Ada Risiko 156.000 Kematian Dini dari 20 PLTU Batu Bara
Penulis : Kennial Laia
PLTU
Rabu, 05 November 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Hampir 90 ribu kematian dini terjadi akibat polutan dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di sejumlah wilayah selama periode 25 tahun terakhir. Jika pemerintah tidak melakukan pensiun dini 20 PLTU "paling berbahaya" ini, maka ada risiko 156.000 kematian dini lainnya yang akan terjadi hingga 2050, menurut sebuah laporan terbaru dari koalisi organisasi masyarakat sipil.
Dalam laporan tersebut–yang diterbitkan Selasa, 4 November 2025–para peneliti menganalisis 20 pembangkit paling berbahaya di seluruh Indonesia, berdasarkan emisi karbon tahunan, dampak kesehatan dan lingkungan, serta kerugian sektor ekonomi negara dan masyarakat. Mereka menemukan PLTU paling toksik ini paling banyak berada di Jawa Tengah, disusul Banten dan Jawa Timur.
Pembangkit yang masuk daftar paling berbahaya tersebut di antaranya PLTU Adipala, Jawa Tengah; PLTU Tanjung Jati B, Jepara; PLTU Banten, Banten; OLTU Muara Enim, Sumatra Selatan; PLTU Celukan Bawang, Bali; dan PLTU Indramayu, Jawa Barat.
Laporan tersebut menemukan, Presiden Prabowo Subianto mempertaruhkan 156.000 kematian dini serta kerugian ekonomi Rp1,813 kuadriliun dari perhitungan akumulatif operasional 20 PLTU paling berbahaya hingga 2050. Riset ini juga menyoroti satu tahun kepemimpinan Prabowo yang tidak melihat tindakan berarti untuk mewujudkan komitmen iklim globalnya memensiunkan PLTU dan 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun mendatang.
Analisis dispersi cemaran polusi terhadap kesehatan masyarakat akibat pembakaran energi fosil di PLTU di antaranya meliputi kelahiran prematur, kelahiran dengan berat badan kurang, kunjungan ruang gawat darurat, asma pada anak, stroke, tahun-tahun yang dijalani dengan disabilitas, ketidakhadiran bekerja hingga kematian dini. Perhitungan dampak ini mulai dari kumulatif historis (2000-2025) dan proyeksi kumulatif di masa depan (2026-2050).
“Belakangan, kita sering mendengar berita kenaikan angka akibat ISPA di Jakarta pada 2025. Salah satu penyebab dari ISPA yakni cemaran polutan lintas batas dari PLTU batu bara di sekitar Jakarta. Kebergantungan Indonesia pada pembangkit listrik berbasis batu bara tidak hanya membawa risiko kesehatan bagi seluruh masyarakat, tapi juga membebani perekonomian dalam jangka panjang serta melemahkan komitmen transisi energi dan target iklim nasional,” ujar Katherine Hasan, Analis dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA).
Pemerintah telah menerbitkan sejumlah peraturan terkait rencana pemensiunan batu bara, termasuk Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2025 tentang peta jalan energi sektor ketenagalistrikan. Menurut Katherine, aturan ini tidak akan mencegah Indonesia dari risiko mematikan pembakaran batu bara.
“Aturan itu baru bersifat opsional bukan mandat untuk penyelamatan iklim dan masyarakat namun bergantung pada bantuan pendanaan. Bauran energi tinggi emisi yang diklaim terbarukan hanya memperpanjang masa penggunaan pembangkit energi kotor,” katanya.
Kerugian ekonomi dan hilangnya pendapatan masyarakat
Riset terhadap 20 PLTU di jaringan Sumatra, Jawa, dan Bali ini juga mengungkap kerugian ekonomi per tahun di masa mendatang yang dialami negara. Angkanya mencapai Rp52,4 triliun. Adapun pendapatan masyarakat berkurang secara agregat sebesar Rp48,4 triliun dari operasi pembangkit energi fosil tersebut.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Atina Rizqiana mengatakan, kehadiran PLTU tidak hanya memberikan dampak negatif secara makro terhadap perekonomian, tapi juga menghancurkan ekonomi di sektor-sektor strategis yang selama ini menjadi mata pencaharian warga.
“Selain mengakibatkan tingginya angka ketidakhadiran kerja, kehadiran PLTU mengakibatkan 1,45 juta tenaga kerja kehilangan pekerjaan. Mereka rata-rata berasal dari sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan akibat pencemaran lingkungan,” kata Atina.
“Hal ini menjadi ironi, sebab pemerintahan Prabowo-Gibran berjanji membuka 19 juta lapangan kerja, tapi nyatanya pemerintah justru menghilangkan sumber ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Ekonomi pensiun dini PLTU batu bara
Penelitian ini juga mengungkap bahwa pemensiunan dini PLTU justru mampu menghemat potensi kerugian negara. Melalui riset ini, para investor juga harus melihat bahwa pembangunan PLTU bukan hanya bisnis yang merugikan secara finansial, tapi juga menghancurkan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
“Di tengah situasi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, pemensiunan dini PLTU justru menjadi solusi untuk menyelamatkan keuangan negara. Potensi dampak kematian dini dan kerugian ekonomi ini bukan hanya deretan angka, tapi warga yang menjadi korban atas kehadiran PLTU memang ada," kata Pengampanye Energi Trend Asia Novita Indri Pratiwi.
"Negara-negara pemberi modal dan pemerintah harus berhenti menawarkan solusi palsu untuk menunda pemensiunan PLTU, melainkan benar-benar melakukan transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan,” ujarnya.
Dalam peluncuran riset ini, tim peneliti telah memberikan undangan untuk Kementerian ESDM untuk memberikan tanggapan atas studi ini, namun tidak ada konfirmasi kehadiran hingga acara berlangsung. Kementerian ESDM merupakan salah satu kementerian yang memegang peran krusial dalam perencanaan pemensiunan PLTU.


Share

