9 Petani IKN Gundul di Tahanan, Polda Kaltim Disebut Langgar HAM

Penulis : Kennial Laia

Agraria

Kamis, 07 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Sembilan petani yang ditangkap polisi di Desa Pantai Lango, Penajam Paser Utara, Kalimantan Utara, telah dilepaskan pada 1 Maret 2024. Namun saat kembali ke rumah, kepala mereka botak. Sumber Betahita.ID mengatakan rambut mereka digunduli saat berada dalam tahanan di Polda Kaltim.

Redaksi juga menerima foto yang memperlihatkan sejumlah petani yang telah dicukur kepalanya. “Informasi yang kami terima, istri mereka membesuk saat masih ditahan. Sembilan (petani) itu digunduli. Seperti penjahat saja,” kata sumber Betahita.ID, Sabtu, 2 Maret 2024. 

Sebelumnya para petani, yang merupakan anggota Kelompok Tani Saloloang, ditangkap pada Sabtu, 24 Februari 2024. Mereka dituduh mengancam proyek pembangunan bandara IKN dan membawa senjata tajam ke area proyek. Sebagai catatan, mereka juga petani yang tengah berkonflik dengan Badan Bank Tanah, karena menolak menyerahkan lahannya. 

Sembilan petani itu antara lain RL(71), DD (59),  AL (54), PZ (48), RY (47), SHP (43), KR (39), AS (33), dan MH (26). Mereka dijerat Pasal 335 ayat 1 KUHP dan/atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 terkait ancaman yang disertai dengan penggunaan senjata tajam.

Sembilan petani (kanan) dari Desa Pantai Lango, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, duduk berjejer dengan kepala tercukur saat rapat koordinasi penangguhan penahanan di Polda Kaltim. Dok. Humas Setkab PPU

Pemerintah berencana membangun Bandara VVIP di lahan seluas 347 hektare, yang di dalamnya termasuk wilayah kelola (kebun dan ladang) masyarakat seperti desa Pantai Lango, Jenebora, dan Gersik. Sementara itu luas terminalnya 7.350 meter persegi dan berjarak 23 kilometer dari titik nol IKN. 

Pelepasan tersebut tidak lantas menjadikan petani bebas. Mereka berstatus wajib lapor kepada penyidik atau menjadi tahanan luar. 

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan bahwa penangkapan itu tidak sah. “Selain tidak dilakukan berdasarkan surat perintah, juga sudah melanggar hak asasi manusia (HAM) dengan menggunduli kepalanya,” kata Fickar kepada redaksi, Senin, 4 Maret 2024. 

Penangkapan itu tidak sah. “Selain tidak dilakukan berdasarkan surat perintah, juga sudah melanggar HAM dengan menggunduli kepalanya.

“Tindakan yang semena-mena dari aparat kepolisian menggambarkan bahwa negara tidak menghormati hukum, hak masyarakat atas tanah. Karena itu harus diproses secara hukum,” kata Fickar. 

Peneliti hukum Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Marsya Mutmainah mengatakan, penggundulan tahanan tidak memiliki dasar hukum di Indonesia. Meskipun berstatus sebagai tahanan, warga negara harus tetap diperlakukan secara bermartabat dan tidak boleh direndahkan. 

Penggundulan tersebut juga bertentangan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia, yang telah diratifikasi pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.

Pemaksaan penggundulan dapat dikatakan sebagai suatu upaya merendahkan bahkan penyiksaan yang bertentangan dengan konvensi tersebut,” kata Marsya. 

“Pemaksaan penggundulan dapat dikatakan sebagai suatu upaya merendahkan bahkan penyiksaan yang bertentangan dengan konvensi tersebut.”

Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra mengatakan, mencukur kepala seseorang tanpa persetujuan secara hukum merupakan bentuk hukuman atau punishment yang tidak sah. 

Punishment demikian menjadi tidak sah menurut hukum karena dijatuhkan kepada orang yang belum tentu bersalah. Lebih jauh, tindakan menggunduli ini dapat juga dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” ujarnya. 

Diadukan hari itu, ditangkap hari itu juga 

Menurut sumber Betahita.ID, penangkapan sembilan petani Pantai Lango tersebut tidak disertai surat penangkapan. Dokumen tersebut baru diterima keluarga keesokan harinya. 

Dalam salah satu surat penangkapan yang diterima redaksi, surat tersebut langsung menyebut petani yang bersangkutan sebagai tersangka. 

Menurut Roni, proses penegakan hukum di Indonesia mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP dijelaskan penegakan hukum itu dimulai dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan. 

“Untuk penetapan seseorang sebagai tersangka, haruslah terlebih dahulu melewati proses penyelidikan,” kata Roni. 

Penyelidikan dalam KUHAP dipahami sebagai serangkaian tindakan untuk mencari dan menentukan apakah suatu peristiwa yang yang terjadi merupakan peristiwa pidana atau tidak. Menurut Roni, penentuan ini tidak bisa hanya berdasarkan asumsi dari polisi, melainkan harus berdasarkan bukti permulaan, yaitu dua alat bukti. 

“Jika dari hasil penyelidikan ternyata peristiwanya merupakan tindak pidana, maka dilanjutkan dengan melakukan penyidikan, yaitu untuk membuat terang tindak pidana dan menemukan siapa tersangkanya,” ujar Roni. 

“Berdasarkan ketentuan KUHAP tersebut, maka tidak logis jika seseorang yang dilaporkan atau ditangkap langsung ditetapkan sebagai tersangka,” kata Roni. 

Roni mengatakan, seharusnya langkah pertama yang harus dilakukan polisi adalah memeriksa tertuduh sebagai saksi. Setelah selesai pemeriksaan saksi-saksi, dilakukan gelar perkara. Tahap ini akan menentukan apakah yang bersangkutan merupakan tersangka atau bukan, yang harus didasari dengan dua alat bukti. 

“Apalagi perkara yang dituduhkan kepada sembilan petani tersebut menggunakan model B. Laporan ini mengindikasikan bahwa perkara ini dilaporkan oleh masyarakat, bukan merupakan hasil operasi kepolisian (biasa menggunakan model A),” kata Roni. 

Roni menilai adanya keanehan dalam perkara yang melibatkan petani Pantai Lango tersebut. Laporan polisi tertanggal 24 Februari 2024, dan pada tanggal yang sama dikeluarkan surat perintah penyidikan, tidak ada penyelidikan, dan langsung juga pada saat itu dilakukan penangkapan.

Laporan polisi tertanggal 24 Februari 2024, dan pada tanggal yang sama dikeluarkan surat perintah penyidikan, tidak ada penyelidikan, dan langsung juga pada saat itu dilakukan penangkapan.

“Jelas secara administrasi penegakan hukum, tindakan ini adalah tindakan yang keliru, dan biasa dimanfaatkan untuk membungkam masyarakat. Pasalnya pun jelas sekali pasal-pasal karet, yaitu pasal 335 ayat (1) KUHP dan pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 tahun 1951,” kata Roni.