Perusahaan Jepang Didesak Setop Terima Pelet Hasil Deforestasi
Penulis : Aryo Bhawono
Deforestasi
Kamis, 30 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Koalisi LSM lingkungan global menyurati dua perusahaan energi Jepang untuk menghentikan penggunaan biomassa dari deforestasi hutan tropis di Gorontalo, Indonesia. Perusahaan pemakai pelet kayu dari Gorontalo di Jepang dan Korea Selatan pun terindikasi melakukan greenwashing.
Lima lembaga pegiat lingkungan yang mengirimkan surat ini adalah Global Environmental Forum (GEF), Japan Tropical Forest Action Network (Jatan), U-Tan Association for Forest and Lifestyle Consideration, Mighty Earth, dan Biomass Industrial Society Network (NPO).
Surat ini ditujukan untuk dua perusahaan Jepang, yakni Hanwa Co.,Ltd dan Tokyo Gas., Ltd. Dua perusahaan ini diduga terlibat dalam dalam produksi dan pengadaan pelet kayu di Provinsi Gorontalo, Indonesia.
Hanwa Kogyo berinvestasi sebesar 20 persen kepemilikan di pabrik pelet PT Biomassa Jaya Abadi (BJA) di Provinsi Gorontalo. Pelet kayu hasil deforestasi hutan alam diekspor ke ke Jepang dan Korea Selatan.
Tokyo Gas Co., Ltd. merupakan pemegang saham mutlak Prominet Power. Korporasi ini menggunakan pelet dari Indonesia untuk pembangkit listrik biomassa Fushiki Manyofuto berkapasitas 51,5 Mega Watt. Pembangkit itu membutuhkan 130.000 pellet kayu tiap tahun.
Dua perusahaan mendapat lima pertanyaan terkait kontradiksi komitmen mereka terhadap energi terbarukan. Mereka menyebutkan pembangkit listrik biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang berkontribusi pada dekarbonisasi. Namun fakta menunjukkan kebutuhan biomassa justru dipenuhi melalui deforestasi hutan alam di negara tropis.
Pada September 2025, GEF, mewakili koalisi LSM ini bertandang ke Gorontalo untuk memantau perkebunan kayu sumber biomassa yang selama ini memenuhi kebutuhan energi di negara matahari terbit itu. Dua lembaga itu bersama Auriga Nusantara dan LSM Korea, Solutions for Our Climate (SFOC), menemukan bahwa kebun kayu tersebut masih berupa hutan alam yang selama ini ditebang demi ekspor pelet kayu.
Tampak hutan alam yang ditebang untuk pembangunan kebun kayu di konsesi PT Bayan Tumbuh Lestari di Gorontalo. Foto: Auriga Nusantara
PT BJA sendiri mendapat asupan dari dua perusahaan perkebunan kayu yang terafiliasi, yakni PT Inti Global Laksana (IGL) dan PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL).
Catatan para pegiat lingkungan itu menyebutkan sejak tahun 2022, sebesar 3.400 hektare hutan alam telah ditebang, artinya seluas 1.000 ha hutan tropis hilang dalam satu tahun terakhir saja. Namun Hanwa Kogyo, selaku pemegang saham PT BJA mengakui kedua area konsesi tersebut sebagai lahan produktif, bukan hutan.
Gorontalo terletak di tengah Semenanjung Minahasa di timur laut Sulawesi. Daerah itu memiliki posisi strategis sebagai kawasan ekosistem esensial. Kawasan itu termasuk dalam area Wallacea dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Sayoko Iinuma dari GEF menyebutkan Hutan tropis di kawasan memiliki fungsi penting untuk melindungi ekosistem unik ini, yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Dua wilayah konsesi tempat BJA mendapatkan kayunya tumpang tindih dengan habitat anoa dataran rendah (bubalus sp) dan babi rusa (Babyrousa babyrussa linnaeus), keduanya spesies yang terancam punah dan endemik menurut Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).
