Pusaka: PSN Merauke Untungkan Korporasi, Korbankan Rakyat

Penulis : Kennial Laia

Hutan

Selasa, 23 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (Pusaka) mengecam pembebasan lahan yang terus berlangsung di Merauke, Papua Selatan. Rencana tersebut merupakan bagian dari proyek strategis nasional pangan dan energi, yang dinilai telah melanggar hak asasi manusia masyarakat adat dan merusak puluhan ribu hektare hutan tropis alami di Tanah Papua. 

Kritik tersebut menyusul pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan terkait rencana percepatan pembangunan kawasan pangan, energi, dan air nasional di Wanam, Merauke, Papua Selatan, pada 16 September lalu. Pemerintah menargetkan total pembebasan lahan 1 juta hektare di kabupaten tersebut, dengan melakukan perubahan tata ruang dan Hak Guna Usaha (HGU) sebagai bagian dari PSN pangan dan bioetanol Merauke. 

Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante, kebijakan dan praktik PSN telah memfasilitasi pemberian kemudahan dan percepatan pemberian izin perolehan tanah adat dan alih fungsi kawasan hutan skala luas di Merauke. “Kami mengecam kebijakan dan praktik PSN tersebut,” katanya. 

“Ini adalah proyek serakahnomics. Kesewenang-wenangan Menteri Zulhas dalam mendorong dan menerbitkan perubahan tata ruang, HGU, dan perizinan lainnya, adalah wujud serakahnomics dan tidak adil, yang menguntungkan korporasi dengan mengorbankan rakyat,” ujarnya. 

Masyarakat adat Malind Anim memasang palang sasi adat sebagai bentuk perlawanan PSN Merauke di Kampung Salam Epe, Wanam, September 2025. Dok. Yayasan Pusaka

Berdasarkan pemantauan Pusaka di lapangan, PSN Merauke dilakukan tanpa konsultasi dan keterlibatan bermakna marga Malind Anim dan Yei selaku masyarakat adat terdampak, untuk memberikan persetujuan atas PSN Merauke di wilayah adatnya, sesuai dengan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC).  

PSN Merauke garapan pemerintah dan swasta ini memiliki total lahan seluas 2,29 juta hektare, yang melintasi 19 dari 22 distrik di Merauke. Proyek ini juga berdampak langsung terhadap tanah milik suku marga Malind/Marind, Yeinan, Makleuw dan Khaimaima.

Pusaka mencatat, sejak dikembangkan pada 2024, masyarakat adat Malind Anim dan Yeinan telah mengalami kekerasan dan pemaksaan untuk menyerahkan tanah mereka. 

Operator perusahaan pengembang Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) Merauke maupun operator perusahaan perkebunan tebu dan bioetanol, dikawal aparat militer bersenjata telah menggusur dan menghancurkan hutan adat, rawa, savana, tempat-tempat keramat, maupun keberlanjutan keanekaragaman hayati yang bernilai konservasi tinggi, kata Franky. 

Pusaka mendokumentasikan, hingga Agustus 2025, PSN Merauke telah merusak dan menghilangkan kawasan hutan seluas lebih dari 19.000 hektare. “Angka deforestasi ini berkontribusi mempertebal emisi gas rumah kaca, sekaligus wujud pengabaian komitmen negara untuk mengatasi perubahan iklim,” kata Franky.

Deforestasi akibat pembukaan lahan untuk program cetak sawah dan energi PSN Merauke di Tanah Papua. Dok. Gecko Project via Yayasan Pusaka

Pengkampanye Pusaka Yokbeth Felle mengatakan, masyarakat adat Malind Anim dan Yei membuat keputusan secara tidak bebas dan terpaksa menyerahkan tanah adatnya kepada sejumlah perusahaan yang mengelola proyek PSN, yakni perusahaan perkebunan tebu PT Global Papua Abadi dan PT Murni Nusantara Mandiri. 

Kedua marga tersebut disebut menerima kompensasi dalam bentuk “uang tali asih” untuk menyerahkan hak atas tanah adat, dengan nilai sekitar Rp300 ribu per hektare, atau Rp3.000 per meter. 

“Nilai kompensasi yang tidak adil dan tidak sebanding dengan manfaat sosial ekonomi dan jasa lingkungan atas tanah dan hutan,” kata Yokbeth. 

PT Global Papua Abadi, PT Murni Nusantara Mandiri, dan delapan perusahaan perkebunan tebu dan bioetanol dalam PSN Merauke menguasai konsesi lebih dari 560.000 hektare. Adapun penerima manfaat (BO) perusahaan diduga memiliki keterkaitan dengan penguasa sawit, Martias Fangiono, dan Martua Sitorus, pemilik Wilmar Group. 

Dua  penguasa ekonomi ini juga memiliki izin usaha perkebunan kelapa sawit di Merauke, Sorong, Sorong Selatan dan Teluk Bintuni, hingga lebih dari 300.000 hektar. 

“Konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang adalah wujud “serakahnomics”, pembatasan penguasaan tanah maksimum dilindas,” kata Yokbeth. 

Alat berat membongkar hutan di Kampung Salam Epe, Distrik Ngguti, Merauke, untuk PSN Merauke, September 2025. Dok. Istimewa

“Kami meminta pemerintah menghentikan pemberian izin pelepasan kawasan hutan skala luas dan praktik ekstraktif sumber daya alam yang merusak lingkungan hidup, yang dilakukan tanpa kajian dan mempertimbangkan keseimbangan ekologis, keberlanjutan sumber daya alam dan kelangsungan hak lintas generasi, yang mengabaikan hak masyarakat adat, hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi segelintir korporasi,” kata Yokbeth. 

Franky turut mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengevaluasi dan meninjau kembali PSN Merauke. “Pemerintah seharusnya mengambil langkah-langkah efektif untuk pemenuhan dan penikmatan Hak Asasi Manusia, bukan hanya retorika melainkan bertindak untuk menghormati dan melindungi hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.