Anak Disabilitas dan Mahasiswa Jadi Korban Kekerasan PT TPL 

Penulis : Kennial Laia

Agraria

Rabu, 24 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Seorang anak penyandang disabilitas menjadi korban dalam kekerasan yang menimpa masyarakat adat Sihaporas di Sumatra Utara. Peristiwa itu terjadi saat ratusan massa yang diduga karyawan di perusahaan bubur kertas PT Toba Pulp Lestari (TPL) menyerbu warga pada Senin, 22 September 2025. 

Dimas Ambarita (17 tahun) menyandang tuna daksa atau gangguan mobilitas yang membuatnya sulit berjalan. Saat kejadian tersebut, Dimas sedang bersama ayahnya di posko milik warga. Ketika penyerbuan terjadi, ayahnya turut menghadapi massa. Sementara Dimas berlindung di posko bersama sejumlah perempuan, mahasiswa, dan lansia, di Desa Sihaporas, Pematang Sidamanik, Simalungun, yang juga ada di kawasan Danau Toba. 

Feny Siregar, mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University yang sedang meneliti bahan skripsi di kampung tersebut menjadi saksi pemukulan Dimas. Feny mengaku dirinya sedang melindungi Dimas, namun kepalanya justru dipukuli dengan pentungan kayu yang diduga dilakukan penjaga (security) PT Toba Pulp Lestari. 

“Saya dikejar-kejar pekerja TPL. Mungkin karena saya mengenakan jaket kampus IPB. Saya lalu sembunyi di posko yang juga hunian masyarakat adat,” kata Feny. 

Seorang perempuan adat Sihaporas terluka akibat pemukulan yang diduga dilakukan oleh para pekerja PT TPL. Foto: AMAN Tano Batak.

“Saat pekerja TPL memukuli warga, saya juga dipukul. Mengira saya pihak LSM sebagai provokator padahal saya sudah bilang mahasiswa. Kepala saya kena pukul kayu alat pekerja PT TPL saat melindungi Dimas," ujarnya. 

"Waktu mereka memukuli saya, mereka bilang. 'Kau provokator kan. Kau bukan mahasiswa, tapi kau dari LSM kan'," kata Feny. 

Feny mengatakan dia mendokumentasikan foto dan video pemukulan serta penganiayaan oleh massa yang diduga pekerja PT Toba Pulp Lestari. Namun saat dipukuli, Feny juga dipaksa untuk menghapus dokumentasi tersebut. 

Feny mengaku sedang bersama warga saat peristiwa penyerbuan oleh ratusan orang yang diduga bekerja di PT TPL. Saat itu, diangkut delapan truk, ratusan pekerja TPL masuk ke wilayah konflik agraria dengan lahan milik masyarakat adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas, yang telah mereka huni turun-temurun sebanyak 11 generasi.

Saat ini Dimas dirawat inap di Rumah Sakit Pematangsiantar. Feny yang mengalami bengkak di kepalanya juga menerima perawatan medis. 

Putri Ambarita, yang merupakan kakak Dimas, juga mengalami luka serius. Putri dipukul di bagian kaki, punggung, pundak, dan kepala, saat sedang bersembunyi di posko bersama Dimas dan Feny. 

Dua lansia turut menjadi korban pemukulan. Rosmawati Ambarita (78 tahun) mengalami pukulan di bagian mata dan pundak, sedangkan Delima Sinaga (61 tahun) di bagian pundak. 

"Kak Putri sampai berlutut memohon agar tidak dipukuli. Namun pekerja TPL tidak peduli. Kami dihajar," ujarnya. 

"Menurut dokter, kondisinya parah. Agak linglung. Jadi kata dokter akan dibawa untuk konsultasi lanjutan ke psikolog atau psikiater," kata Feny.

Sekretaris Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Marihot Ambarita mengatakan, 33 warga mengalami luka-luka akibat kekerasan pekerja PT TPL, termasuk perempuan anak. 

"Mahasiswa IPB ini pun dipukuli, karena sekurity Dan pekerja TPL menduga dia bagian aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Padahal dia sudah bilang mahasiswa dari IPB, tetap dipukuli. Ponselnya pun diminta hapus foto-foto dan video berisi tentang rekaman kekerasan pekerja TPL," katanya. 

Rektor IPB University Arif Satria mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti kasus pemukulan yang dialami Feny. "Kami sangat prihatin pada kasus yang menimpa Saudari Feny, yang menjadi korban pemukulan. IPB University akan segera melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menindaklanjuti kasus tersebut, " ujar Rektor.

Dekan Fema IPB University Sofyan Sjaf mengatakan pihaknya akan segera datang ke lokasi kejadian. "Kami akan berkoordinasi dengan Polda Sumatra Utara untuk melakukan pendalaman fakta dan penelusuran lebih lanjut. Kami juga akan bertemu dengan Saudara Feny dan keluarga untuk memastikan kondisi kesehatan fisik dan mental Feny tertangani dengan baik, " katanya. 

Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, kekerasan tersebut diduga dilakukan oleh para pekerja PT TPL, yang terdiri dari pekerja buruh harian lepas (BHL), petugas pengamanan (security), dan sejumlah warga diduga preman atau orang bayaran. Berjumlah 150 orang, mereka dilengkapi pakaian seragam menggunakan helm dan potongan kayu panjang dan tameng.

Ajakan dialog tidak dihiraukan

Bentrokan pada Senin, 22 September 2025, tersebut merupakan kelanjutan dari konflik agraria di tanah adat Sihaporas yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Masyarakat adat Sihaporas terus berjuang mempertahankan lahannya dan identitas dengan ritual adatnya. 

Berdasarkan data Badan Restorasi Wilayah Adat (BRWA), komunitas masyarakat Sihaporas mengelola wilayah adat seluas 2.093 hektare. Namun 64 persen atau 1.345 hektare tanah mereka masuk ke dalam area konsesi PT TPL. 

Insiden Senin, 22 September tersebut bermula saat 30 masyarakat berkumpul di rumah bersama di buntu Pangaturan. Di sana masyarakat mencoba menghadang pihak pekerja PT TPL dan menegosiasikan untuk diskusi, namun para pekerja dan pihak security PT TPL tidak mengindahkan.

Kepala Desa Sihaporas tahun 2002-2004, Baren Ambarita, mengatakan pihaknya mengajak dialog sebelum kekerasan itu terjadi. "Pekerja bersenjata pentungan kayu, tameng rotan, helm dengan penutup wajah. Mereka beringas memukuli warga masyarakat adat,” katanya. 

“Saat kami ajak dialog, massa pekerja PT TPL berteriak, ‘tidak ada lagi dialog’. Massa penyerang bergantian. Mereka beringas memukuli semua, perempuan, dan disabilitas,” kata Baren. 

Menurut Hengky Manalu, dari AMAN Tano Batak, para pekerja PT TPL melakukan kekerasan kepada masyarakat adat Sihaporas yang mencoba bertahan di lokasi, dengan cara mendorong, memukul dan melempar batu. Selain melakukan kekerasan, para pekerja PT TPL juga merusak posko, rumah dan sejumlah kendaraan bermotor milik masyarakat adat.