Indonesia Darurat Perlindungan Satwa Liar

Penulis : Riszki Is Hardianto - Peneliti Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara

OPINI

Selasa, 11 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara sering dinyatakan sebagai pusat terjadinya penurunan populasi atau kepunahan satwa. Itu karena hutan alam di Indonesia mengalami deforestasi yang cukup besar, yaitu sebesar 9.922.289 hektare sepanjang 2001-2019. Selain itu Indonesia juga menjadi salah satu negara pusat perdagangan satwa liar dengan estimasi kerugian mencapai Rp806,83 milliar pada periode 2015-2021.

Fenomena kepunahan ini juga bukan hal yang sederhana untuk dibahas. Sebab banyaknya faktor yang menjadi penyebab di dalamnya, dan menyebabkan satwa-satwa liar ini punah dalam kesunyian. Itu bisa terjadi lantaran kurangnya data dalam kondisi populasi pada masing-masing satwa liar yang ada di Indonesia.

Keterbatasan data ini kemungkinan besar dikarenakan dalam pengumpulan data populasi tidak dilakukan pada semua lanskap yang menjadi habitatnya dan hanya dilakukan pengambilan data pada area tertentu/terbatas, serta dilakukan pada satu waktu tertentu saja. Sehingga menyebabkan data tidak berkelanjutan dan tren kondisi populasi tidak tergambar dengan baik.

Padahal, untuk mengetahui tren kondisi populasi suatu satwa, dibutuhkan pengambilan data yang dilakukan secara berkelanjutan di suatu kawasan habitatnya. Semua data populasi ini akan sangat berguna dalam menentukan kebijakan pengelolaan pada suatu satwa, sehingga dalam penentuan kebijakan dan arah dalam upaya konservasi suatu spesies dapat tepat sasaran dengan kondisi sebenarnya yang ada di lapangan.

Tampak dari ketinggian hutan alam di Kalimantan Timur dibabat untuk perkebunan kayu. Foto: Auriga Nusantara.

Selain data yang terbatas, ada juga kesenjangan informasi yang bisa didapatkan berdasarkan kepopuleran satwa, seperti jenis-jenis satwa kharismatik seperti gajah dan harimau masih cukup mudah untuk dicari informasinya. Sedangkan satwa-satwa yang ada di Indonesia bagian tengah dan timur masih cukup sulit untuk dikumpulkan informasinya.

Di sisi lain, sebenarnya banyak satwa endemik yang ada di Indonesia bagian tengah dan timur dalam kondisi yang cukup memprihatinkan dan membutuhkan penyebaran informasi seluas-luasnya untuk mendapat dukungan masyarakat dalam upaya konservasinya, seperti  landak semut (Zaglossus attenboroughi) yang sudah masuk ke daftar merah IUCN sebagai satwa yang kritis (Critically Endangered).

Ancaman Kepunahan Massal Berikutnya

Makhluk bumi berada di ambang kepunahan massal keenam, sebanding dengan yang memusnahkan dinosaurus. Itulah kesimpulan sebuah studi baru, yang menghitung bahwa tiga perempat spesies hewan saat ini dapat musnah dalam waktu 300 tahun.

Spesies secara alami datang dan pergi dalam jangka waktu yang lama. Bumi telah mengalami lima kepunahan massal, termasuk asteroid yang memusnahkan dinosaurus dan makhluk lain 65 juta tahun lalu. Konservasionis telah memperingatkan selama bertahun-tahun bahwa kita berada di tengah kepunahan berikutnya, yang kebanyakan disebabkan oleh manusia, mulai dari spesies katak hingga mamalia besar seperti badak.

Sehingga perlu dukungan bersama dan keterbukaan data yang jelas terkait kondisi satwa liar yang ada di Indonesia, guna melindungi satwa liar yang terancam punah beserta habitatnya. Sehingga kepunahan massal dapat ditunda beberapa ratus tahun ke depan dan kita bersama dapat menghindar dari jurang kepunahan massal yang sudah mengintai satwa-satwa yang tersisa sekarang ini.

Jangan sampai kita kehilangan hal-hal kecil yang tidak diperhatikan tapi sebenarnya hal-hal kecil itu yang menjalankan dunia ini. Ya satwa-satwa itu sangat penting bagi kelangsungan planet kita yang sangat besar ini.

Alih fungsi lahan menjadi salah satu faktor terbesar dalam mendorong satwa-satwa kita ke jurang kepunahan. Hal ini tergambar dari tidak sebandingnya biaya lingkungan dan upaya pemulihannya dengan alih fungsi lahan dan habitat satwa yang sudah dilakukan pada masing-masing lanskap.

Industrialisasi skala besar telah menyebabkan fragmentasi bentang alam yang meluas di seluruh dunia. Habitat yang dulunya berkesinambungan sekarang terkotak-kotak dan terisolasi, menyebabkan terjadinya pusaran kepunahan pada beberapa spesies, karena mereka tidak dapat lagi untuk bertahan hidup seperti untuk mencari makanan atau pasangan.

