Harimau di Meja Rakyat, Asli atau Palsu?
Penulis : Riszki Is Hardianto - Peneliti Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara
OPINI
Selasa, 28 Februari 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Beberapa pekan lalu, publik sempat dihebohkan dengan foto yang menampakkan objek yang diduga kulit harimau, yang dipasang membentang bak taplak meja di Ruang Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo. Seolah magnet, foto tersebut kemudian menarik beragam komentar negatif, terutama dari para aktivis satwa.
Bahkan isu ini membuahkan petisi yang isinya mendorong agar dilakukan pengusutan terhadap objek diduga kulit harimau itu. Petisi itu telah mencatatkan sekitar 5.985 tanda tangan dukungan.
Meskipun dalam pernyataannya kepada media Bamsoet--sapaan akrab Bambang Soesatyo--bilang objek yang diributkan itu hanyalah tiruan. "Santai saja karena tidak seperti yang mereka tuduhkan. Itu tiruan," kata Bamsoet kepada media, Jumat 10 Februari 2023. Bamsoet mengklaim opesetan imitasi itu merupakan buatan anak bangsa. Mulai dari opsetan kepala harimau, macan tutul, singa.
Dalam hal ini penulis menganggap pernyataan Bamsoet itu jangan langsung ditelan mentah-mentah. Pihak terkait, yang berwenang tentunya, wajib melakukan verifikasi untuk memastikan apakah objek tersebut hanyalah tiruan seperti yang disampaikan si empunya, atau jangan-jangan ternyata itu kulit harimau asli.
Bila ternyata objek itu adalah kulit harimau asli, maka persoalan ini tak boleh diabaikan dan tenggelam begitu saja.
Karena kepemilikan kulit harimau yang dijadikan hiasan meja merupakan tindakan yang tidak pantas, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai konservasi dan lingkungan. Apalagi bila dilakukan oleh seorang yang menyandang titel pejabat tinggi negara yang mestinya lebih bermoral, sadar dan memiliki tanggung jawab akan peraturan yang berlaku terkait perlindungan satwa yang ada.
Sangat disayangkan bila masih ada kepemilikan kulit satwa liar, terutama untuk hewan yang terancam punah, sebagai objek hiasan. Perilaku gemar memamerkan apalagi menjadikan bagian tubuh satwa dilindungi sebagai hiasan ruangan, jelas tidak sejalan dengan etika konservasi, dan terkesan menormalisasi pemanfaatan berlebihan atau eksploitasi satwa liar dilindungi.
Belum lagi Negara memiliki peraturan perundang-undangan terkait kepemilikan satwa liar dilindungi baik dalam kondisi hidup ataupun mati sebagaimana tertuang pada Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.
Tindakan yang dilakukan tentu sangat ironi. Karena kondisi populasi dan ancaman yang mengintai harimau sumatera di alam sangat besar. Baik kondisi populasi dan bentang alam dari harimau sumatera terus mengalami penyusutan.
Tahun 2008 populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) sebanyak 439 individu, menurun menjadi 393 individu pada 2017. Artinya, terjadi penurunan populasi lebih dari 10 persen dalam rentang waktu tersebut.
Tidak hanya penurunan populasi, harimau sumatera juga mengalami penurunan jumlah bentang alam. Pada 2010 harimau sumatera ditemukan pada 27 bentang, menurun menjadi 23 bentang alam pada 2015, atau terjadi kepunahan lokal di 4 bentang alam hanya dalam kurun 5 tahun.
Selain itu, khusus kasus perdagangan ilegal satwa yang melibatkan harimau sumatera, sepanjang 2010-2021, yang berasal dari barang buktinya saja sudah merepresentasi setidaknya 189 individu harimau sumatera. Bila dikerucutkan dalam 5 tahun terakhir ditemukan sebanyak 132 individu harimau dalam kasus-kasus perdagangan ilegal satwa.
Terkait perdagangan ilegal harimau sumatera, jenis bagian tubuh yang diperjualbelikan sepanjang 2000-2018 didominasi oleh perdagangan dari kulit harimau yaitu sebanyak 176 kejadian. Tingginya angka perdagangan kulit harimau ini jangan sampai justru pejabat tinggi Negara termasuk dalam perhitungan kejadian tersebut di dalamnya.
"Lalu bagaimana kita dapat memastikan kebenaran dalam pernyataan yang disampaikan Bamsoet di atas?
Salah satu caranya, bisa menggunakan pengecekan DNA. Apalagi bagian objek mirip kulit harimau itu sangat besar dan terlihat utuh, sehingga bisa banyak bagian yang bisa dijadikan sampel untuk dilakukan pengujian DNA guna memastikan asli atau tidaknya kulit harimau tersebut.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika objek yang ada di atas meja di Ruang Ketua MPR RI tersebut ternyata bagian tubuh dari harimau sumatera sungguhan, akankah proses penegakan hukum dijalankan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan?
Sebagai gambaran saja, selama ini hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana terkait perdagangan ilegal harimau sumatera sangat rendah, rata rata 2,5 tahun dan maksimal hanya di angka 4 tahun saja. Rendahnya hukuman ini menyebabkan para pelaku atau mereka yang keranjingan memperdagangkan atau mengoleksi bagian-bagian tubuh satwa dilindungi ini tidak jera menjalankan lagi bisnis ilegalnya, sekeluarnya dari penjara.
Bicara denda, juga relatif kecil. Sejauh ini paling tinggi hanya Rp100 juta. Persoalannya, denda ini dimungkinkan diganti (subsider) dengan kurungan penjara 2 bulan. Artinya, jika kita berharap para proses penegakan hukum yang berlaku saat ini tidak menghadirkan efek jera (deterrent effect).
Proses penegakan hukum yang tidak menghadirkan efek jera sangat terlihat dari masih banyaknya kejadian berulang terkait perdagangan ilegal terkait harimau sumatera. Dalam kurun waktu 6 tahun, yaitu 2015-2021, tercatat terdapat 97 kasus terkait harimau sumatera. Bila dirata-rata dalam satu tahun setidaknnya ada lebih dari 16 kasus terkait harimau sumatera, atau setidaknya minimal ada 1 kali kejadian per bulannya.
Angka tersebut termasuk tinggi bila dibandingkan dengan jumlah populasi harimau sumatera yang sudah tidak lagi disebut banyak, bahkan terus menerus mengalami penurunan jumlah populasi. Adapun provinsi yang paling banyak terjadi pelanggaran terkait perdagangan ilegal harimau sumatera adalah Jambi, dengan angka kasus mencapai 23 kasus dalam kurun waktu 6 tahun.
Kejadian ini membuahkan tanda tanya sangat besar tentang perilaku pejabat tinggi negara yang masih gemar memajang dan memamerkan objek seperti itu. Terlepas objek itu palsu atau asli, perilaku ini sedikit banyak bakal merangsang masyarakat luas untuk meniru.
Penulis berpendapat, perilaku seperti ini harusnya secepatnya dicarikan jalan keluarnya, dan secepat mungkin disudahi. Karena tidak menunjukkan sama sekali perhatian terhadap kondisi biodiversitas yang terus menerus menurun dari waktu ke waktu baik itu di Indonesia ataupun di seluruh Dunia.