Menyoal Perkebunan Sawit Bermasalah di Pulau Mendol

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sawit

Selasa, 18 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Keberadaan perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan sawit PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM) di Pulau Mendol, Kabupaten Pelalawan, Riau, bermasalah. Selain berkonflik dengan masyarakat, perusahaan tersebut juga mencatatkan berbagai permasalahan terkait aktivitas ilegal dan perizinan usahanya.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, perusahaan tersebut diduga kuat beraktivitas tanpa Izin Usaha Perkebunan (IUP). Sebab IUP yang pernah diterbitkan Bupati Pelalawan dengan Nomor KPTS.522.12/DISHUTBUN/2013/664 seluas kurang lebih 6.550 hektare, tertanggal 17 Oktober 2013, telah dicabut.

IUP yang secara administratif terletak di Desa Teluk Dalam, Teluk, Teluk Beringin dan Teluk Bakau, Kecamatan Kuala Kampar, itu dicabut oleh Bupati Pelalawan melalui Keputusan Bupati Pelalawan Nomor: KPTS.522/DMPTSP/2020/401 pada 13 April 2020 lalu.

Kemudian, Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau untuk PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM) di Pulau Mendol--lewat Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor: 103/HGU/KEM-ATR/BPN/2017 seluas sekitar 6.055,77 hektare--juga bermasalah. Mulai dari penerbitannya yang tidak sesuai kriteria, hingga adanya indikasi HGU itu telantar.

Tampak dari ketinggian satu alat berat jenis ekskavator berada di dekat kanal yang sedang dibuka oleh pihak perusahaan./Foto: Walhi Riau

Permasalahan HGU PT TUM ini juga sudah jadi atensi Pemerintah Kabupaten Pelalawan. Pada 31 Agustus 2020 lalu, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Pelalawan mengirim Surat Nomor: 800/DPMPTSP/2020/298 kepada Menteri ATR/Kepala BPN. Surat tersebut berisi usulan pencabutan atau pembatalan hak atas tanah/HGU PT TUM. Tapi usulan pencabutan HGU PT TUM ini sepertinya diabaikan.

Dalam laporan berjudul 'HGU Tidak Aktif Pemicu Konflik di Pulau Mendol', Walhi Riau merinci kekeliruan kriteria penerbitan HGU PT TUM.

Pertama, HGU PT TUM terbit di atas lahan yang sudah lama digarap oleh masyarakat. Yang mana HGU PT TUM terbit pada 19 Oktober 2017, sementara hasil pantauan lapangan dan informasi dari masyarakat menemukan bahwa areal HGU PT TUM itu telah digarap masyarakat selama sekitar 10-15 tahun.

Proses transisi pelepasan kawasan hutan menjadi HGU dalam kurun waktu yang cukup panjang mengakibatkan lokasi terlebih dulu dikuasai masyarakat. Untuk diketahui, areal HGU PT TUM di Pulau Mendol ini berasal dari Pelepasan Kawasan Hutan pada 1997 silam--berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 659/Kpts-II/1997--sedangkan HGU PT TUM baru terbit pada 2017.

Kedua, penerbitan HGU PT TUM bertentangan dengan prioritas peruntukan pulau-pulau kecil yang ditatur Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WPPK). Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU tersebut, Pulau Mendol masuk dalam katergori pulau kecil, karena luasnya hanya 307,17 km persegi atau setara dengan 30.717 hektare.

Selanjutnya, Pasal 23 UU WPPK menyebut pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan konservasi, pendidikan, dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, dan budidaya laut. Tidak untuk perkebunan skala besar kelapa sawit.

Ketiga, HGU PT TUM terbit di atas areal gambut. Konsideran huruf d nomor 2 dokumen HGU PT TUM menyebut “Tanah yang dimohon HGU PT TUM bukan merupakan lahan gambut sehingga terbebas dari Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut". Pertimbangan dalam konsideran ini abai pada ketentuan dan kebijakan lain yang mengatur perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.

