3 Hari Sekali Ada Kasus Perampasan Wilayah Adat pada 2025: AMAN

Penulis : Aryo Bhawono

Masyarakat Adat

Selasa, 23 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Sepanjang 2025 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat 135 kasus perampasan wilayah adat dengan luas 3,8 juta hektare. Perampasan ini beririsan dengan proyek kehutanan, pertambangan, energi, perkebunan monokultur, infrastruktur, hingga penetapan kawasan konservasi dan taman nasional.

Catatan akhir tahun AMAN menginventarisasi peningkatan perampasan wilayah adat, kriminalisasi, dan kekerasan. Ironisnya pengakuan dan perlindungan negara terhadap hak-hak Masyarakat Adat masih tersendat. 

Setidaknya sepanjang tahun ini terjadi 135 kasus perampasan terjadi di wilayah adat seluas  3,8 juta hektare terhadap 109 komunitas masyarakat adat. Selain kehilangan ruang hidup, 162 Masyarakat Adat tercatat jadi korban kriminalisasi dan kekerasan. 

“Sayangnya pemerintah masih menyangkal dengan apa yang terjadi, bahkan para ujung tombak penjaga hutan menjadi korban kriminalisasi,” ucap Rukka saat peluncuran Catatan Akhir Tahun AMAN 2025 di Jakarta pada Jumat (19/12/2025)..

Masyarakat Adat Suku Awyu ketika mengawal Sidang di PTUN Jayapura. Foto: BETAHITA/Ikbal Asra

Mereka mencermati arah kebijakan pemerintahan Prabowo–Gibran berpotensi memperparah dan memperluas konflik. Salah satunya melalui Peraturan Presiden No 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan yang melibatkan aparat keamanan. Kebijakan ini sarat kecenderungan militerisasi sehingga membuka ruang represi atas nama ketertiban, pembangunan, dan proyek strategis.

Seluas 33,6 juta ha wilayah adat yang telah dipetakan secara partisipatif oleh masyarakat adat, sekitar 26,2 juta ha masuk kawasan hutan, dan 7,3 juta ha beririsan dengan konsesi. 

Sedangkan pengakuan negara masih sangat terbatas: baru 6,37 juta ha wilayah adat yang diakui melalui produk hukum daerah, dan sekitar 345 ribu ha yang ditetapkan sebagai hutan adat. 

Salah seorang anggota Komunitas Adat Sihaporas yang mengalami luka-luka akibat kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat dari TPL. Foto: KSPPM

Pengakuan Global, Ironi Nasional

Konferensi perubahan iklim global, COP 30 di Belém, Brasil pada November 2025 lalu  menempatkan masyarakat adat sebagai aktor penting dalam agenda iklim dunia. Kontribusi mereka  sebagai penjaga hutan dan benteng keanekaragaman hayati mendapat pengakuan pada forum internasional itu. 

Pengakuan yang sama turut diberikan Pemerintah Indonesia pada forum itu.

Namun kebijakan dalam negeri justru berkata lain. Pemerintah, sebagai contoh, kerap mengajukan solusi iklim palsu atas nama transisi energi yang mengancam Masyarakat Adat dan wilayahnya. 

Sebut saja proyek geotermal di Poco Leok di NTT, bioenergi di Merauke, pembangunan dam di Kalimantan Utara, hingga pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo. Proyek-proyek  ekstraktif, transisi energi semu, serta skema iklim tanpa Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa/FPIC) terus mengancam Masyarakat Adat dan wilayah adat.

Deputi I Sekjen AMAN, Eustobio Rero Renggi, menyebutkan pemerintah seharusnya mengakui peran masyarakat adat sebagai penjaga hutan terbaik. Makanya proyek penanganan iklim seharusnya melibatkan masyarakat adat. 

“Masyarakat adat adalah pihak yang selama ini mengetahui apa yang terbaik untuk menjaga hutan. Namun kebijakan pemerintah justru sering merampas dan mengabaikan masyarakat adat,” kata dia. 

Pada COP 30, pemerintah Indonesia juga menyampaikan target pengakuan 1,4 juta hektare hutan adat sebagai bagian dari strategi mitigasi deforestasi. AMAN menyambut langkah ini, sembari menegaskan bahwa target tersebut baru permulaan. 

Pemerintah telah menerima peta wilayah adat seluas 33,6 juta hektare, lebih dari separuhnya ada dalam kawasan hutan. 

Mendesaknya RUU Masyarakat Adat

Namun pada perlindungan hukum sendiri, masyarakat adat masih nir perlindungan. Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat masih terkatung-katung. Deputi II Sekjen AMAN, Erasmus Cahyadi, menyebutkan kondisi ini menjadi ironi. Selama ini masyarakat adat menjadi pihak yang terancam oleh perundangan yang hanya berpihak pada eksploitasi alam, seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba. 

“Perundangan itu keluar dari mandat konstitusi. Jika RUU Masyarakat Adat tidak selesai juga maka dalam 10 tahun ke depan akan banyak aksi represif yang lebih masih,” kata dia. 

Menurutnya pemerintah sendiri telah mengabaikan masukan masyarakat sipil maupun rekomendasi organisasi internasional untuk memprioritaskan penyelesaian RUU Masyarakat Adat. 

Sekarang, kata dia, RUU Masyarakat Adat masih dalam pembahasan badan legislasi di DPR. Artinya produk hukum ini belum juga masuk sebagai inisiatif DPR meski masuk kembali dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2026.

“Jalan masih panjang untuk perlindungan masyarakat adat,” ujarnya.