Ancaman dan Derita Di Balik Industri Baterai Listrik

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Sabtu, 13 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Asriando, warga Desa Pongian, Banggai, Sulawesi Tengah, masih berharap sungai yang melewati desanya, Sungai Pongian, kembali jernih. Pada 2020 lalu air sungai berubah menjadi keruh karena operasi penambangan di hulu. Dua perusahaan, PT Aneka Nusantara Internasional (ANI) dan PT. Koninis Fajar Mineral (KFM), meratakan hutan dan menggali tanah mencari nikel. 

“Air jernih berubah keruh dan berwarna merah, tidak bisa untuk bertani, masak, bahkan ternak,” ucapnya dalam ‘Serial Diskusi 1: Borok Eksploitasi di Balik Ambisi Mobil Listrik Dalam Pidato Iklim Jokowi’ yang digelar Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KruHA) pada Kamis (11/11).

ANI itu beroperasi secara tersembunyi. Tiga bulan pasca operasi tambang mereka penduduk menjadi curiga karena perubahan air sungai. Keruhnya air sungai mempersulit penduduk, bahkan juga membaut beberapa warga jatuh sakit. 

Warga yang membentuk Komunitas Solidaritas Pelestari Lingkungan melakukan memasang palang jalan akses perusahaan.  Mereka menuntut perusahaan memperbaiki kondisi Sungai Pongian. Tuntutan ini mereka diterima oleh perusahaan. 

Ilustrasi tambang nikel. Foto: Jatam

“Awalnya mereka mengajukan tawaran membuatkan sumur suntik dan perbaikan air PAM tapi kami tolak. Sekarang kami masih berharap menunggu perbaikan sungai itu,” ucapnya. 

Koordinator JATAM Sulteng, Mohammad Taufik, menyebutkan cerita Asriando merupakan satu penggal derita penambangan dan industri nikel Sulawesi Tengah. Pertambangan di provinsi itu selama ini memakai Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Pemerintah sudah mengeluarkan sebanyak 29 izin dengan total 16.613 ha. 

Banyaknya pemberian izin ini telah mengganggu masyarakat sekitar. Desa tempat tinggal Asrindo misalnya pernah dilanda banjir karena pembabatan hutan di hulu. 

Bencana yang sama juga terjadi di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali. Mereka terkena banjir parah pada 2019 karena pertambangan nikel telah merusak hutan.

Tak hanya banjir, pencemaran akibat tambang terjadi di Danau Tiu, Morowali Utara. Nelayan di tiga desa, yakni Tiu, Tontowea, dan Maralee harus menggantungkan jaring ikan mereka. 

Taufik menyebutkan ada ancaman lain yang sama berbahayanya, yakni industri pengolahan nikel. Paling tidak ada tiga lokasi industri nikel di Sulawesi Tengah, yakni kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), PT Gunbuster Nickel Industry, dan PT Central Omega Resources. 

Industri ini telah mengancam masyarakat dengan pembuangan limbah tailing dan limbah akibat PLTU mereka. Beberapa daerah perairan kini tak bisa dijamah nelayan karena menjadi tempat pembuangan limbah tailing maupun limbah padat dan cair batubara PLTU. 

Belum lagi polusi udara akibat operasi PLTU. Pengolahan Nickel membutuhkan daya energi listrik besar. Hampir tiap perusahaan membangun PLTU untuk kebutuhan listrik mereka sendiri. 

Jatam mencatat PLTU di IMIP yang sudah operasional saat ini berjumlah delapan. Kapasitas total PLTU ini mencapai sekitar 2.000 Mega Watt. Masih ada dua PLTU  ayng kini dalam tahap konstruksi. 

Laporan Tahunan IMIP Tahun 2017 sendiri menyebutkan pada tahun itu sudah terdapat 3 PLTU yakni milik PT SMI sebesar 2 x 65 MW, PT. GCNS sebesar 2 x 150 MW, dan PT ITSS sebesar 2 x 350MW. Total kapasitas ini mencapai of 1.130 MW. 

“Sedangkan PT. GNI di Morowali Utara direncanakan membangun PLTU sebesar 1.000 MW. Bisa dibayangkan kondisi udaranya pasti sangat buruk karena FABA,” ucap Taufik. 

Sedangkan di provinsi lain, tepatnya di Pulau Weda, Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, mengalami kondisi yang sama. Masri, warga Weda, mengaku  praktik pertambangan telah memporak porandakan kehidupan warga adat. Mereka kehilangan hutan, kebun, dan akses air bersih. 

Sedangkan industri pengelola nikel di Indonesia Weda Industrial Park juga menimbulkan masalah lingkungan yang sama. Sedangkan warga seringkali juga mengalami intimidasi fisik jika melakukan protes dan perlawanan. 

Masyarakat kehilangan sumber air, sumber pencarian, dan tempat tinggalnya sudah tak laik kesehatan,” ucapnya. 

Aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, Adlun Fiqri mengungkapkan terdapat tiga episentrum penambangan dan pengolahan industri nikel di Maluku Utara. Tempat ini adalah Halmahera Tengah yang dikelola IWIP, Halmahera Timur yang dikelola PT. Antam, dan Kepulauan Obi yang dikelola oleh Harita Group. 

Masyarakat di tiga lokasi itu mengalami kendala yang sama, kerusakan lingkungan dan kehidupan mereka terancam. Beberapa pulau yang telah ditambang telah rusak. Selain itu ada indikasi perampasan tanah.

Koordinator Nasional KRuHA, Muhammad Reza Sahib mengungkapkan selama ini nikel digadang-gadang sebagai bagian untuk menciptakan energi bersih karena menjadi bahan baku baterai mobil listrik. Namun pemerintah sendiri mengesampingkan kondisi ekosistem dan masyarakat  untuk mengembangkan pertambangan dan industri pengolahan nikel. 

“Jadi pendekatan pemerintah itu bukan untuk energi bersih karena produksinya merusak lingkungan dan menghasilkan karbon. Tetapi lebih untuk industri energi bersih. Makanya mereka tidak berpihak pada masyarakat tetapi korporasi industri,” tegasnya.