Warga Gugat Izin Lingkungan PLTU Teluk Sepang Hingga ke MA

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

PLTU

Rabu, 22 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Perjuangan warga melakukan gugatan Izin Lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Teluk Sepang, Bengkulu, terus berlanjut. Setelah kalah pada peradilan Tingkat Pertama, Banding dan Kasasi, warga tetap menempuh upaya hukum lain, yakni Peninjauan Kembali (PK). Argumentasi Majelis Hakim yang menyebut warga tidak memiliki hak untuk menguggat, dianggap sebagai kekhilafan dan kekeliruan hakim.

Manajer Kempanye Kanopi Hijau Indonesia, Olan Sahayu mengatakan, Putusan hakim pada tingkat pertama, banding dan kasasi menyatakan bahwa gugatan yang diajukan warga Kelurahan Teluk Sepang, Kota Bengkulu, tidak memilik hak untuk menggugat. Kemudian Majelis Hakim juga menyatakan bahwa belum ada dampak yang diterima pihak Penggugat serta dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sudah memiliki tindakan antisipatif guna mengatasi semua dampak akibat beroperasinya PLTU batu bara.

Namun faktanya tidak demikian. Pada saat Kanopi Hijau Indonesia melakukan pemantauan di lapangan, ditemukan fakta bahwa adanya ketidakpatuhan terhadap dokumen Amdal. Yakni berupa pengangkutan batu bara, yang seharusnya dilakukan lewat jalur laut malah dilakukan melalui jalur darat, menggunakan jalan negara, serta adanya warga yang tersengat aliran listrik.

"Selain itu juga ditemukan bahwa Perusahaan Tenaga Listrik Bengkulu (TLB) secara sengaja membuang limbah abu bawah (bottom ash) ke lokasi pembuangan sementara tanpa adanya pagar pembatas. Dari semua fakta itu, respon para pemangku lamban dan terkesan melakukan pembiaran," kata Olan.

Soal pendapat Hakim yang menyatakan, para Penggugat tidak memiliki hak gugat atau legal standing. Olan menuturkan, faktanya Jalaludin dan Harianto adalah Penggugat yang terkena dampak akibat pemasangan jalur saluran udara tegangan tinggi (SUTT). Selain itu masih banyak hal lain yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku di Indonsia, seperti Undang-Undang Tata Ruang dan UU Bencana.

Tim Advokasi Langit Biru (TaLB) bersama Harianto, salah seorang Penggugat, berfoto di depan PTUN Bengkulu sebelum melakukan pengajuan permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali perkara gugatan Izin Lingkungan PLTU Teluk Sepang ke MA, melalui PTUN Bengkulu, Senin (20/9/2021)./Foto: Dok. Kanopi Hijau Indonesia.

"Negara harusnya beralih ke energi bersih yang berlimpah bukan malah menjadi promotor dari energi kotor yang telah terbukti membuat planet dan warga semakin rentan. Izin Lingkungan PLTU batu bara Teluk Sepang harus dicabut demi keselamatan sumber penghidupan rakyat."

Atas dasar kerugian yang akan dan telah diterima oleh Penggugat, melalui kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Langit Biru (TaLB) yang berjumlah tujuh orang, mengajukan permohohan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) Provinsi Bengkulu, pada Senin (20/9/2021) kemarin.

Pengajuan Peninjauan Kembali perkara ini disertai aksi teatrikal di depan PTUN Bengkulu oleh gabungan sejumlah elemen masyarakat, baik perwakilan warga korban, organisasi masyarakat sipil, mahasiswa kelompok seni. Hal ini menunjukan bahwa perlawanan terhadap energi kotor, utamanya PLTU batu bara sudah mulai menjadi agenda bersama.

"Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa yang kami lakukan terhadap Putusan Kasasi, Banding dan Tingkat Pertama yaitu putusan Nomor: 112/G/LH/2019/PTUN.BKL. Peninjauan Kembali ini dilakukan dengan alasan Kekhilafan dan Kekeliruan yang nyata yang dilakukan oleh Majelis Hakim Judex Factie Tingkat Pertama," kata Saman lating, Ketua TaLB.

Sementara itu, salah seorang Penggugat, Harianto menyatakan, penolakan terhadap adanya PLTU batu bara Teluk Sepang ini didasari oleh pengetahuan bahwa pihaknya sebagai orang yang berada paling dekat dengan pembangkit merasa akan menjadi korban pertama. Yang mana Harianto mengaku saat ini dirinya sudah dilanda rasa khawatir yang mendalam akibat adanya insiden SUTT di Babatan.

"Belum lagi ancaman turunnya tingkat kesehatan dan hilangnya fondasi ekonomi. Kami tidak mau nasib kami disandarkan kepada dokumen Amdal yang sejak awal penyusunannya sudah diprotes," ujar Harianto.