Buruh Nikel di KIBA Dirikan Serikat

Penulis : Kennial Laia

Tambang

Selasa, 14 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Ratusan buruh dari Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) mendeklarasikan pembentukan Serikat Buruh Industri Pertambangan di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Pembentukan serikat tersebut menyusul berbagai pengabaian hak yang dialami buruh yang bekerja di industri nikel tersebut. 

Ketua Serikat Buruh Industri Pertambangan KIBA Junaid Judda mengatakan, banyak perusahaan tidak memenuhi hak buruh di kawasan tersebut. Di antaranya ribuan buruh yang dirumahkan tanpa waktu yang jelas setelah smelter milik Huadi Group di KIBA menghentikan produksinya akibat merosotnya harga nikel. 

PHK sepihak tersebut, kata Junaid, terjadi sejak akhir 2024. Perusahaan-perusahaan di bawah grup asal Tiongkok tersebut melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap ribuan karyawan secara bertahap. 

“Terbentuknya SBIPE-KIBA Bantaeng tak terlepas atas situasi yang terjadi di Kawasan Industri Bantaeng, terutama pelanggaran hubungan industrial dalam hal hak-hak normatif buruh, seperti hak atas upaya lembur, hak upah pokok, hak cuti, dan yang lainnya,” ujar Junaid pada pendirian serikat tersebut, di Gedung Perpustakaan Bantaeng, Minggu, 12 Oktober 2025, 

Demo buruh memprotes PHK massal di KIBA, Sulawesi Selatan, pada 2025. Dok. LBH Makassar

“Serikat buruh dibentuk sebagai rumah bagi buruh untuk menuntut hak normatifnya yang selama ini dirampas oleh perusahaan,” ujarnya. 

Menurut Junaid, eksploitasi di kawasan industri nikel di Bantaeng juga menyasar buruh perempuan, di antaranya tidak mendapatkan hak cuti haid. Buruh yang sedang hamil juga dipaksa perusahaan untuk tetap bekerja dengan sistem shift panjang. 

Nengsi, mantan buruh di KIBA, bahkan mengalami keguguran selama bekerja di kawasan industri tersebut. 

“Saat masih bekerja, saya mengalami tiga kali keguguran karena tetap bekerja 12 jam sehari, dari jam 8 malam hingga jam 8 pagi, tanpa upah lembur. Perusahaan selalu beralasan kejar target, jika tidak memenuhi, maka kami akan kena SP (surat peringatan),” ujar Nengsi. 

“Bahkan saat saya keguguran, saya tidak bisa mengajukan cuti meski saat itu sudah pucat, karena kalau cuti akan potong gaji. Saat hamil, kalau lelah saya selalu ke klinik, tapi tidak boleh lebih dari empat jam untuk istirahat, jika lebih dari itu akan dipotong gaji,” katanya. 

“Sepanjang bekerja di industri, kasus keguguran tidak hanya terjadi pada saya, tapi ada beberapa beberapa buruh lain yang saya ketahui mengalami keguguran, ujar Nengsi, mantan buruh perempuan yang bekerja di KIBA,” ujarnya. 

Tidak hanya itu, kehadiran industri nikel di Bantaeng juga telah menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan. Menurut peneliti Balang Institute Junaedi Hambali, masyarakat lokal dipaksa menghirup debu pekat sejak berdirinya KIBA. 

“Sudah lebih dari sepuluh tahun KIBA berdiri sejak ditetapkan, tapi yang tumbuh bukan kesejahteraan, melainkan luka bagi warga. Udara kotor, tanah tercemar, ruang hidup hilang, dan konflik sosial terus bermunculan,” kata Junaedi. 

“KIBA merupakan salah satu wajah suram kehadiran hilirisasi nikel, khususnya di Sulawesi Selatan. Bukti bahwa manusia dan alam sama-sama dikorbankan demi keserakahan pemerintah atas nama investasi,” ujarnya. 

Junaedi mengatakan, pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan evaluasi terhadap tata kelola nikel dan kebijakan perburuhan.

“Industri nikel, tak hanya di KIBA, telah banyak mengabaikan perlindungan buruh, tak hanya pemenuhan hak normatif, tapi juga kasus-kasus kecelakaan kerja. Padahal buruh merupakan komponen yang sangat penting dalam proses produksi industri nikel,” katanya.