Mula Hutan Terbabat Nikel
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hari Tambang dan Energi
Senin, 26 September 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Hasil penelitian menyebutkan kandungan nikel di perut Bumi Indonesia terbesar di Dunia. Bagi sebagian besar orang, terutama para pengusaha, nikel tersebut adalah berkah. Namun bagi lingkungan, kekayaan nikel Indonesia tersebut adalah malapetaka. Setidaknya ada sekitar 41 ribu hektare hutan alam di atas lahan konsesi tambang nikel dibabat sejak belasan tahun terakhir.
Keberadaan tambang nikel di Indonesia memiliki sejarah panjang. Meski nikel diketahui sudah mulai digunakan sebagai bahan campuran pembuatan senjata tajam, sejak zaman kerajaan ratusan tahun lalu di Luwu, Sulawesi Tengah, namun sejarah pertambangan nikel di Indonesia baru dimulai sejak sekitar awal abad 20.
Tepatnya pada 1901, Kruyt, peneliti berkebangsaan Belanda melakukan penelitian bijih besi di Pegunungan Verbeek, Sulawesi, dan dari situlah eksplorasi mineral tambang dimulai. Yang mana sekitar sewindu setelahnya E.C. Abendanon, seorang geologis yang juga berkebangsaan Belanda berhasil menemukan nikel di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Singkat cerita, temuan nikel ini kemudian dilanjutkan dengan kegiatan eksplorasi oleh Oost Borneo Maatschppij (OBM) dan Bone Tole Maatschppij pada 1934. Tiga tahun berlalu, nikel laterit ditemukan oleh ahli geologi Flat Elves di Soroako, dan di tahun berikutnya sekitar 150 ribu ton bijih nikel dikirim ke Jepang menggunakan kapal laut oleh OBM.
Kegiatan pertambangan nikel skala besar pascakemerdekaan NKRI baru bermula 30 tahun kemudian. Yang mana pada 1968, Kontrak Karya (KK) pertambangan nikel laterit diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia kepada PT International Nickel Indonesia (INCO)--kini berganti nama menjadi PT Vale Indonesia.
Bukan hanya PT INCO, perusahaan tambang plat merah PT Aneka Tambang (Antam) juga sudah mulai bermain nikel sejak 1969 silam. Tercatat sepanjang 1969-1976 PT Antam sudah mengekspor biji nikel ke jepang dengan total 3.721.029 ton.
Itu sedikit uraian tentang sejarah awal mula pertambangan nikel di Indonesia. Lalu seberapa luas hutan alam yang dibabat (deforestasi) akibat aktivitas tambang nikel di Indonesia?
Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara, Hilman Afif mengatakan, deforestasi akibat pertambangan, khususnya nikel, terjadi secara ugal-ugalan terutama di Sulawesi Tenggara. Tak hanya terjadi di provinsi itu saja, namun juga serentak terjadi di tiga provinsi lainnya yaitu Maluku Utara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah sebagai wilayah yang disebut memiliki 90 persen potensi nikel dari keseluruhan di Indonesia.
Hasil analisis tutupan hutan alam yang hilang yang dilakukan Yayasan Auriga Nusantara menyebut setidaknya, sejak 2009 hingga 2021, ada sekitar 41 ribu hektare hutan alam yang dibabat di atas konsesi tambang di empat provinsi kaya nikel. Angka deforestasi itu mengacu pada sumber data terbaru Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan Kementerian ESDM, Juli 2022.
Secara rinci Maluku Utara seluas 9.014 hektare, Sulawesi Selatan 3.629,46 hektare, Sulawesi Tengah 13.705,71 hektare dan Sulawesi Tenggara seluas 15.057,20 hektare.
"Bila ditotal, dari 2009 hingga 2021 ada sekitar 41.406,37 hektare hutan alam yang dibabat untuk kegiatan tambang nikel di 4 provinsi kaya nikel itu," ungkap Hilman Afif.
Dilihat dari tahun kejadiannya, deforestasi di tambang nikel meningkat setiap tahunnya. Data menunjukkan 2016 menjadi tahun dengan deforestasi tertinggi, yaitu seluas 10.395,38 hektare. Angka deforestasi di 2021 juga cukup tinggi seluas 4.463,39 hektare.
