Studi: AS dan UE Bersalah Atas Mayoritas Kerusakan Ekologi Global

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Sabtu, 09 April 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Negara kaya seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa disebut bertanggung jawab atas mayoritas kerusakan ekologi global saat ini. Menurut studi terbaru, hal itu disebabkan oleh penggunaan sumber daya yang berlebihan.

Laporan tersebut merupakan yang pertama kali menganalisis dan menetapkan tanggung jawab atas kerusakan ekologis yang disebabkan oleh 160 negara selama setengah abad terakhir.

Amerika Serikat diketahui sebagai penyebab terbesar, terhitung 27% dari penggunaan material berlebih di dunia. Diikuti oleh Uni Eropa (25%), termasuk Inggris selama periode analisis. Negara kaya lainnya seperti Australia, Kanada, Jepang, dan Arab Saudi secara kolektif bertanggung jawab atas 22% eksploitasi sumber daya alam.

China melampaui batas keberlanjutannya dan bertanggung jawab atas 15% dari penggunaan sumber daya yang berlebihan. Sementara itu negara-negara miskin di selatan global secara massal hanya bertanggung jawab atas penggunaan 8%.

Kerusakan lingkungan akibat sampah. Foto: phys.org

“Negara berpenghasilan tinggi adalah pendorong utama kerusakan ekologi global dan mereka perlu segera mengurangi penggunaan sumber daya mereka ke tingkat yang adil dan berkelanjutan,” tulis laporan tersebut, Jumat, 8 April 2022.

Analisis tersebut, terbit di jurnal Lancet Planetary Health, menuliskan bahwa karena hutang ekologis ke seluruh dunia, maka “negara-negara (kaya) perlu memimpin dalam melakukan pengurangan radikal terkait penggunaan sumber daya mereka untuk menghindari degradasi lebih lanjut, yang kemungkinan akan membutuhkan pendekatan pasca-pertumbuhan dan degrowth yang transformatif.

Prof Jason Hickel, penulis utama studi dari Institute of Environmental Science and Technology (ICTA-UAB) di Barcelona, mengatakan bahwa temuan tersebut dramatis dan mengganggu. “Kami semua terkejut dengan besarnya kontribusi negara-negara berpenghasilan tinggi terhadap penggunaan sumber daya yang berlebihan,” katanya dikutip The Guardian, Jumat, 8 April 2022. 

“Kami tidak menyangka akan setinggi itu. Jika mereka sekarang ingin mencapai tingkat yang berkelanjutan, mereka perlu mengurangi penggunaan sumber daya mereka rata-rata sekitar 70% dari tingkat yang ada.’’

Bukti menunjukkan bahwa langkah ini akan mengharuskan negara-negara kaya seperti Inggris dan Amerika Serikat “untuk berhenti berfokus pada pertumbuhan PDB sebagai tujuan utama dan mengatur ekonomi mereka. Dan mulai mendukung kesejahteraan manusia dan mengurangi ketidaksetaraan”, katanya.

Penelitian ini menganalisis ekstraksi domestik serta bahan baku yang terlibat dalam arus perdagangan global untuk sumber daya seperti bahan bakar fosil, kayu, logam, mineral dan biomassa. Hickel dan rekan lainnya menggunakan data dari panel sumber daya internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan perhitungan ekstrapolasi.

Janez Potočnik, co-chair panel PBB dan mantan komisaris lingkungan Uni Eropa, menyebut kesimpulan studi tersebut "logis dan benar".

“Negara-negara berpenghasilan tinggi adalah yang benar-benar melampaui batas kemampuan planet,” kata Potočnik.

“Mereka telah menetapkan aturan permainan ekonomi dan standar [global] dan mereka harus menunjukkan bahwa mereka mampu dan siap untuk memimpin jalan kembali ke keberlanjutan," tambahnya. 

Sekitar 44% dari hampir 2,5 triliun ton material yang diekstraksi digunakan oleh negara-negara yang telah melampaui penggunaan sumber daya yang adil, kata studi tersebut.

Selama periode yang sama, 58 negara termasuk India, Indonesia, Pakistan, Nigeria, dan Bangladesh tetap berada dalam batas keberlanjutan mereka.

Hickel mengatakan, strategi degrowth dapat meningkatkan kehidupan masyarakat jika mereka mewajibkan produsen untuk mengakhiri praktik seperti keusangan bawaan (built-in obsolescence), perluasan angkutan umum dan perbaikan insentif, daur ulang dan penggunaan kembali.

Laporan terakhir IPCC awal pekan ini juga mengatakan bahwa jalur degrowth mungkin "penting" untuk menggabungkan kemajuan sosial dengan strategi mitigasi yang layak secara teknis.