Perluasan Pertambangan Batubara Merusak keanekaragaman Hayati

Penulis : Aryo Bhawono

Lingkungan

Jumat, 18 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  

Organisasi lingkungan mendesak agar penghentian perluasan wilayah produksi batu bara menjadi bagian The-Post 2020 Global Biodiversity Framework. Selama ini aktivitas pertambangan batubara di Kalimantan merusak sebagian besar kondisi keanekaragaman hayati di pulau itu.

The-Post 2020 Global Biodiversity Framework merupakan kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati dunia. Kerangka kerja ini diharapkan dapat tercapai pada tahun 2050 dengan milestones pada tahun 2030 dan tengah dipersiapkan oleh instrumen PBB, The Convention on Biological Diversity (CBD).

Tiga organisasi lingkungan berpendapat Indonesia dapat berkontribusi bagi inisiatif penyelamatan keragaman hayati global ini dengan menghentikan perluasan wilayah produksi pertambangan. Pemerintah juga dapat mencabut izin pertambangan yang masih eksplorasi. 

Konsesi PT.KPC lokasi di Desa Tebangan Lembak, Kec.Bengalon, Kab.Kutai Timur. Foto: Jatam

Tiga organisasi tersebut adalah Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Kanopi Hijau Indonesia. 

Menurut mereka pertambangan batubara yang besar di Pulau Kalimantan telah merusak kondisi keanekaragaman hayati. Aktivitas tambang seperti pembersihan lahan, penggalian top soil¸serta pengangkatan overburden memberikan dampak buruk pada skala bentang lahan serta mengganggu proses-proses ekologis yang terjadi di sekitar kawasan. Perusakan proses ekologis berpotensi mengurangi habitat kehidupan liar serta mengurangi keanekaragaman hayati kawasan setempat.

Kajian AEER, menggunakan data keanekaragaman hayati Pulau Kalimantan serta data aktivitas pertambangan di Pulau Kalimantan, menunjukkan aktivitas pertambangan di Pulau Kalimantan memberikan ancaman signifikan pada keanekaragaman hayati. Berbagai spesies yang dilindungi, baik menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) atau menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terancam aktivitas pertambangan di sekitar habitat kehidupan liar. 

Selain itu berbagai ekosistem yang memiliki peran penting sebagai habitat kehidupan liar, seperti hutan lahan kering serta hutan mangrove, terancam mengalami degradasi. Ancaman ini terjadi karena lokasi tambang dekat dengan habitat spesies dilindungi dan ekosistem penting yang mendukung kehidupan liar serta manusia yang ada di sekitarnya. 

Beberapa spesies penting yang terdampak akibat aktivitas pertambangan di Kalimantan antara lain Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan), Sphyrna lewini (Hiu kepala martil), Helarctos malayanus (Beruang madu), serta Nasalis larvatus (Bekantan).

Dinamisator Jatam Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, menyatakan, pertambangan merusak keanekaragaman hayati melalui degradasi serta pengurangan habitat kehidupan liar. Transisi energi dari penggunaan batubara menuju energi bersih serta ramah lingkungan akan menghentikan aktivitas pertambangan batubara, konversi lahan, dan memperlambat perubahan iklim global. 

Keanekaragaman hayati akan menyediakan berbagai jasa ekosistem (ecosystem services) bagi keberlanjutan kehidupan manusia. 

“Akan tetapi, degradasi habitat serta kepunahan yang mengancam keanekaragaman hayati global akan terus terjadi jika produksi batubara tidak dikurangi,” ucapnya.

Koordinator Program Iklim dan Keanekaragaman Hayati Perkumpulan AEER, Muhammad Iqbal Patiroi, mengingatkan laju kepunahan hayati global meningkat sebesar seribu kali lipat dibandingkan dengan catatan fosil yang tersedia. Laju ini dapat meningkat hingga sepuluh kali lipat lagi di masa mendatang salah satunya karena kegiatan penambangan batubara. 

Penilaian dari IPBES (Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services)  pada tahun 2021 bahwa  setidaknya 75 persen dari luas lahan dunia telah berubah secara signifikan dan 35 persen dari spesies dunia mengalami ancaman kepunahan juga tercermin di dalam keadaan keragaman hayati Pulau Kalimantan.

Ketua Badan Eksekutif Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar, menyatakan, komunitas global seharusnya mengambil langkah untuk menghentikan ancaman kepunahan yang sudah terjadi secara global. Aichi Biodiversity Targets yang sudah disepakati tahun 2011 dan berlaku hingga tahun 2020 telah gagal mendorong masyarakat global untuk memperlambat laju penurunan keanekaragaman hayati global. 

Menurutnya saat ini dibutuhkan kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati baru untuk meneruskan semangat konservasi yang telah diusung melalui Aichi Biodiversity Targets. Rancangan kerangka kerja ini perlu perbaikan agar memenuhi kesepakatan bersama. 

“Makanya penghentian perluasan wilayah produksi tambang batubara penting menjadi strategi utama,” tandasnya.