PT TPL dan 33 Tahun Deforestasi Sumatera Utara

Penulis : Aryo Bhawono

Deforestasi

Minggu, 07 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Penolakan bantuan bencana banjir dari PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang dituding sebagai perusak lingkungan meluas, dari gereja kini kepala daerah. Jejak deforestasi perusahaan itu terhadap hutan alam sudah lebih dari 30 tahun. 

Bupati Samosir, Vandiko T. Gultom mengeluarkan surat edaran untuk menolak bantuan banjir Sumatera dari PT Toba Pulp Lestari. Surat No 23 Tahun 2025 itu menyebutkan PT TPL merupakan satu dari dua perusahaan, perusahaan lainnya adalah PT Aqua Farm Nusantara, yang berpotensi merusak lingkungan.

Vandiko menembuskan surat ini kepada seluruh dinas, camat, lurah, hingga RSUD Dr. Hadrianus Sinaga. 

Surat ini melengkapi seruan penolakan yang diterbitkan oleh Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Pada 2 Desember 2025 lalu mereka mengeluarkan seruan moral menolak bantuan dari pihak perusak lingkungan. 

Tampak dari ketinggian sebuah desa yang terdampak banjir bandang di Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada 1 Desember 2025. Foto: AP Photo/Binsar Bakkara.

“HKBP tidak menerima bantuan dari individu, kelompok, atau perusahaan/korporasi, termasuk PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang terlibat dalam tindakan perusakan lingkungan, baik melalui pembalakan hutan, penambangan yang ilegal atau tidak beretika, alih fungsi kawasan lindung, pencemaran sungai dan tanah, maupun praktik lain yang berkontribusi pada terjadinya bencana ekologis,” tulis surat itu. 

Tudingan bahwa TPL merupakan perusak lingkungan yang menjadi salah satu biang bencana abnjir pada 25-27 November 2025 lalu bukan sembarangan. Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Rocky Pasaribu, menyebutkan sejak berdiri dengan nama PT Inti Indorayon Utama (IIU), perusahaan ini telah mendapat penolakan kuat dari berbagai komunitas yang hidup di dalam dan sekitar wilayah konsesi.

Perusahaan itu bertahan meski rezim mengalami perubahan. Pada tahun 2020, izin operasionalnya tercatat mengalami sembilan kali adendum. Luas konsesinya pun berubah dari 269.060 hektare pada 1992, menyusut menjadi 113.340 ha pada 2005, lalu menjadi 167.912 ha berdasarkan izin tahun 2020. Konsesi terbagi dalam tujuh hamparan ini berada di 12 kabupaten/kota di Sumatera Utara. 

Analisis yang dilakukan KSPPM menunjukkan enam dari kabupaten yang terdampak banjir dan longsor memiliki irisan langsung dengan wilayah konsesi perusahaan ini. 

“Data ini menunjukkan adanya korelasi spasial yang patut diselidiki lebih jauh, terutama menyangkut perubahan tutupan hutan, ekspansi tanaman eucalyptus, dan dampaknya terhadap daya dukung lingkungan,” ucapnya.

Keberadaan konsesi TPL sejak awal juga menyimpan persoalan hukum yang serius. Sejumlah temuan mengungkap bahwa sebagian izin perusahaan tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung dan areal penggunaan lain (APL). KSPPM bersama sejumlah organisasi dalam koalisi masyarakat sipil telah melaporkan hal ini kepada pemerintah. 

Foto udara hamparan tanaman eukaliptus muda di areal izin PT TPL. Foto: Auriga Nusantara.

Laporan tersebut menyebutkan setidaknya 33.266 ha wilayah konsesi PT TPL berada dalam hutan lindung dan APL. Temuan ini  seharusnya memicu peninjauan ulang izin, penegakan hukum, dan pemulihan kawasan. Namun hingga hari ini pemerintah tidak mengambil langkah berarti untuk menghentikan atau mengoreksi praktik tersebut. 

Laporan ini pun juga tak menghentikan aktivitas perusahaan itu, penanaman eucalyptus terus dilakukan. Data terbaru mencatat bahwa setidaknya 3.660 ha kawasan hutan lindung telah mereka tanami eucalyptus. Area terluas berada di Sektor Tele, yakni sekitar 3.305 ha, yang secara berkala ditanami dan ditebang padahal kawasan ini berfungsi sebagai daerah penyangga Danau Toba. Selain itu, perusahaan juga melakukan penanaman di kawasan APL seluas 2.359 hektare. 

