Ekspansi HTI di Jambi Gusur Habitat Satwa dan Orang Rimba

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Kamis, 24 Februari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Ekspansi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI)--kini disebut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Tanaman--di Provinsi Jambi telah mengakibatkan habitat satwa dilindungi dan ruang hidup Masyarakat Adat Orang Rimba hilang. Ekspansi tersebut bahkan dilakukan perusahaan besar swasta dengan menggandeng sejumlah koperasi Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang memegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR).

Berdasarkan hasil investigasi Anti-Illegal Logging Institute (AILInst), yang disampaikan dalam pernyataan tertulisnya, sepanjang 2020 sampai dengan awal 2022, Asia Pulp and Paper (APP)-Sinar Mas Group (SMG) melalui 2 unit manajemennya, yakni PT Wira Karya Sakti (WKS) dan PT Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry (LPPPI) terbukti telah melakukan ekspansi dengan memanfaatkan 7 areal Izin Perhutanan Sosial.

7 areal Izin Perhutanan Sosial itu terdiri dari gabungan 5 Koperasi HTR di Desa Sengkati Baru Kabupaten Batanghari, yakni HTR Pajar Hutan Kehidupan, HTR Alam Tumbuh Hijau, HTR Rimbo Karimah Permai, HTR Hijau Tumbuh Lestari, HTR Alam Sumber Sejahtera, dan ekspansi ke areal HTR Teriti Jaya dan HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu di Kabupaten Tebo, dengan total luasan keseluruhan mencapai 6.784,29 hektare.

Seluruh area Izin Perhutanan Sosial ini dijadikan sebagai legitimasi perluasan areal tanaman monokultur perusahaan HTI PT WKS dan sumber pasokan bahan baku kayu yang dipasok ke pabrik pembuatan bubur kertas dan kertas PT LPPPI, milik APP-SMG.

Kondisi keruangan HKM Muara Kilis Bersatu yang berada tepat di penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh, pascapembukaan lahan, per Januari 2022./Foto: AILInst

Meski begitu, sebagian besar areal Izin Perhutanan Sosial mitra PT WKS yang telah mengantongi Sertifikat Legalitas Kayu (SLK) ini sarat masalah. Pertama, terdapat indikasi pelanggaran pemanfaatan kawasan hutan oleh PT WKS, yakni keterlanjuran tanaman akasia atau eukaliptus yang ditanam sebelum areal ini dibebani Izin Perhutanan Sosial yang kemudian dimitrakan dengan PT WKS. Pelanggaran ini terjadi di areal Kawasan Hutan yang saat ini diperuntukan kepada 5 Koperasi HTR yang kini menjadi penyuplai PT WKS, tepatnya di Desa Sengkati Baru, Kabupaten Batanghari.

Di areal yang sama, sampai saat ini juga masih terdapat tumpang tindih klaim dan tata batas, di antaranya yang melibatkan Persatuan Petani Jambi, Serikat Mandiri Batanghari yang berkonflik dengan Koperasi 5 HTR dan PT WKS yang berujung pada kriminalisasi dan penangkapan yang melibatkan aparat dan militer.

Masalah kedua, sebagian besar areal izin Perhutanan Sosial mitra APP lainnya merupakan hutan dataran rendah yang berada di kawasan penyangga strategis hutan konservasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Yang secara signifikan teridentifikasi sebagai kantong-kantong habitat dan wilayah jelajah bagi spesies dilindungi di luar kawasan TNBT, terutama gajah sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).

Yang mana areal itu juga merupakan ruang hidup bagi suku adat semi-nomaden seperti Orang Rimba, yang terbiasa secara tradisional melakukan kegiatan Mandah dan Merarayau, tinggal di dalam hutan untuk berburu dan mencari hasil hutan non kayu untuk kehidupan sehari-hari di lanskap Bukit Tigapuluh. Salah satu diantaranya, yakni keberadaan mereka di areal izin Hutan Kemasyarakatan (HKM) Gapoktan Muara Kilis Bersatu, yang berlokasi di Desa Muara Kilis, Kabupaten Tebo.

