KPA Menilai Penunjukkan Menteri ATR/BPN Salah Orang

Penulis : Kennial Laia

Agraria

Kamis, 22 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengkritisi keputusan Presiden Joko Widodo melantik Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang baru. Pada sisa periodenya yang tinggal beberapa bulan lagi, keputusan tersebut dinilai tidak mencerminkan janjinya untuk menyelesaikan konflik agraria. 

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Sartika mengatakan, Jokowi masih memiliki janji politik, yakni merealisasikan reforma agraria di Indonesia. Menurutnya, pada pertemuan langsung di Istana Negara tahun 2020, Jokowi berjanji setidaknya akan menyelesaikan 50% lokasi prioritas reforma agraria. 

KPA meragukan jika AHY akan menyelesaikannya. “Mengingat urgensi penyelesaian konflik agraria dan sisa waktu yang semakin menipis, kami menilai penunjukan AHY bukan pilihan yang tepat, sebab latar belakang dia yang tidak banyak bersentuhan dengan sektor agraria,” kata Dewi, Rabu, 21 Februari 2024. 

“Seharusnya, di sisa akhir masa pemerintahannya, Jokowi menunjuk sosok menteri yang sudah berpengalaman dan memahami seluk-beluk persoalan agraria. Bukan sosok yang perlu beradaptasi dan perlu waktu belajar memahami lagi masalah-masalah agraria,” ujarnya. 

Presiden Jokowi melantik Agus Harimurti Yudhoyono dari Partai Demokrat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 21 Februari 2024. Dok Instagram @jokowi

Secara khusus, janji penyelesaian konflik agraria ini terkait dengan redistribusi tanah hasil penyelesaian konflik agraria masyarakat dengan konsesi perkebunan swasta maupun PTPN. Namun, memasuki 10 tahun masa kepemimpinannya, janji tersebut tidak kunjung terlaksana.

Dewi menilai upaya-upaya yang dilakukan selama ini tidak mengarah pada penyelesaian konflik agraria, koreksi ketimpangan penguasaan tanah, maupun redistribusi tanah kepada petani.

Menurutnya, salah satu penyebab mandeknya realisasi reforma agraria adalah kinerja buruk Tim Nasional Reforma Agraria dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Pekerjaan rumah besar Jokowi lainnya di bidang agraria, termasuk kegagalan Reforma Agraria terhadap klaim-klaim kawasan hutan di atas tanah-tanah petani, masyarakat adat, dan puluhan ribu desa.

“Hal ini mengakibatkan persoalan agraria semakin menumpuk selama rezim pemerintahan Jokowi,” kata Dewi. 

KPA mencatat, terjadi 2.939 letusan konflik agraria di berbagai sektor dengan luas 6,3 juta hektare selama sembilan tahun terakhir. Adapun korban terdampak mencapai 1,75 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, terdapat 2.442 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi, 905 orang mengalami kekerasan, 84 orang tertembak, dan 72 tewas di wilayah konflik agraria.

Dewi mengatakan, di sisa waktu pemerintahannya, Jokowi memerlukan terobosan politik untuk memastikan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah kepada petani. Penunjukan AHY sebagai Menteri ATR/BPN tidak menjadi solusi bagi pekerjaan rumah tersebut. 

“Kami sangat menyayangkan sikap Jokowi yang lebih memilih bagi-bagi jabatan daripada fokus pada percepatan 9 juta hektare reforma agraria sesuai janji politiknya dalam Nawacita,” kata Dewi. 

AHY merupakan Ketua Umum Partai Demokrat, yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Indonesia ke-enam serta ayah dari AHY. Demokrat juga berada dalam gerbong koalisi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi. 

KPA mencatat, Partai Demokrat yang dipimpin AHY memiliki rekam buruk konflik agraria di Indonesia pada dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selama dua periode berkuasa (2004-2014), SBY tercatat memberikan 55 juta hektare konsesi kepada korporasi kehutanan, sawit, dan tambang.

Pada periode yang sama, KPA mencatat 1.520 letusan konflik agraria seluas 5,71 juta hektare yang berdampak pada 977.103 keluarga. Selain penggusuran, terdapat 1.433 orang dikriminalisasi, 636 dianiaya, 110 tertembak, dan 155 tewas selama masa pemerintahan SBY. 

Redistribusi tanah dalam kawasan hutan baru 9,2%

Sementara itu, pemerintah menyatakan redistribusi tanah dari program reforma agraria milik pemerintah masih rendah. Secara khusus untuk pelepasan kawasan hutan hanya berada di angka 9,2%, menurut catatan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). 

Persentase tersebut sekitar 380.179,49 hektare dari total 4,1 juta hektare. 

Sebagai catatan, terdapat dua jenis redistribusi tanah, yakni lahan bekas hak guna usaha (HGU), tanah telantar, dan tanah negara lainnya. Sisanya berasal dari pelepasan kawasan hutan. 

Menurut Direktur Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN Dalu Agung Darmawan, rendahnya capaian redistribusi pelepasan kawasan hutan disebabkan oleh sulitnya identifikasi tanah. 

"Yang pertama berkaitan dengan data pelepasan hutan ini wilayahnya pasti kan di daerah-daerah pinggiran, di perbatasan hutan. Setelah kita analisis, ternyata tidak semua tanah-tanah itu dikuasai oleh masyarakat, misalnya tebing, air, dan seterusnya," kata Dalu di Jakarta, Selasa,  20 Februari 2024, dikutip detik.com.

Dalu mengatakan pihaknya memastikan tahun ini tanah-tanah tersebut teridentifikasi dengan baik dan akan didaftarkan. 

Pemerintah juga akan mempertimbangkan subjek kepemilikan lahan, yang mandatnya dipegang oleh Gugus Tugas Reforma Agraria selaku koordinator penyediaan tanah objek reforma agraria atau TORA di tingkat nasional. 

Proses redistribusi tanah yang lambat ini juga dipengaruhi oleh penyelesaian konflik di lapangan. “Dari target kami sebagian terserap untuk penyelesaian konflik. Jika dilihat dari gambaran eks-HGU hampir 300% melebihi target yang ada,” kata Dalu. 

“Jadi di bersamaan dengan penyelesaian masalah di hutan itu, kita dihadapkan penyelesaian konflik di tanah terlantar, eks-HGU, masyarakat yang menguasai tanah negara. Itu semua ternyata masih harus kita perhatikan," ujarnya. 

Faktor lainnya adalah terdapat ketidaksesuaian subjek penerima redistribusi tanah. Program ini memang ditujukan untuk buruh tani hingga nelayan, namun fakta di lapangan justru dikuasai masyarakat perkotaan. Dalu berkata tahun ini pemerintah akan menyelesaikan masalah tersebut.