Badak Musofa: Baru Mau Dikawinkan, Keburu Meninggal

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

SOROT

Kamis, 27 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kementerian Kehutanan akhirnya mengumumkan kabar kematian Badak Musofa hari ini (27/11/2025). Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) jantan tersebut mati pada 7 November 2025, namun kabar kematiannya baru diumumkan secara resmi 20 hari kemudian.

Musofa mati setelah kurang lebih 3 hari menempati kandang badak di Javan Rhino Study and Conservation Sanctuary Area (JRSCA), sebuah fasilitas yang dibangun untuk pelestarian dan pengembangbiakan badak jawa di Ujung Kulon, Banten.

Sebelumnya Musofa hidup di alam bebas di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Namun sial ia masuk dalam perangkap lubang yang sengaja dibuat oleh pihak pengelola taman nasional, diangkut ke JRSCA dan mati di sana. Dengan lain perkataan, Musofa mati di sebuah tempat asing, jauh dari rumahnya di hutan Ujung Kulon.

Dalam keterangan resminya, pihak Balai TNUK menyebut bahwa Musofa tidak dapat diselamatkan akibat kondisi penyakit kronis bawaan yang sudah lama diderita. Kepala Balai TNUK, Ardi Andono, mengatakan Musofa berhasil masuk pit trap atau perangkap lubang pada 3 November 2025. Kemudian, proses pemindahan dilakukan setelah mempertimbangkan faktor cuaca ekstrem dan keselamatan satwa.

Jasad Badak Musofa saat tiba di laboratorium anatomi IPB, pada 8 November 2025. Foto: Balai TNUK.

“Musofa tiba di JRSCA pada 5 November 2025 dengan kondisi stabil dan menunjukkan respons adaptasi yang baik pada fase awal. Tim dokter hewan memberikan observasi ketat dan penanganan kesehatan sejak hari pertama,” kata Ardi, Kamis (27/11/2025).

Namun, lanjut Ardi, pada 7 November 2025, Musofa mengalami penurunan kondisi klinis. Tim medis pun segera memberikan penanganan darurat sesuai standar penyelamatan satwa liar. Sayangnya pada sore di hari yang sama, Musofa dinyatakan tidak dapat diselamatkan.

Ardi mengatakan, nekropsi atau bedah bangkai dilakukan oleh tim patologi Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB) IPB University untuk memastikan penyebab kematian Musofa. Pemeriksaan menunjukkan adanya penyakit kronis yang sudah berlangsung lama pada lambung, usus, dan otak, infeksi parasit dalam jumlah signifikan, serta tanda degenerasi jaringan. Ditemukan pula luka lama akibat perkelahian di alam, yang menjadi faktor tambahan, namun bukan penyebab utama.

Adapun dalam Laporan Pemeriksaan Patologi Anatomi yang dikeluarkan IPB, yang dilihat Betahita, anamnese yang tertulis pada laporan itu menyebut bahwa Musofa mengalami kelemahan umum dan mendadak mati pada Jumat (7/11/2025) siang, sekitar pukul 14.00 WIB. Sebelum mati terdapat indikasi perubahan tingkah laku berupa disorientasi ringan dan limbung saat penurunan badak dari kendaraan truk.

Badak Musofa saat berada di dalam kandang angkut, pada 4 November 2025. Foto: Balai TNUK.

Laporan yang diterbitkan pada 11 November 2025 itu menyimpulkan bahwa berdasarkan temuan pemeriksaan saat nekropsi diduga Musofa telah berusia lebih dari 45 tahun berdasarkan data gigi, dan kematian badak jawa tersebut diduga akibat kelemahan umum yang kronis yang terjadi jauh sebelum penangkapan dan translokasi dilakukan.

Laporan itu selanjutnya menyebut kematian Musofa lebih disebabkan kondisi hipoproteinemia parah akibat investasi berat parasit di saluran pencernaan dan juga otot, yang menyebabkan timbunan cairan di otak mengakibatkan gangguan koordinasi dan paru-paru, yang menyebabkan penurunan kadar oksigen darah sehingga badak mengalami kelemahan umum.

Program translokasi badak jawa harus dievaluasi

Kematian Badak Musofa ini menarik banyak perhatian dari para pemerhati badak jawa. Direktur Langit Cerah Indonesia, Fajar Shandika Negara, mengatakan keberadaan parasit adalah hal yang cukup umum ada pada tubuh dan organ dalam satwa, termasuk badak. Ia berpendapat, Badak Musofa tidak akan mati, setidaknya dalam waktu dekat, bila satwa dilindungi tersebut tetap berada di alam habitatnya.

“Jadi sepertinya proses translokasi itulah yang justru jadi masalahnya. Bisa jadi dia mengalami stress sejak masuk perangkap dan kandang angkut. Apalagi dia harus melakukan perjalanan panjang yang cukup lama, lewat laut dilanjutkan jalur darat. Proses itu mungkin malah membuat kesehatannya menurun,” kata Fajar.

Fajar melanjutkan, Badak Musofa adalah individu yang sudah dipilih oleh tim untuk ditangkap dan ditranslokasi, namun bila badak bercula satu itu ternyata mengidap penyakit kronis, maka pemilihan badak juga perlu ada perbaikan. Fajar juga menduga tim tidak melakukan pengecekan kesehatan secara menyeluruh sejak awal Badak Musofa tertangkap.

“Mungkin kalau dari awal langsung dicek kesehatannya, bisa lebih tahu mitigasi seperti apa yang harus dilakukan untuk penanganannya. Soalnya baru ketahuan apa masalah kesehatannya itu baru tanggal 7. Padahal si Musofa ini sudah masuk perangkap tanggal 3,” ucap Fajar.

