Unilever Jualan Plastik Saset 1.700 Buah per Detik

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Polusi

Kamis, 07 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Perusahaan Unilever menjual 1.700 plastik saset yang mencemari lingkungan setiap detiknya, sehingga memicu krisis pencemaran plastik global dan mengirim limbah dalam jumlah besar di negara-negara selatan, menurut laporan terkini yang dirilis hari ini oleh Greenpeace Internasional.

Laporan berjudul Undercovered: Unilever's Complicity in the Plastics Crisis and Its Power to Solve It tersebut mengungkapkan data dan analisis baru yang mengungkap peran Unilever dalam krisis pencemaran plastik. Laporan tersebut menunjukkan bahwa Unilever berada di jalur menuju penjualan 53 miliar saset pada 2023, meskipun seorang senior di perusahaan tersebut menggambarkan kemasannya sebagai “jahat karena tidak dapat didaur ulang”.

“Unilever benar-benar memperparah krisis pencemaran plastik,” kata Nina Schrank, Kepala Kampanye Plastik di Greenpeace Inggris, dalam sebuah rilis, 28 November 2023 lalu.

Nina menggarisbawahi salah satu merek terkenal keluaran Unilever, Dove, karena membangun citra bahwa mereka mempunyai kekuatan untuk kebaikan. Padahal mereka menghasilkan sampah plastik dalam jumlah yang sangat besar.

Sampah plastik di sekitar Pulau Freedom di Las Pinas, Filipina. Kawasan ini selalu dipenuhi dengan sampah plastik yang berasal dari lautan. Jumlah sampah plastik di sini tidak berhenti bahkan dengan pembersihan pantai yang terus menerus dilakukan oleh berbagai kelompok. Foto: Jilson Tiu/Greenpeace.

"Ini meracuni planet kita. Mereka tidak dapat mengklaim sebagai perusahaan yang beritikad baik, sementara bertanggung jawab atas polusi yang begitu besar. Unilever harus berubah," ucap Nina.

Saset atau saschet--kemasan plastik kecil sekali pakai untuk produk konsumen--semakin banyak dipasarkan ke negara-negara Selatan oleh perusahaan besar seperti Unilever. Namun penjualan saset dalam jumlah besar ini, yang hampir mustahil untuk dikumpulkan dan didaur ulang, mengakibatkan pencemaran plastik yang sangat besar. Hal ini telah merusak lingkungan dan saluran-saluran air dimana saset menyumbat saluran-saluran air dan memperburuk masalah seperti banjir.

Diperkirakan 6,4 miliar saset diproduksi oleh merek Unilever, Dove, pada tahun 2022, yang mencakup lebih dari 10% total penjualan saset Unilever. Seorang tokoh senior di Dove menyatakan “kami sangat berkomitmen untuk menjadi salah satu merek yang memberikan dampak terbesar terhadap sampah plastik.”

Namun investigasi lapangan terbaru yang dilakukan oleh Greenpeace Asia Tenggara dan Greenpeace Inggris mengungkap gambaran mengejutkan tentang pencemaran plastik saset Dove di pantai dan perairan Filipina dan Indonesia.

Laporan ini juga melihat lambatnya kemajuan Unilever dalam memenuhi target pengurangan kemasan plastiknya, dan lemahnya upaya Unilever dalam beralih dari plastik sekali pakai ke solusi guna ulang. Meskipun berjanji untuk mengurangi separuh penggunaan plastik murni pada 2025, analisis Greenpeace mengungkapkan, Unilever tampaknya akan melampaui target ini hampir satu dekade hingga 2034.

Meskipun mereka mengklaim sedang mengeksplorasi “solusi isi ulang dan guna ulang kepada konsumen di seluruh dunia”, analisis Greenpeace menunjukkan bahwa dengan kecepatan saat ini, diperlukan waktu hingga lebih dari tahun 3000 agar 100% produk Unilever dapat digunakan kembali.

Greenpeace menyerukan kepada Unilever untuk menghentikan penggunaan plastik saset sekali pakai dalam operasinya dan melakukan transisi ke kemasan guna ulang dalam 10 tahun ke depan. Greenpeace juga menyerukan perusahaan tersebut untuk mengadvokasi ambisi yang sama pada negosiasi Perjanjian Plastik Global PBB yang sedang berlangsung, dan mendukung perjanjian yang membatasi dan mengurangi produksi plastik setidaknya 75% pada 2040.

Marian Ledesma, juru kampanye plastik Greenpeace Filipina mengatakan, setiap bungkus Dove yang pihaknya temukan mencemari pantai dan saluran air seharusnya menjadi tanda aib bagi Dove dan Unilever. Mereka tidak bisa terus menerus membanjiri negara-negara seperti Filipina dengan sampah yang dapat menimbulkan dampak buruk.

Unilever, katanya, telah memproduksi saset selama beberapa dekade, namun tidak pernah menunjukkan pertanggungjawaban atas pencemaran yang mereka timbulkan. Setiap kemasannya mewakili risiko kesehatan yang sangat besar, degradasi lingkungan, ketidakadilan sosial, dan dampak iklim yang disebabkan oleh produksi dan siklus hidup plastik.

“Jika Unilever ingin terlihat sebagai pemimpin, mereka harus berhenti menjadi bagian dari masalah. Mereka harus menunjukkan keseriusan mereka dan berkomitmen untuk menghentikan penggunaan plastik sekali pakai, dimulai dari kemasan saset," kata Marian.

"Dan seiring dengan berlanjutnya perundingan mengenai perjanjian ini, mereka harus menggunakan pengaruhnya di panggung dunia untuk mendorong ambisi ini menjadi inti dari Perjanjian Plastik Global yang kuat,” ucapnya.

Di Indonesia, Unilever telah menyerahkan peta jalan pengurangan sampah sesuai mandat Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan. Namun, dengan jumlah produksi kemasan plastik mereka yang sangat besar, target pengurangan sampah 30% di 2029 sangat diragukan untuk tercapai.