Lagi, Negara Diminta Tetapkan Status Bencana Nasional di Sumatera

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ekologi

Senin, 15 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Posko Nasional untuk Sumatera, yang terdiri dari 21 organisasi masyarakat sipil, mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status bencana nasional untuk bencana alam di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Penetapan status bencana nasional penting untuk membuka akses bantuan, dan memperluas kapasitas koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Memasuki hari ke-16 sejak bencana melanda tiga provinsi tersebut, namun penanganan pemerintah dinilai lamban, tidak memadai, dan gagal membaca situasi faktual di lapangan. Data BNPB menunjukkan 1.006 korban meninggal, 217 korban hilang, lebih dari 5.400 warga terluka, sementara ribuan lainnya masih terisolir tanpa logistik, layanan kesehatan, sanitasi layak, maupun listrik.

Di tengah krisis kemanusiaan yang memburuk, pernyataan Presiden Prabowo yang memuji penanganan bencana, dilaporkan bertolak belakang dengan kenyataan yang dihadapi warga di wilayah terdampak.

Di Aceh misalnya, akses ke banyak wilayah seperti Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, dan Aceh Timur masih terputus total. Distribusi logistik hanya bisa dilakukan menggunakan helikopter atau perahu nelayan, sementara bantuan menumpuk di Bireuen dan tidak menjangkau warga di pegunungan yang terancam kelaparan.

Upaya pencarian korban hilang dan pembukaan akses jalan menggunakan alat berat di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Minggu (30/11/2025). Foto: Bidang Komunikasi Kebencanaan/Muhammad Andhika Rivaldi

“Dari pengungsi terbanyak adalah bayi, anak-anak, perempuan, lansia, dan penyandang penyakit kronis. Pengungsian tidak layak, layanan medis minim, sanitasi memburuk, harga bahan pokok melonjak, dan listrik tidak stabil,” kata Afif dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, dalam sebuah keterangan tertulis, Jumat (12/12/2025).

Afif bilang, jika pemerintah tidak memberi kejelasan, sebagian warga Aceh justru meminta dikirimkan kain kafan. Karena yang membuat warga meninggal bukanlah bencananya, tetapi penanganannya. Ia menegaskan bahwa potret ini menunjukkan betapa ironisnya menjadi warga negara ketika pengurus negara sibuk pencitraan namun gagal menyelamatkan rakyatnya.

Situasi tak berbeda terjadi di Sumatera Utara (Sumut). Di Sibolga, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, puluhan titik longsor membuat sejumlah desa sepenuhnya terisolir. Menurut Maulana Sidiq dari Walhi Sumut, warga harus berjalan menembus longsor untuk menjemput bantuan. Krisis air bersih meluas karena perusahaan daerah air minum (PDAM) setempat rusak.

“Di Batang Toru, gelondongan kayu yang terseret banjir merusak jembatan dan rumah warga. Di Tapanuli Selatan, 22 orang tertimbun longsor di wilayah perkebunan dan dimakamkan secara massal. Pencarian korban terhambat minimnya tenaga, keterbatasan alat berat, dan pemadaman listrik yang belum teratasi,” ujar Sidiq.

Sumatera Barat juga menghadapi dampak serupa. Banyak nagari terputus akibat jembatan runtuh dan sungai meluap. Lany Verayanti dari Posko Sumbar Pulih, mengungkapkan, tenda pengungsian belum layak, anak-anak, perempuan, dan laki-laki masih bercampur sehingga risiko kekerasan seksual meningkat bila penanganan tidak tepat.

“Pemerintah harus menyediakan tenda terpisah dan mempertimbangkan potensi konflik ulayat jika ada rencana relokasi karena struktur kepemilikan adat di Sumbar sangat kuat,” ujar Lany.

Minimnya respons pemerintah pusat membuat warga di berbagai lokasi mendirikan hunian sementara secara swadaya. Warga di tiga provinsi mendesak Presiden Prabowo untuk menetapkan status bencana nasional, mengingat banyaknya korban, lambatnya distribusi logistik, dan potensi warga selamat yang justru meninggal akibat keterlambatan penanganan.

