Indonesia Perlu Memperkuat Aksi Iklim: IESR
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Iklim
Minggu, 14 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - KTT Iklim PBB ke-30 (Conference of Parties, COP30) di Belem, Brasil, resmi berakhir pada Sabtu (22/11). Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen Gotong Royong Global atau Global Mutirão yang memuat inisiatif baru, antara lain Global Implementation Accelerator (GIA) untuk mempercepat implementasi aksi dan mitigasi iklim dalam Nationally Determined Contribution (NDC) serta Belém Mission to 1.5 untuk mendorong ambisi dan investasi iklim.
Meskipun demikian, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai bahwa Global Mutirão yang dihasilkan dalam KTT Iklim PBB ke-30 (Conference of Parties, COP30) di Belem, Brasil, belum sepenuhnya mampu mendorong dunia bertindak cepat dan tegas dalam menghadapi krisis iklim. Karenanya, mereka menilai aksi iklim di Indonesia perlu diperkuat.
Global Mutirão atau Gotong Royong Global sendiri memuat inisiatif baru, antara lain Global Implementation Accelerator (GIA) untuk mempercepat implementasi aksi dan mitigasi iklim dalam Nationally Determined Contribution (NDC), serta Belém Mission to 1.5 untuk mendorong ambisi dan investasi iklim.
Tapi IESR melihat komitmen ambisi iklim global masih lemah, ditandai dengan tidak tercapainya gagasan peta jalan penghentian penggunaan bahan bakar fosil serta komitmen pendanaan iklim yang belum konkret. Selain itu, aspek transisi berkeadilan (just transition) belum mendapat penekanan yang kuat dalam dokumen Global Mutirão.
Delima Ramadhani, Koordinator Kebijakan Iklim IESR pada webinar Debrief COP30: Menakar Ambisi Iklim, Pendanaan Iklim, and Transisi Berkeadilan Indonesia yang diselenggarakan oleh IESR pada 28 November 2025, menilai bahwa ambisi iklim Indonesia dalam Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang diperbarui pada 2025 belum mencerminkan poin kritis dalam First Global Stocktake.
Ia menjelaskan, mekanisme Global Stocktake bertujuan menilai progres implementasi, ambisi, dan kesenjangannya terhadap target pembatasan kenaikan suhu 1,5°C. Hasilnya menegaskan bahwa untuk menjaga suhu global tidak meningkat lebih dari 1,5°C, emisi global harus turun 43 persen pada 2030 dan 60 persen pada 2035 dibandingkan tingkat emisi 2019.
Delima bilang, meskipun pasca-COP30 sebanyak 122 negara telah memformalkan NDC 2035, analisis Climate Action Tracker memproyeksikan bahwa suhu bumi pada akhir abad ini akan naik sekitar 2,6°C dengan 50% probabilitas untuk lebih tinggi atau lebih rendah. Adapun dalam SNDC, Indonesia menetapkan target 2035 tanpa memperbarui target 2030-nya padahal hal ini penting sebagai tindak lanjut hasil Global Stocktake.
Menurut Delima, dari sisi cakupan, NDC Indonesia sudah cukup komprehensif karena memuat sektor energi, industri, pertanian, limbah, serta tambahan sektor kelautan. Selain itu, secara transparansi meningkat, di mana target penurunan diubah dengan format emisi absolut di bawah tahun referensi 2019.
Pemerintah, lanjut Delima, menyampaikan niat untuk melampaui target bersyarat 2030, tetapi tanpa diformalkan. Langkah ini belum menunjukkan perbaikan nyata terhadap target jangka pendek. Dalam sektor energi, pemerintah menargetkan puncak emisi pada 2038, lebih lambat dari proyeksi sebelumnya.
“Ini menunjukkan bahwa strategi pembangunan ekonomi Indonesia masih bergantung tinggi karbon,” kata Delima, dalam sebuah keterangan tertulis, 8 Desember 2025.
Selain itu, masih kata Delima, Indonesia juga tidak menyertakan komitmen eksplisit untuk phase-out bahan bakar fosil atau pengurangan batu bara secara bertahap. Bahkan, penggunaan batu bara masih dipertahankan dengan teknologi clean coal dan co-firing biomassa dalam bauran kebijakan energi.
Hasil analisis IESR juga menunjukkan bahwa penurunan emisi Indonesia masih sangat bergantung pada sektor kehutanan dan lahan, bukan pada pengurangan nyata di sektor energi. Di luar penyerapan dari sektor FOLU, emisi nasional diproyeksikan naik hingga 98 persen dalam skenario tidak bersyarat, atau 54–84 persen di atas emisi historis 2019 dalam skenario bersyarat atau dengan bantuan internasional.
Manajer Diplomasi Iklim dan Energi IESR, Arief Rosadi, menyatakan bahwa Indonesia memiliki peluang politik yang kuat untuk mengambil peran kepemimpinan di antara negara Global South dalam menjaga semangat aksi iklim pasca-COP30. Hal ini selaras dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto di berbagai forum internasional serta target nasional untuk mencapai 100 persen energi terbarukan pada 2035 sebagaimana disampaikan dalam pidato kenegaraan di MPR.
Arief berpendapat, komitmen ini perlu diwujudkan dalam tiga langkah strategi. Pertama, memperjuangkan isu iklim dan transisi energi dalam forum internasional sebagai jangkar pembangunan hijau. Peran ini harus dilakukan dengan memberikan teladan yakni memastikan bahwa kebijakan domestik benar-benar mencerminkan ambisi iklim yang tinggi. Kedua, mendorong penerjemahan keputusan multilateral menjadi kemitraan konkret.
“Indonesia memiliki rekam jejak sebagai pemimpin dalam menyediakan fondasi proses global, baik saat menjadi host COP-13 yang menghasilkan Bali Roadmap, G20 Chairmanship (2022) yang melahirkan Bali Compact dan Bali Energy Transition Roadmap, serta pada saat keketuaan ASEAN yang menghasilkan ASEAN Strategy for Carbon Neutrality,” ujar Arief.
Ketiga, mengamplifikasi keputusan dan inisiatif yang mendukung energi terbarukan. Indonesia perlu mengadopsi serta menggaungkan keputusan formal maupun inisiatif non-formal dari COP30 yang secara praktik mendorong akselerasi energi terbarukan dan penghapusan bertahap bahan bakar fosil. Salah satu ide yang dapat digaungkan adalah “roadmap on transition away from fossil fuel,” untuk dipromosikan di forum multilateral lainnya di luar COP.


Share

