Walhi Sulteng Minta Legalisasi Tambang Ilegal Dibatalkan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Selasa, 14 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Langkah Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong yang mengeluarkan rekomendasi untuk melegalisasi tambang-tambang emas ilegal, mendapat kritik dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah (Sulteng). Kebijakan ini dinilai sebagai bentuk yang selama ini menikmati keuntungan besar dari praktik penambangan tanpa izin, sekaligus membuka jalan bagi eksploitasi sumber daya alam yang tersisa di wilayah tersebut.

Berdasarkan Surat Rekomendasi Bupati Parigi Moutong Nomor 600.3.1/4468/DIS.PUPRP, tertanggal 17 Juni 2025, pemerintah daerah mengusulkan perubahan wilayah pertambangan rakyat (WPR) dengan total 53 titik tambang yang tersebar di 30 desa pada 23 kecamatan, mencakup luasan 355.934,25 hektare.

“Bagi Walhi Sulteng, angka tersebut sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan tata ruang serta daya dukung lingkungan hidup Kabupaten Parigi Moutong. Kabupaten tersebut dikenal luas sebagai lumbung pangan, perikanan, agrobisnis, dan pariwisata di Sulteng,” kata Wandi dari Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng, dalam sebuah siaran pers, Sabtu (11/10/2025).

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Parigi Moutong, lanjut Wandi, total luas wilayah kabupaten ini mencapai 581.300,37 hektare, yang terdiri kawasan hutan 119.293 hektare, kawasan pertanian 237.493 hektare, kawasan perikanan 9.027 hektare, dan kawasan permukiman 23.950 hektare.

Tampak dari ketinggian lahan tambang ilegal di Sulteng. Foto: Komiu.

Wandi menjelaskan, dengan total kawasan peruntukan sebesar 389.763 hektare, maka hanya tersisa 191.537,37 hektare saja yang masih dapat dimanfaatkan secara terbatas sesuai daya dukung lingkungan. Namun, rekomendasi WPR yang diajukan oleh pemerintah daerah justru mencapai 355.934,25 hektare, melebihi luas wilayah yang tersisa hingga sekitar 164.397,38 hektare.

“Kelebihan alokasi ini tidak hanya melanggar prinsip tata ruang, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik lahan, kriminalisasi masyarakat, hingga perampasan ruang hidup rakyat kecil,” ucapnya.

Menurut Walhi Sulteng, imbuh Wandi, kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan keselamatan lingkungan, melainkan tunduk pada kepentingan segelintir elit ekonomi-politik yang berusaha melanggengkan praktik tambang dengan dalih pertambangan rakyat. Padahal dalam kenyataannya, banyak tambang yang disebut sebagai tambang rakyat justru dikendalikan oleh pemodal besar, aparat, maupun pengusaha lokal,

“Sementara masyarakat hanya menjadi buruh tambang dengan upah rendah dan tanpa perlindungan keselamatan kerja,” ujar Wandi.

Wandi merasa heran, alih-alih memperbaiki tata kelola sumber daya alam dan menegakkan hukum terhadap tambang ilegal, pemerintah daerah justru ingin melegalkan kejahatan lingkungan yang selama ini merusak ekosistem dan memiskinkan masyarakat, bahwa langkah ini adalah bentuk nyata dari politik pengabaian terhadap rakyat dan alam, di mana ruang hidup masyarakat petani dan nelayan semakin terhimpit oleh ekspansi industri ekstraktif.

Walhi Sulteng, sambung Wandi, menilai bahwa legalisasi tambang ilegal akan berdampak langsung terhadap kerusakan ekologis di Parigi Moutong. Aktivitas tambang emas berpotensi mencemari sungai, lahan pertanian, dan pesisir, terutama dengan penggunaan merkuri dan sianida yang umum digunakan di tambang-tambang rakyat.

“Dampak tersebut tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga kesehatan masyarakat dan ketahanan pangan daerah,” kata Wandi.

Menurut Wandi, Kabupaten Parigi Moutong selama ini menjadi salah satu wilayah penyangga pangan di Sulawesi Tengah. Bila tambang terus diperluas tanpa kendali, maka krisis pangan dan air bersih akan menjadi ancaman nyata. Masyarakat petani dan nelayan yang bergantung pada kualitas tanah dan air akan kehilangan sumber penghidupan mereka, sementara hasil ekonomi tambang justru mengalir ke segelintir pihak.

Wandi menegaskan bahwa pengelolaan wilayah pertambangan harus dilakukan secara partisipatif, transparan, dan berkeadilan, bukan dengan cara meloloskan rekomendasi yang cacat prosedur dan merugikan kepentingan publik. Pemerintah daerah seharusnya memprioritaskan pemulihan lingkungan, penguatan ekonomi rakyat, dan perlindungan ruang hidup masyarakat, bukan memperluas ruang eksploitasi tambang.

“Jika rekomendasi ini diteruskan dan disahkan menjadi wilayah pertambangan rakyat, maka yang terjadi bukan kesejahteraan, tetapi bencana ekologis dan sosial yang berkepanjangan,” ucap Wandi.

Oleh karena itu, imbuh Wandi, Walhi Sulteng mendesak agar surat rekomendasi Bupati Parigi Moutong Nomor 600.3.1/4468/DIS.PUPRP karena bertentangan dengan RTRW dan prinsip keberlanjutan lingkungan, untuk dicabut, dan melakukan audit lingkungan dan penegakan hukum terhadap seluruh tambang ilegal yang selama ini beroperasi tanpa izin resmi.

Selain itu, menjamin perlindungan hak masyarakat lokal dan petani, serta memulihkan wilayah yang telah rusak akibat aktivitas tambang, dan mengembalikan fungsi ekologis dan produktif Parigi Moutong sebagai wilayah penyangga pangan, perikanan, dan pariwisata berkelanjutan.