"Jika dilihat sejak 2009 hingga 2021, deforestasi di izin nikel mengalami peningkatan dan tertinggi pada 2016. Peningkatan deforestasi ini tepat setahun sebelum Permen No. 5 Tahun 2017 yang membahas mengenai relaksasi ekspor bijih nikel disahkan."
Hilman menjelaskan, analisis deforestasi dilakukan sejak 2009. Sebab di tahun tersebut banyak IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi atau kegiatan eksploitasi untuk nikel mulai diterbitkan oleh pemerintah.
Menurut koleksi data Auriga Nusantara, sejak 2009 hingga 2022 tercatat setidaknya ada 48 izin yang diterbitkan di Maluku Utara seluas 213.921,25 hektare, 8 izin di Sulawesi Selatan seluas 107.334,51 hektare, 94 izin di Sulawesi Tengah seluas 310.054,66 hektare dan 120 izin di Sulawesi Tenggara seluas 197.357,08 hektare. Dengan kata lain ada 270 izin tambang nikel seluas sekitar 828.667,5 hektare yang diterbitkan di empat wilayah provinsi tersebut.
Pembabatan hutan alam di dalam konsesi tambang nikel ini tentu saja mengakibatkan terjadinya emisi karbon. Hilman menghitung, diperkirakan total karbon yang terlepas dari aktivitas deforestasi di Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dalam kurun waktu 2009 hingga 2021 sekitar 20.063.038 t/CO2-e.
Faktor emisi yang digunakan dalam penghitungan emisi karbon deforestasi oleh tambang nikel ini adalah faktor emisi per region. Yang mana untuk regional Sulawesi sebesar 474,7 t/CO2-e dan Maluku 519,9 t/CO2-e. Faktor emisi didapat menggunakan perhitungan dalam Panduan IPCC 2006 yang menyatakan bahwa 1 ton biomassa sama dengan 0,47 ton Karbon.
"Untuk mengkonversi Karbon menjadi setara emisi (CO2-e) dikalikan dengan faktor 3,67. Asumsi biomassa menggunakan kandungan biomassa di atas tanah dari dokumen FREL Dirjen Perubahan IKLIM KLHK Tahun 2015," terang Hilman.
Data menunjukkan pelepasan karbon paling tinggi terjadi di Sulawesi Tenggara sebesar 7.147.650,483 t/CO2-e. Sementara berdasarkan tahun, emisi karbon tertinggi terjadi pada 2016 sebesar 5.167.864,241 t/CO2-e. Angka tersebut sesuai dengan tingginya deforestasi di tahun tersebut.
"Deforestasi dan emisi karbon tambang nikel ke depannya akan semakin besar. Karena hutan alam di dalam areal izin tambang masih sangat luas," tutup Hilman.
Kepala Divisi Simpul Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Bagus Hadi Kusuma mengatakan, sama seperti aktivitas pertambangan lainnya, operasi pertambangan nikel juga membawa daya rusak yang begitu besar bagi lingkungan dan warga di sekitarnya.
"Mulai pembukaan lahan secara masif yang menyebabkan banjir bandang dan lumpur, seperti yang berulang terjadi Bahodopi di Sulawesi tengah dan Teluk Buli di Maluku Utara," kata Bagus.
Selain penggundulan hutan oleh tambang, pembangunan kawasan industri terpadu juga telah memicu perampasan lahan dan perusakan lingkungan yang sangat masif. Itu seperti terjadi di Weda, oleh PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).
"PT IWIP diduga telah merampas lahan warga Lelilef Sawai yang merupakan kebun warga yang ditanami pala, cengkeh, kelapa dan langsa."
Dalam rangka memperingati "Hari Jadi Pertambangan dan Energi" yang jatuh pada 28 September setiap tahunnya, redaksi Betahita menyajikan serangkaian reportase guna terus mengkritisi kondisi negeri. Sepekan ke depan betahita berupaya menyajikan tulisan yang mengambil sudut pandang lain dari berkembangnya industri pertambangan dan energi di Indonesia.