“Hutan tropis ini, yang menawarkan nilai nyata maupun tak nyata bagi kehidupan lokal dan lingkungan, juga krusial bagi dunia,” kata dia, melalui pesan tertulis pada redaksi pada Rabu (29/10/2025).
Surat itu juga menyebutkan Deforestasi di hulu, wilayah konsesi, dilaporkan berdampak pada sumber air yang penting bagi kehidupan penduduk setempat dan meningkatkan kerusakan akibat banjir.
Selain itu, penguasaan hutan oleh korporasi juga menyebabkan ketimpangan kepemilikan lahan sehingga menghilangkan akses penduduk untuk memanfaatkan hutan dan menyebabkan kemiskinan.
“Sangat disayangkan bahwa pelet kayu yang terbuat dari penebangan hutan ini dibakar sebagai bahan bakar "energi terbarukan" di Jepang, dibeli dengan uang yang dibayarkan oleh kita, konsumen Jepang,” ucapnya.
Dunia telah kehilangan terlalu banyak hutan, kata Sayoko, hutan tropis alami yang tersisa sungguh berharga dan harus dilestarikan untuk masa depan. Bahan bakar yang dihasilkan dari penebangan hutan tropis mustahil dapat diperbarui.
Meski perusahaan tersebut mengantongi legalitas kayu untuk produksi pelet kayu namun deforestasi mengancam hutan Gorontalo.
Mereka mengajukan lima pertanyaan kepada Tokyo Gas dan Hanwa Kogyo, meliputi kontroversi klaim energi bersih biomassa, rantai pasok, kebijakan investasi bersih, penanganan dampak keanekaragaman hayati, hingga HAM bagi masyarakat lokal.
Selain itu mereka pun mendesak Hanwa Kyogo untuk menghentikan penebangan hutan tropis untuk produksi pelet kayu dan mencegah deforestasi tropis lebih lanjut, serta meminta dua pemasok grup PT BJA memulihkan ekosistem Provinsi Gorontalo.
Selain pasokan dari Gorontalo, Hanwa Kogyo mesti menghentikan pengadaan bahan baku dari lahan yang saat ini tertutup hutan alam, terlepas dari luas lahannya.
Sementara desakan yang sama juga mereka tujukan kepada Tokyo Gas, yakni merumuskan kebijakan untuk tidak membeli bahan bakar hasil deforestasi, menghentikan pengadaan pelet dari lahan yang saat ini tertutup hutan alam meski legal menurut hukum negara asal, dan mengidentifikasi dan menilai potensi dan dampak buruk hak asasi manusia.
Kedua perusahaan juga mesti menerapkan uji tuntas (Due Diligence/DD) untuk memastikan tidak ada konversi dari hutan alam atau pencampuran bahan baku, memastikan ketertelusuran, dan mengungkapkan informasi.
Lima NGO lingkungan Jepang itu menekankan bahwa surat ini bersifat terbuka dan memberikan tenggat waktu kepada kedua perusahaan itu hingga 10 November 2025 untuk memberikan jawaban terbuka.
Terpisah, Direktur Hutan Auriga Nusantara, Supintri Yohar, yang turut bertandang ke Gorontalo bersama mereka mempertanyakan klaim ramah lingkungan atas energi biomassa ini. Ia menyaksikan hutan alam di Indonesia dibabat. Kayu hasil deforestasi itu kemudian diekspor ke Jepang dan Korea Selatan.
Ironisnya di negara tujuan produk itu, kayu dalam bentuk pelet, kemudian dicap ramah lingkungan.
“Bagaimana sumber bahan bakar yang disebut hijau dan berkelanjutan jika itu diperoleh dari menggiling kayu alam dan menggusur ekosistem tempat asal kayu tersebut berada,” ujarnya.
Perusahaan kata dia, mengklaim produknya ramah lingkungan padahal kenyataannya tidak, mereka tahu itu. Namun tujuannya hanya untuk memperbaiki citra produk dan menarik konsumen yang peduli lingkungan.


Share