PT TPL juga diduga melakukan penanaman eucalyptus di luar izin resmi yang mereka miliki, termasuk di dalam kawasan hutan lindung dan areal penggunaan lain (APL).  Setidaknya terdapat 1.720 ha tanaman eucalyptus di luar izin resmi yang berada di dalam kawasan hutan lindung.

Data Mapbiomas Indonesia, menunjukkan pada akhir tahun 2024 tutupan lahan dalam konsesi PT TPL terdiri atas kebun kayu (eucalyptus) seluas 30.850 ha dan tutupan non-hutan seluas 13.655 ha. Selain itu, terdapat pula tutupan pertanian lainnya seluas 55.898 hektare. 

Skema PKR turut mempercepat laju deforestasi hutan Tapanuli

Perusahaan itu juga memiliki kebun eucalyptus di wilayah APL melalui kemitraan Kebun Kayu Rakyat (PKR). Kerjasama ini pun menimbulkan persoalan serius dalam aspek lingkungan karena berkontribusi pada percepatan deforestasi hutan alam di Tano Batak. 

Data Auriga menunjukkan skema PKR di luar konsesi tidak hanya memicu pembukaan hutan, tetapi juga merusak koridor satwa dan menyebabkan pembabatan hutan alam, terutama di wilayah Tapanuli Selatan. 

Skema ini tetap saja melakukan penebangan hutan alam dan menggantinya dengan tanaman monokultur. Sepintas praktik ini tampak tidak bermasalah karena adanya kesepakatan dengan masyarakat, namun pada kenyataannya justru memicu kerusakan ekologis yang serius. 

Makanya bencana banjir besar dan tanah longsor di sekitar konsesi terjadi berulang. Pada 2023, terjadi tragedi bencana ekologi di Sihotang yang mengakibatkan satu orang meninggal. Pada tahun yang sama, bencana di Simangulampe menewaskan 12 orang. Meskipun wilayah tersebut bukan bagian dari konsesi, temuan pohon eucalyptus di lokasi menunjukkan adanya jejak aktivitas industri kehutanan. 

Peristiwa terbaru terjadi di Parapat pada Maret 2025, kota tersebut lumpuh karena banjir dan dihantam bebatuan yang terbawa dari bukit. Walaupun tidak menimbulkan korban jiwa, bencana yang terjadi di Parapat pada Maret lalu merupakan yang terparah sebelum tragedi saat ini.

Tak ayal jika siklon tropis senyar datang pada November 2025 lalu berdampak pada beberapa kabupaten serta puluhan hingga ratusan desa. 

Juru Bicara Auriga Nusantara, Hilman Afif, menyebutkan pemerintah maupun perusahaan seharusnya sadar bahwa aktivitas ekstraktif, seperti PT TPL, memiliki dampak lingkungan yang signifikan. Namun setelah adanya bencana mereka masih bersembunyi dibalik legalitas. 

“Status administratif seperti dokumen izin tidak bisa dijadikan tameng. Label “taat aturan” hanyalah legitimasi formal yang menutupi kerusakan nyata,” ucapnya. 

Sebelumnya PT TPL sendiri membantah aktivitasnya menjadi salah satu biang bencana banjir dan longsor. PT TPL  sendiri membantah bahwa aktivitasnya menjadi biang bencana ekologi. Pernyataan mereka melalui bursa efek menyebutkan seluruh kegiatan HTI telah melalui penilaian High Conservation Value (HCV) dan High Carbon Stock (HCS) oleh pihak ketiga untuk memastikan penerapan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari. 

Total areal 167.912 ha konsesi, perusahaan itu hanya mengembangkan tanaman eucalyptus sekitar 46.000 ha, sementara sisanya dipertahankan sebagai kawasan lindung dan konservasi. 

Selama lebih dari 30 tahun beroperasi, PT TPL menjaga komunikasi terbuka melalui dialog, sosialisasi, serta program kemitraan dengan Pemerintah, Masyarakat Hukum Adat, tokoh masyarakat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.