Badak Musofa masuk dalam perangkap lubang dibuat untuk penangkapannya, pada 3 November 2025. Foto: Balai TNUK.

Fajar memberi saran kepada tim translokasi badak. Menurutnya tim harus menghentikan dulu upaya translokasi badak lain dari habitatnya ke JRSCA. Ia menyarankan agar dilakukan peninjauan ulang secara menyeluruh. Tentunya dengan melibatkan ahli-ahli badak lain, termasuk dari kalangan akademisi perguruan tinggi, agar bisa mendapatkan sudut pandangan baru.

Sebab, Fajar melanjutkan, walaupun tim ahli yang ada saat ini berlindung pada standar internasional, namun bercermin dari kasus Musofa yang kesehatannya mengalami penurunan drastis setelah tiba di JRSCA, maka program translokasi badak jawa dengan nama Operasi Merah Putih ini menjadi layak untuk benar-benar dievaluasi.

“Walaupun cuma satu badak yang mati, tapi bisa dibilang ini badak yang secara genetik terbaik. Kalau terus berulang dan dianggap biasa saja, bisa-bisa badak yang ada di alam malah terganggu kestabilan perkembangbiakannya,” katanya.

Berdasarkan informasi yang terhimpun, terdapat 15 individu badak jawa yang direkomendasikan menjadi kandidat indukan badak yang akan ditangkap dan dikawinkan di JRSCA. Badak-badak itu terdiri dari 8 badak jantan, dan 7 badak betina.

Delapan badak jantan itu terdiri dari Bagus, Lordzac, Pajero, Raden, Mandala, Rama, Musofa dan Duba. Sedangkan 7 badak betinanya adalah Sekar, Desi, anak Melati, Ratu, Arum, Silva dan Melati. Namun dari 15 badak tersebut, badak yang akan ditangkap dan dikawinkan di JRSCA hanya 2 individu saja, masing-masing berkelamin jantan dan betina.

Berpacu melawan perkawinan sedarah

Seperti diketahui, satwa ikonik ini masuk dalam kategori criitically endangered atau terancam punah menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List. Selain itu, spesies ini juga tercantum dalam Apendiks I CITES, sehingga dilarang keras untuk diperdagangkan karena jumlah populasinya yang sangat terbatas.

Ardi sebelumnya menjelaskan, di Indonesia, badak jawa secara historis tersebar dari pulau Jawa, Sumatra, hingga Kalimantan. Perburuan masif, pengurangan habitat, hingga penyakit sejak zaman pemerintah kolonial Belanda berkontribusi besar pada pengurangan populasi mereka.

Kini satu-satunya habitat spesies ini terkonsentrasi di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, yang menempati sekitar 32.000 hektare area dari luas total 122.956 hektare kawasan tersebut. Menurut data resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2022), populasinya sekitar 75 individu, yang tersebar dalam kantong-kantong kecil. 

Populasi kecil dan terfragmentasi ini kemudian meningkatkan risiko perkawinan sedarah antar badak (inbreeding depression), dengan tingkat 58,5 persen. Menurut catatan Ardi, susunan genetik atau DNA badak jawa yang ada di kawasan itu tersisa dua saja, yakni haplotipe-1 dan haplotipe-2, dengan haplotipe-1 mendominasi hingga 70 persen dari total populasi. 

“Jadi DNA-nya itu depresi. Sekarang ancaman yang ada di depan mata itu (masalah) DNA, dan yang kedua adalah jumlah anakan yang menurun setiap tahun,” kata Ardi. 

Menurut Ardi, dampak dari fenomena inbreeding depression ini terlihat dari adanya ciri cacat bawaan pada anakan badak yang lahir di kawasan tersebut. Ardi mengatakan, saat ini data menunjukkan keberadaan 13 ekor anakan dengan cacat pada tubuhnya. Dokumen yang diperoleh Betahita menunjukkan cacat ini di antaranya terdapat pada telinga, ekor, serta adanya bentuk tidak normal pada bagian-bagian tubuh badak.

Proses pengangkutan Badak Musofa dengan KAPA K-61 Marinir TNI AL, pada 5 November 2025. Foto: Balai TNUK.

Adapun dampak lain dari depresi tersebut adalah tingginya angka kemandulan pada badak betina, yakni 55% dari total jumlah badak betina di Ujung Kulon, atau sekitar 10 individu. Ini menyebabkan tingkat kelahiran yang rendah selama 20 tahun terakhir, yakni tiga anakan per tahun. 

Dari sekian banyak ancaman pada keberlangsungan badak jawa, ada faktor seperti perburuan, persaingan pakan, bencana tsunami, dan risiko penyakit. Namun faktor alaminya tidak kalah mengancam: analisis kelangsungan populasi badak jawa memperkirakan spesies pemalu ini dapat punah dalam waktu kurang dari 50 tahun tanpa adanya intervensi nyata. 

Hal ini, lanjut Ardi, juga disumbang oleh sejumlah faktor perilaku alami badak itu sendiri. Ini termasuk lamanya durasi kehamilan (16 bulan) serta masa sapih dua tahun. Jika ingin kawin, badak betina dan jantan harus berkelahi terlebih dulu. Jika pejantan kalah, betinanya tidak bersedia kawin. Ada pun risiko tidak hamil itu dapat berujung pada tumor ataupun kista. 

“Ini adalah problem alami yang harus dihadapi, terlepas dari faktor perburuan ataupun bencana tsunami. Artinya, di luar faktor perburuan atau bencana tsunami, badak jawa tetap punah kalau tidak ada intervensi manusia. Hal ini sudah tercatat pada jurnal ilmiah,” ujarnya.