Hal pertama yang diabaikan dalam penerbitan HGU terkait ekosistem gambut adalah ketentuan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor: 14/Permentan/Pl.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. Permentan tersebut menentukan kriteria lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya tanaman kelapa sawit ialah harus berada pada kawasan budidaya (FBEG), yakni kawasan yang berasal dari pelepasan hutan atau APL (Area penggunaan lain).

Tumpang susun peta HGU PT TUM dengan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional memperlihatkan areal tersebut berada di atas 9,96 hektare Fungsi Lindung Ekosistem Gambut Non Kubah Gambut dan 5.679,53 hektare Fungsi Lindung Ekosistem Gambut Kubah Gambut. Hanya 419,07 hektare yang berada di Fungsi Budidaya

Hal kedua, penerbitan HGU patut diduga sengaja abai terhadap rujukan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang telah diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016. Pasal 26 PP tersebut secara tegas memberi larangan pembukaan lahan baru di Fungsi Lindung Ekosistem Gambut.

"Berdasarkan uraian di atas, penerbitan HGU PT TUM dari awal sudah menyalahi ketentuan perundang-undangan, melanggar ketentuan perlindungan ekosistem pesisir laut dan gambut, dan abai pada keberadaan masyarakat," urai Walhi Riau.

Surat BPN Pemicu Konflik

Beberapa bulan lalu konflik masyarakat dengan PT TUM akhirnya pecah. Hal itu diduga dipicu oleh surat BPN. Yang mana pada 15 Juli 2022, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) BPN Riau mengirimkan surat Nomor: MP.3.02/2123-14/VI/2022 kepada Direktur PT TUM, yang isinya memuat peringatan kepada PT TUM, dalam jangka waktu paling lama 20 hari kalender untuk mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan dan/atau memelihara tanah HGU-nya.

Seolah menjawab surat Kakanwil BPN Riau itu, PT TUM kemudian dilaporkan melakukan aktivitas pembangunan kanal, yang kemudian menuai penolakan dari warga. Walhi Riau menganggap surat Kakanwil BPN Riau yang jadi biang pemicu konflik ini cacat substansi dan prosedur.

"Surat ini tidak memperhatikan fakta pencabutan IUP PT TUM. Pascapencabutan IUP tersebut, PT TUM seharusnya tidak diperbolehkan melakukan rangkaian aktivitas perkebunan," terang Walhi Riau.

Pemerintah Kabupaten Pelalawan melalui Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) juga telah mengirim surat kepada Menteri ATR/Kepala BPN tertanggal 31 Agustus 2020 yang memuat dua hal penting, yakni pemberitahuan pencabutan IUP PT TUM, dan usulan pencabutan hak atas tanah/HGU PT TUM.

Selanjutnya, Kakanwil BPN Riau abai terhadap ketidakpatuhan dan/atau pelanggaran PT TUM atas Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor: 103/HGU/KEM-ATR/BPN/2017 tentang Pemberian HGU atas nama PT TUM di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.

Ketidakpatuhan dan/atau pelanggaran yang diabaikan oleh Kakanwil, yaitu abai terhadap kewajiban diktum kedua huruf b untuk mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup. Surat yang dikirim oleh Kakanwil BPN Provinsi Riau malah mengakibatkan pembukaan kanal di ekosistem gambut.

Kemudian abai terhadap kondisi areal HGU yang 47 persennya merupakan pemukiman dan perkebunan masyarakat. Surat Kakanwil berpotensi melahirkan pelanggaran terhadap kewajiban diktum kedua huruf n dan diktum keenam KTUN HGU.

"PT TUM tiga tahun lebih sejak penerbitan HGU tidak mengusahakan, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya. Merujuk pada ketentuan diktum kedelapan HGU dan fakta tersebut, maka seharusnya Kakanwil BPN Provinsi Riau menertibkan HGU dan mempersiapkannya untuk didayagunakan sebagai tanah terlantar," kata Walhi Riau.

Berdasarkan uraian tersebut, lanjut Walhi Riau, Surat Kakanwil BPN Riau ini tidak hanya berpotensi memicu konflik agraria, namun juga mengandung sifat perbuatan melawan hukum. Sehingga wajar, Bupati Pelalawan mengambil sikap tegas meminta PT TUM untuk menghentikan aktivitasnya di Pulau Mendol.

