Konsumsi Negara Tertentu Hilangkan Biodiversitas di Tempat Lain

Penulis : Kennial Laia

Biodiversitas

Kamis, 14 April 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Konsumsi manusia di berbagai negara telah mendorong risiko kepunahan spesies tertentu. Menurut studi baru, hal ini mengancam keanekaragaman hayati, yang juga terancam oleh perubahan iklim.

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dalam asesmen terbaru pada Februari menyebut, sekitar 1 juta spesies berada di ambang kepunahan. Sebagian besar juga terancam dalam beberapa dekade.

Studi melihat data 5.000 spesies di 188 negara. Para peneliti menemukan konsumsi di konsumsi 76 negara, terutama di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur (seperti Jepang dan Korea Selatan) mendorong risiko kepunahan spesies di negara lain. Spesies yang terkena dampak termasuk Katak Streamside Nombre de Dios di Honduras dan Tikus Lompat Raksasa Malagasi di Madagaskar.

Diterbitkan di Scientific Reports, penelitian tersebut dipimpin oleh Amanda Irwin dari kelompok penelitian Analisis Keberlanjutan Terpadu Universitas Sydney dan ditulis bersama oleh kepala ilmuwan International Union for Conservation of Nature (IUCN) Dr. Thomas Brooks dan kepala ekonom Dr. Juha Siikamki.

Katak Nombre de Dios Streamside Frog (Craugastor fecundus), spesies katak terancam punah di Honduras. Foto: eurekalert.org

Para penulis menyamakan krisis keanekaragaman hayati dengan krisis iklim, meskipun publisitasnya lebih sedikit. "Krisis ini terjadi secara paralel," kata Amanda Irwin. 

“Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (COP-15) Mei mendatang diharapkan akan meningkatkan profil krisis alam lainnya yang disebabkan oleh manusia dari generasi kita—kehilangan keanekaragaman hayati yang tidak dapat diperbaiki—dan temuan kami dapat memberikan wawasan berharga tentang peran konsumsi global sebagai salah satu pendorong hilangnya ini,” jelas Irwin.

Temuan kunci lainnya menyebut di 96 negara—sekitar setengah dari negara yang diteliti—konsumsi domestik adalah pendorong terbesar jejak risiko kepunahan. Bidang paling berkontribusi adalah produk dan jasa dari sektor makanan, minuman, dan pertanian (39%). Diikuti konsumsi barang dan jasa dari sektor konstruksi (16%).

Di sisi lain, perdagangan internasional juga mendorong kepunahan global, sebesar 29,5%.

"Kompleksitas interaksi ekonomi di dunia global kita berarti bahwa pembelian kopi di Sydney dapat berkontribusi pada hilangnya keanekaragaman hayati di Honduras. Pilihan yang kita buat setiap hari berdampak pada alam, bahkan jika kita tidak dampaknya,” kata Irwin.

"Segala sesuatu yang kita konsumsi berasal dari alam, dengan bahan mentah diubah menjadi produk melalui segudang transaksi rantai pasokan. Transaksi ini sering berdampak langsung pada spesies."

Rekan penulis, kepala ekonom IUCN Dr. Juha Siikamäki mengatakan pengetahuan tentang bagaimana pola konsumsi yang lazim mempengaruhi hilangnya biodiversitas di seluruh dunia sangat penting untuk negosiasi internasional, termasuk COP-15 tentang Keanekaragaman Hayati. Konferensi itu sendiri bertujuan menyelesaikan kerangka keanekaragaman hayati global pasca-2020 akhir tahun ini.

“Temuan dari studi ini bahwa sekitar 30 persen dari jejak risiko kepunahan global tertanam dalam perdagangan internasional menggarisbawahi kebutuhan untuk mempertimbangkan tanggung jawab berbagai negara dan semua aktor, termasuk pembiayaan konservasi, tidak hanya dalam konteks batas-batas nasional mereka. tetapi meluas ke dampaknya secara internasional," kata Siikamäki.

Sementara itu Profesor Arne Geschke mengatakan, aktivitas yang mengancam spesies di lokasi tertentu sering disebabkan oleh pola konsumsi di lokasi yang jauh. Artinya, intervensi lokal tidak memadai. 

"Intervensi yang tepat untuk mengatasi risiko kepunahan di Madagaskar, misalnya, di mana 66 persen dari jejak risiko kepunahan diekspor, harus berbeda dari yang diterapkan di Kolombia, di mana 93 persen dari jejak risiko kepunahan dihasilkan oleh konsumsi domestik," pungkasnya.