Daftar Catatan NGO tentang Penyelesaian Sawit di Kawasan Hutan

Penulis : Gilang Helindro

Sawit

Senin, 06 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sawit Watch menilai proses penyelesaian sawit dalam kawasan hutan tertutup dan tidak transparan. Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch mennyatakan, publik--termasuk organisasi masyarakat sipil--tidak diberikan informasi yang cukup untuk mengetahui sejauh mana perkembangan prosesnya. 

“Bahkan Surat Keputusan (SK) KLHK terkait subjek hukum yang terindikasi berada dalam kawasan hutan dan diharapkan menyelesaikan melalui mekanisme Pasal 110 A dan 110 B juga tidak dapat diakses publik,” katanya, Jumat, 3 November 2023. 

Surambo menjelaskan, batas waktu penyelesaian sawit dalam kawasan hutan telah melewati tenggat. Menurut amanat Undang-Undang Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Penetapan Perpu CK), batas waktunya 2 November 2023. 

Secara prinsipnya, kata Surambo, Sawit Watch menolak proses pemutihan sawit di dalam kawasan hutan tersebut. Kebijakan ini, kata dia, dapat menjadi celah bagi perusahaan untuk melakukan pelanggaran serupa di masa depan. Proses pemutihan usaha perkebunan sawit di kawasan hutan dapat menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum yang menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan. "Harusnya proses penyelesaian melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UU P3H) dapat dilanjutkan," katanya. 

Tampak dari ketinggian lahan yang dulunya hutan alam telah gundul untuk pembangunan perkebunan sawit PT Papua Agro Lestari (Grup Korindo) di Merauke, Papua Selatan./Foto: Mighty Earth

Untuk itu, pada September 2023, pihaknya telah mendaftarkan uji materi pasal pemutihan sawit di dalam kawasan hutan ini kepada Mahkamah Agung. Gugatan materil ini sebagai upaya untuk memastikan perusahaan sawit tidak mengabaikan tanggung jawab atas ketidakpatuhan dan pelanggaran yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. "Namun hingga saat ini kami belum mendapat kepastian atau hasil akhir atas gugatan yang kami lakukan tersebut," dia mengatakan. 

Gunawan, Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) menjelaskan, kebijakan pemutihan sawit dalam kawasan hutan menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum yang menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan. Seharusnya, kata Gunawan, pengakuan hak atas tanah masyarakat dan reforma agraria tidak merujuk ke aturan tentang perizinan berusaha sebagaimana diatur di dalam UU Cipta Kerja dan aturan pelaksananya yang justru menghambat pencapaian reforma agraria dan peremajaan sawit rakyat. 

“Guna mengejar pencapaian perkebunan sawit berkelanjutan perlu didukung dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dengan melibatkan partisipasi publik secara lebih bermakna yang akan menciptakan transformasi sawit di mana perusahaan perkebunan tidak lagi ekspansi lahan ke kawasan hutan, melainkan percepatan penganekaragaman produk olahan sawit,” katanya. 

Ahmad Zazali, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA) menambahkan, dalam simulasi penghitungan denda administratif kategori Pasal 110B UUCK yang dikeluarkan KLHK menunjukkan, untuk sawit dalam kawasan hutan seluas 10.000 hektare dengan lama usaha produktif 10 tahun, dan keuntungan bersih per tahun per hektar setara Rp. 25 juta serta tutupan hutan sebesar 20 persen, dendanya sebesar Rp 500 milyar. Artinya, kata Zazali, setiap satu hektare sawit dalam kawasan hutan akan menyetor ke rekening PNBP Kehutanan sebesar Rp 50 juta. Jika diasumsikan semua perkebunan sawit dalam kawasan hutan milik perusahaan seluas 2,1 juta hektare membayar denda, maka negara seharusnya mendapatkan pendapatan dari PNBP Kehutanan sebesar Rp 105 triliyun. Ini belum termasuk denda administratif dari perkebunan milik perorangan, kelompok tani atau koperasi yang luasnya di atas 5 hektare, serta denda administratif kategori Pasal 110A UUCK. 

“Besaran perkiraan denda tersebut jauh di atas target Kementerian LHK yang menyebut denda administratif hanya Rp 50 triliyun”, Kata Zazali. 

Zazali menyebut, publik perlu mengetahui secara pasti sudah berapa banyak pelaku usaha perkebunan sawit yang sudah melakukan pembayaran denda administratif kategori Pasal 110A dan 110B.

“Untuk itu transparansi dan akuntabilitas dari KLHK dinantikan publik. Pasca berakhirnya batas waktu penyelesaian sawit dalam kawasan hutan pada 2 November lalu, menjadi menarik untuk kita ketahui langkah apa yang akan ditempuh pemerintah selanjutnya,” katanya.