Penghentian aktivitas ini disampaikan melalui Surat Nomor 500/DMPTSP/2022/276 tertanggal 11 Juli 2022. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Pelalawan juga memasang spanduk peringatan larangan aktivitas di lokasi tersebut.

Hasil pantauan di lapangan yang dilakukan Walhi Riau menemukan PT TUM melakukan aktivitas pembukaan kanal sepanjang kurang lebih 950 meter dengan kedalaman lebih dari 2 meter. Kanal tersebut sebagian kecil berada di dalam areal HGU, sebagian besar justru berada di luar HGU. Pembangunan kanal ini dilakukan dalam waktu 14 hari--terhenti karena adanya demonstrasi penolakan kegiatan tersebut oleh sekitar 500 warga.

Kanal yang dibangun oleh PT TUM tersebut nyaris tembus hingga ke laut. Ujung kanal yang dibangun hanya berjarak sekitar 5 meter dari laut. Pembangunan kanal ini ditengarai untuk menunjang kebutuhan rencana pembangunan pelabuhan.

Walhi Riau juga mendapati bahwa areal HGU PT TUM lebih dari separuhnya memiliki tutupan hutan yang cukup baik. Hasil olah citra satelit tutupan hutan memperlihatkan kerapatan hutan mencapai lebih dari 30 persen.

Walhi Riau juga mendapati areal HGU PT TUM yang terletak di lima desa, yakni Desa Sungai Solok (136,49 hektare), Desa Teluk Bakau (382,24 hektare), Desa Teluk Beringin (715,14 hektare), Desa Teluk Dalam (2.430,07 hektare) dan Desa Teluk (2.443,36 hektare), mengalami tumpang tindih dengan pemukiman dan kebun masyarakat seluas sekitar 2.884 hektare.

Selain tumpang tindih dengan pemukiman dan kebun masyarakat, areal HGU PT TUM juga tumpang tindih dengan habitat satwa dan berpotensi mengancam sumber air bersih warga yang dibangun pemerintah pada 1997.

Walhi Riau menyarankan agar Menteri ATR/Kepala BPN segera menerbitkan keputusan tentang pencabutan HGU PT TUM. Walhi juga meminta Bupati Pelalawan tetap mengawal perjuangan masyarakat Pulau Mendol sekaligus meminta pencabutan HGU PT TUM.

Bupati disarankan untuk menyiapkan areal HGU PT TUM sebagai target legalisasi dan redistribusi tanah untuk masyarakat Pulau Mendol serta melakukan kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk menentukan apakah lokasi yang masih memiliki tutupan hutan perlu untuk diminta ditetapkan kembali sebagai Kawasan Hutan dan diserahkan pengelolaan dan pemanfaatannya kepada masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial.

"Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Menteri Kelautan dan Perikanan secara aktif berkoordinasi dengan Menteri ATR/Kepala BPN untuk memastikan perlindungan Pulau Mendol sebagai pulau kecil yang sebagian besar daratannya adalah ekosistem gambut," kata Walhi Riau dalam laporannya.

Penelusuran Betahita mendapati bahwa Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 659/Kpts-II/1997 tentang Pelepasan Kawasan Hutan untuk perkebunan sawit PT TUM, masuk dalam Daftar Perizinan/Perusahaan Konsesi Kehutanan untuk Dilakukan Evaluasi berdasarkan Lampiran III Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.01/MenLHK/Setjen/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan.

Kemudian nama PT Trisetia Usaha Mandiri juga masuk dalam daftar subjek hukum dalam Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan, berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.787/MenLHK/Setjen/KUM.1/7/2022. Dalam SK.787 tersebut disebutkan luasan indikatif areal terbuka PT Trisetia Usaha Mandiri seluas 6.550 hektare, dan skema penyelesaian kegiatan usaha PT TUM dalam Kawasan Hutan, sesuai UU Cipta Kerja, akan menggunakan Pasal 110A dan Pasal 110B.