Investigasi AILInst membuktikan, areal izin HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu merupakan area konservasi penting bagi habitat populasi harimau dan gajah sumatera di lanskap Bukit Tigapuluh yang kondisinya saat ini terus terancam. Letak topografi areal HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu yang merupakan penyangga penting bagi kawasan konservasi TNBT membuat satwa-satwa yang hidup di kawasan konservasi ini melintasi areal izin HKM Muara Kilis Bersatu.

Frankfurt Zoological Society mencatat, sejak 2017 sampai 2020 intensitas kehadiran gajah sumatera di areal HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu bahkan terus meningkat di areal ini. Selain itu, areal HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu juga teridentifikasi masuk dalam Kawasan Ekosistem Esensial (KEE), sebuah kebijakan konservasi keanekaragaman hayati yang sangat didukung oleh berbagai pihak baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bahkan untuk mendukung upaya ini telah dibentuk Forum Kolaborasi Pengelolaan KEE berdasarkan SK Gubernur Jambi No. 177/KEP.GUB/DISHUT-3.3/2020.

Pada 2019 lalu, seekor gajah ditemukan mati di wilayah ini yang terindikasi terjadi di lokasi areal HKM Muara Kilis Bersatu. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari jaringan di lapangan, sekitar April 2021, kawanan gajah yang bergerak dari areal HKM Muara Kilis Bersatu bahkan telah merangsek ke salah satu pemukiman penduduk yang lokasinya sangat berdekatan dengan lokasi pembukaan lahan yang dilakukan APP di areal HKM Muara Kilis Bersatu.

Pergerakan gajah sumatera di area izin HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu./Sumber: AILInst

Lanskap Bukit Tigapuluh sendiri merupakan kantong gajah terbesar di Sumatera, namun populasinya diperkirakan hanya terdapat kurang lebih 143 ekor saja. Dampak atas tindakan APP ini akan berpotensi semakin menambah daftar panjang konflik antara satwa dan manusia di lanskap Bukit Tiga Puluh yang akan menimbulkan kerugian baik terhadap manusia maupun satwa. Pada 2018, BKSDA mencatat ada 188 konflik manusia dan satwa gajah di lanskap Bukit Tiga Puluh.

Disisi lain areal HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu juga merupakan wilayah jelajah ruang hidup bagi suku adat semi nomaden yaitu Orang Rimba (kelompok Apung dan Lidah Pembangun) yang terbiasa Mandah dan Merarayau di kawasan ini. Sehingga tidak jarang keberadaan mereka sering dijumpai di areal izin HKM ini sedang berdiam di sudung-sudung, terutama pada musim berburu dan meramu.

Orang Rimba tersebut merupakan bagian dari kelompok besar Orang Rimba di wilayah Desa Muara Kilis yang telah mendiami wilayah selatan lanskap TNBT. Jauh sebelum kawasan hutan produksi ini kemudian diperuntukan menjadi areal konsesi HTI, perkebunan kelapa sawit dan program Perhutanan Sosial, yang diperkirakan jumlahnya saat ini terdiri dari 28 KK.

Sebaran Orang Rimba di Muara Kilis, Tebo./Sumber: AILInst

Berdasarkan hasil temuan, AILInst menyampaikan beberapa poin desakan yang dialamatkan, baik kepada APP, lembaga sertifikasi maupun pemerintah. Di antaranya, mendesak APP untuk mengevaluasi dan menghentikan seluruh kerja sama kemitraan yang telah dibangun PT WKS dan PT LPPPI sebagai anak perusahaannya dengan 7 kelompok pengelola Perhutanan Sosial di Provinsi Jambi dan menyatakan komitmennya untuk tidak melanjutkan ekspansi ke Kawasan Hutan tersisa di areal izin Perhutanan Sosial.

AILInst juga meminta Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui jajarannya di daerah, termasuk Dinas Kehutanan Provinsi Jambi untuk melakukan evaluasi terhadap izin HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu dan atau setidak-tidaknya membentuk tim investigasi independen bersama yang melibatkan partisipasi semua pihak baik organisasi masyarakat sipil, lembaga pemantau independen, pemerintah, BKSDA, dan masyarakat, untuk melakukan verifikasi dan mencari solusi bersama atas ancaman kerusakan ruang hidup Orang Rimba serta habitat gajah dan harimau sumatera di areal HKM Muara Kilis Bersatu yang disebabkan oleh ekspansi perusahaan HTI APP ini.