Delegasi Indonesia Abaikan Masyarakat Adat Tanah Papua di COP15
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Senin, 19 Desember 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Perlakuan menyedihkan dialami masyarakat adat asal Papua dan Papua Barat dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB atau CBD COP15 di Montreal, Kanada. Perwakilan masyarakat adat Tanah Papua yang hadir di Montreal itu diabaikan oleh Delegasi Pemerintah Indonesia.
Delegasi Pemerintah Indonesia yang dipimpin Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) justru meluangkan waktu bertemu dengan petinggi Sinar Mas Grup--salah satu konglomerat dan produsen minyak sawit terbesar di Indonesia.
“Wakil Menteri LHK dan delegasi Indonesia tidak mau bertemu untuk mendengarkan pandangan masyarakat adat. Ini sungguh menyakiti dan tidak menghormati para pemimpin adat Papua yang melakukan perjalanan ke Montreal,” kata Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (17/12/2022).
Sikap tersebut, lanjut Sekar, menunjukkan bahwa mendengarkan perusahaan besar lebih penting ketimbang masyarakat adat yang telah merawat dan melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia selama ribuan tahun.
Pada Oktober 2022, Greenpeace Canada merilis laporan yang mengungkap bagaimana Sinar Mas terhubung dengan produsen pulp kayu terbesar di Kanada, Paper Excellence. Sinar Mas selama ini ditengarai terlibat deforestasi di Indonesia. Pada 2020, terungkap pula bahwa korporasi raksasa itu telah mengoperasikan perkebunan ilegal di dalam kawasan hutan dan kawasan konservasi.
Belum jelas apa agenda Sinar Mas Grup di COP15. Namun hampir tak mungkin kehadiran mereka untuk mendukung konservasi dan perlindungan keanekaragaman hayati, mengingat Sinar Mas membangun sebagian besar kerajaan bisnis mereka dari perusakan keanekaragaman hayati di Indonesia demi perkebunan.
Pada Jumat, 16 Desember 2022 siang waktu Montreal, Wakil Menteri LHK Alue Dohong berpidato dalam forum tingkat tinggi CBD COP15. Namun Alue Dohong sama sekali tak menyinggung peran masyarakat adat dan komunitas lokal.
Padahal, Indonesia adalah rumah bagi 70 juta masyarakat adat--seperempat dari jumlah penduduk. Indonesia juga termasuk satu dari 17 negara kaya keanekaragaman hayati. Artinya, negara ini memiliki peran penting dalam melindungi biodiversitas global.
“Ini pertanda buruk bahwa Indonesia berencana untuk terus meninggalkan masyarakat adat dalam perumusan kebijakan keanekaragaman hayati. Langkah ini berbahaya dan mematikan untuk perlindungan hak masyarakat adat dan keanekaragaman hayati,” tambah Sekar.
Hingga Agustus 2022, sebanyak 17,7 juta hektare wilayah adat yang telah dipetakan masih belum mendapatkan pengakuan. Adapun yang telah diakui baru 3,1 juta hektare, atau 15 persen dari total luas wilayah adat yang sudah dipetakan. Masyarakat adat yang tanahnya diakui pun masih harus berjuang secara hukum untuk menolak konsesi perusahaan demi mempertahankan hak-hak mereka.
KLHK masih menganggap 70 persen tanah adat yang telah dipetakan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sebagai kawasan hutan nasional, kendati putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 menyatakan sebaliknya.
Pada 2021, Persatuan Pembela Masyarakat Adat Nusantara melaporkan terdapat 13 kasus perampasan tanah terhadap masyarakat adat, yang berdampak pada 103.717 orang dan sekitar 251.000 hektare lahan. Jumlah kasus yang tak dilaporkan bisa jadi jauh lebih banyak.
Indonesia sendiri sebenarnya telah menandatangani Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. Namun, sistem hukum negara ini masih tak mengakui masyarakat adat sesuai konvensi internasional. Pemerintah Indonesia juga tak pernah meratifikasi Konvensi ILO tentang Masyarakat Adat Nomor 169.
Indonesia punya sejarah panjang mengabaikan hak-hak masyarakat adat, baik secara pengakuan maupun perlindungan hukum untuk wilayah adat. Sudah berkali-kali anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menjanjikan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Namun pembahasannya mandek sejak 2009.