Perhatian akan kepunahan keanekaragaman hayati sudah menjadi perhatian dunia, seperti pada Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dilaksanakan pada Maret 2019 berjudul Inovasi tentang keanekaragaman hayati dan degradasi lahan, “mendorong Negara Anggota untuk memperkuat komitmen dan meningkatkan upaya mereka untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan degradasi lahan. Selain itu juga mendesak pemerintah dan semua pemangku kepentingan lainnya untuk mempertimbangkan keanekaragaman hayati di semua sektor masyarakat dan berpartisipasi dalam upaya pelestariannya.




Tidak ada ruang untuk satwa liar

Melindungi satwa liar berarti juga melindungi habitatnya, termasuk yang ada di luar kawasan konservasi sehingga semua pihak termasuk pemilik konsesi hutan juga memiliki tanggung jawab melindungi semua satwa liar yang ada di wilayahnya tanpa terkecuali. Banyak jenis-jenis satwa liar yang kebanyakan berada di luar kawasan konservasi seperti orangutan kalimantan dan gajah sumatera. Habitat orangutan kalimantan mungkin proporsional habitat yang paling rendah yang berada di kawasan konservasi yaitu hanya 11 persen saja sedangkan 82 persen lainnya berada di luar kawasan konservasi.

Terkhusus untuk gajah sumatera, sebagaimana tertuang pada Rencana Tindakan Mendesak (RTM) 2020 – 2023 hampir 80 persen habitatnya berada di luar kawasan konservasi. Bila dibandingkan dengan data kantong gajah pada dokumen sebelumnya (Strategi Rencana Aksi Konservasi 2007-2017) diketahui terdapat penyusutan habitat gajah seluas 1.359.456 hektare. Penyusutan habitat gajah sumatera yang terjadi ini mayoritas terjadi di kawasan non konservasi, yakni di kawasan konsesi dan di luar kawasan konservasi non-konsesi.

Satwa liar berpotensi terancam punah bukan saja disebabkan oleh perburuan yang marak terjadi, tapi juga disebabkan oleh kehilangan habitatnya yang dikarenakan konversi lahan, kebakaran hutan dan aktivitas manusia. Maka dari itu, rencana tata ruang wilayah (RTRW) menjadi sangat penting guna memastikan manusia dan satwa liar dapat berbagi ruang dan hidup berdampingan.

Banyak wilayah administrasi yang sedang mengusulkan revisi RTRW bahkan sudah ada yang disahkan, salah satunya adalah Provinsi Kalimantan Timur. Revisi RTRW Kaltim 2022-2042 telah di setujui menjadi peraturan daerah oleh Pemprov dan DPRD pada akhir Maret 2023.

Berdasarkan data yang dirilis Koalisi Indonesia Memantau, total ada 736.055 hektare hutan yang mengalami perubahan peruntukannya pada Revisi RTRW Kaltim. Perubahan peruntukan tersebut 56 persen di antaranya merupakan hutan alam dan berpotensi terjadinya deforestasi serta hilangnya habitat satwa yang ada di dalam area tersebut.

Satwa kharismatik yang sangat berdampak dari revisi RTRW ini adalah orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) dan badak kalimantan (Dicerorhinus sumatrensis harrisoni). Sebesar 64 persen dari total usulan revisi RTRW Kaltim 2022 -2042 merupakan habitat dari orangutan kalimantan. Dengan begitu maka dalam beberapa waktu ke depan bisa dipastikan orangutan kalimantan akan kembali kehilangan habitatnya seluas 467.792 hektare, dan tentu juga akan mengancam populasi orangutan yang ada di dalam kawasan tersebut.

Populasi orangutan kalimantan yang mengalami penurunan, tentu akan semakin berpotensi menurun dengan adanya revisi RTRW ini. Selain orangutan kalimantan, satwa yang sangat berdampak adalah badak kalimantan. Berdasarkan hasil kajian Indonesia Memantau diketahui 100 persen habitat badak kalimantan tersisa masuk ke dalam revisi RTRW ini. Yang mana 65 persen dari habitat badak kalimantan tersisa ini justru masuk ke dalam konsesi PBHP-HT dan IUP tambang.

Habitat badak kalimantan yang ada di Kaltim ini merupakan habitat badak terakhir yang ada di Pulau Kalimantan, setelah badak di Malaysia sudah dinyatakan punah pada 2019. Kondisi habitatnya yang sebagian besar merupakan kawasan konsesi tentu akan mempersulit badak kalimantan ini untuk bertahan, dan tentu saja akan semakin mengancam dari kelestariannya.

Semua permasalahan dan kendala-kendala yang bisa mengancam kelestarian dari satwa-satwa yang tersisa, sepertinya sudah dipetakan dengan baik, akan tetapi kerja sama para pihak maupun stakeholder terkait harus lebih ditingkatkan lagi, agar dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam upaya konservasi satwa-satwa yang ada.

Penulis menilai, revisi RTRW Kaltim ini terlihat seperti tidak memperhatikan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya, seperti badak kalimantan dan orangutan kalimantan, yang sebenarnya sudah dalam kondisi sangat terancam kelestariannya.