Penetapan status bencana nasional dinilai penting untuk membuka akses bantuan internasional, mempercepat mobilisasi helikopter dan alat berat, serta memperluas kapasitas koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

“Dalam prinsip Maximum Available Resources, negara wajib memaksimalkan seluruh sumber daya untuk menjamin keselamatan rakyat. Parameter dalam UU 24/2007 dan PP 21/2008 sudah terpenuhi. Ini sudah masuk kategori kelalaian negara,” ucap Edy K. Wahid, Pengacara Publik dari YLBHI.

Busyro Muqoddas, Ketua PP Muhammadiyah bidang Hukum dan HAM, menuturkan bahwa tragedi yang terjadi di tiga provinsi tersebut tidak lepas dari akar persoalan kebijakan negara. Menurutnya, bangsa ini mengalami tragedi kemanusiaan akibat kriminalisasi, radikalisasi, dan terorisme politik.

Bencana di tiga wilayah itu mempertegas tragedi kemanusiaan di tempat lain seperti Rempang, Morowali, dan Ternate. Berbagai PSN, termasuk proyek Makan Bergizi Gratis, harus segera dihentikan dan anggarannya dialihkan untuk korban bencana.

“Kita sebagai masyarakat sipil, kampus, dan organisasi keagamaan harus mendesak prioritas ini. Agama bukan tugas langitan, melainkan komitmen kemanusiaan,” ujarnya.

Di tengah kegagalan negara memenuhi kewajibannya, solidaritas “rakyat bantu rakyat” kembali menjadi penyelamat tercepat bagi warga terdampak. Sementara itu, para pengamat menilai pemerintah masih sibuk dengan jargon nasionalisme dan harga diri bangsa.

Feri Amsari dari Themis Indonesia menyatakan bahwa negara justru merespons bencana ini sebagai isu politik. Menurut Feri, pembahasan bencana Sumatera justru di-framing sebagai persaingan tiga kubu politik. Itu menunjukkan bahwa Presiden tidak peka dan gagap.

“Logistik menumpuk, distribusi tidak merata, dan cara kerja pengurus negara justru bertolak belakang dengan rakyat. Presiden terlena dengan suguhan para menterinya tanpa melihat kenyataan di lapangan,” ujarnya.

Pernyataan pemerintah bahwa seluruh listrik di Aceh sudah menyala juga bertentangan dengan temuan lapangan yang menunjukkan listrik padam, internet terbatas, dan banyak wilayah masih terisolir. Feri menyebut Presiden Prabowo telah melakukan pelanggaran konstitusional karena mengabaikan keselamatan dan hak dasar warga.

Lambannya penanganan banjir juga terkait instruksi efisiensi Presiden Prabowo yang berdampak pada BMKG dan BNPB, termasuk perawatan alat deteksi dan sistem siaga. Konsentrasi Presiden pada PSN, terutama proyek Makan Bergizi Gratis, disebut membuka ruang perburuan rente.

Agus Sarwono dari Transparency International Indonesia (TII), menganggap Negara telah gagal melindungi rakyat. Batas maksimal kedaruratan adalah 14 hari, namun kini sudah lewat dan masih banyak wilayah terisolir. Padahal status bencana nasional mendesak agar logistik dan peralatan dapat segera didistribusikan untuk membuka akses.

“Bencana Sumatera ini daya rusaknya luar biasa dan harusnya mendapat alokasi anggaran besar, bukan dipinggirkan demi proyek yang menghamburkan uang negara,” ujar Agus.

Melihat keadaan darurat yang terus memburuk serta kegagalan negara memenuhi kewajiban konstitusionalnya, Posko Nasional untuk Sumatera menegaskan bahwa Presiden Prabowo harus segera mengambil langkah luar biasa untuk menyelamatkan warga. Posko mendesak, yang pertama, agar Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden yang menyatakan bahwa bencana ekologis di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai bencana nasional.

Kedua Presiden mengerahkan logistik berupa kebutuhan pokok, bahan bakar, obat-obatan, kebutuhan khas perempuan, ibu, anak-anak, penyandang penyakit kronis, fasilitas hunian layak untuk para pengungsi, serta mengerahkan aparat, alat berat, transportasi untuk memobilisasi logistik dan pembersihan area bencana.