampak dari ocean grabbing bagi perempuan adalah hilangnya hak dan kedaulatan perempuan untuk mengakses laut, mengelola laut sesuai praktik-praktik berbasis kearifan lokal perempuan yang telah dikerjakan dan diwariskan secara kolektif sebagai kekayaan intelektual perempuan Indonesia.

Ini semua merupakan fakta diskriminatif yang bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 yang menjamin hak untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan ruang laut serta Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.

Sekretaris Jenderal PPNI, Masnuah, mengatakan, di sisi lain perempuan nelayan merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban akibat ekstraktivisme, melalui industri pertambangan di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, penimbunan laut (reklamasi), proyek industri eco-pariwisata, kawasan strategis nasional, proyek konservasi ecofasis hingga krisis iklim yang tengah terjadi.

“Akan tetapi, pemerintah tidak mengerti dan tidak mau mengerti atas beban ganda yang dimiliki oleh perempuan nelayan, dan memberikan solusi palsu yang tidak menjawab akar utama berbagai permasalahan tersebut seperti perdagangan karbon (carbon trading), ekonomi biru (blue economy), penangkapan ikan terukur, dan lain sebagainya,” jelas Susan.

Susan berpendapat, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia menjalankan amanat konstitusi untuk melindungi dan memberdayakan perempuan nelayan mulai dari pengakuan profesi, peningkatan kapasitas, melindungi hak-hak konstitusional masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, hingga mengevaluasi serta menghentikan proyek ekstraktif dan eksploitatif yang terbukti dan berpotensi merampas ruang hidup perempuan nelayan.

“Pemerintah harus berbenah dan membuktikan bahwa perspektif dan budaya Pemerintah bukan patriarki. Hari Perempuan Internasional harus menjadi momentum dan titik balik bagi seluruh pihak untuk mengukuhkan ruang inklusif bagi seluruh perempuan di Indonesia,” ucap Susan.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, menyampaikan rekomendasi dan permintaan, yakni:

  1. Mendesak pemerintah nasional dan daerah menerapkan kebijakan hukum dan tindakan efektif untuk melindungi dan menghormati hak masyarakat adat, termasuk memberdayakan peran dan hak perempuan dalam mengamankan, merawat dan mengelola tanah, hutan dan lingkungan alam, serta menjamin pemenuhan hak mereka atas pangan, air, gizi layak, kesehatan dan pendidikan.
  2. Mendesak pemerintah nasional dan daerah, dan korporasi mengambil langkah-langkah hukum dan tindakan efektif untuk melindungi pembela HAM dan lingkungan, termasuk perempuan pembela HAM lingkungan.
  3. Mendesak pemerintah nasional dan daerah mengambil langkah konstruktif, tindakan efektif dan dialog damai untuk menghentikan dan menyelesaikan pelanggaran HAM dan konflik bersenjata, serta memastikan hak pengungsi dilindungi dan dipenuhi.
  4. Mendesak pemerintah nasional dan daerah mengambil langkah-langkah hukum dan tindakan efektif melakukan evaluasi dan pemberian sanksi hukum pencabutan izin atas pelanggaran administrasi, pelanggaran HAM dan kejahatan lingkungan, yang dilakukan perusahaan pengembang usaha dan industri perkebunan kelapa sawit, budidaya tanaman pangan dan energi, pembalakan kayu dan pertambangan, yang berlangsung di wilayah masyarakat adat.
  5. Mendesak pemerintah nasional dan daerah, dan korporasi untuk memastikan dan melibatkan perempuan adat secara bermakna dalam rancangan kebijakan dan usaha pemanfaatan sumber daya alam yang berdampak pada kehidupan perempuan adat dan masyarakat luas, serta melindungi dan memenuhi hak-hak pekerja perempuan.
  6. Mendesak pemerintah untuk konsisten dan sungguh-sungguh melaksanakan implementasi menetapkan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Papua Nomor 8 Tahun 2013 tentang Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua Nomor 1 tahun 2011 tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua bagi Korban Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, dengan mengatur langkah-langkah untuk melindungi perempuan dan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, termasuk rehabilitasi, pemulihan dan pencegahan kekerasan, serta pelayanan kesehatan dan dukungan psikologis kepada korban.