Madani dan Pantau Gambut Koreksi Menteri Raja soal Biang Karhutla
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Karhutla
Selasa, 16 September 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sepanjang Januari–Agustus 2025, Madani Berkelanjutan mencatat adanya Area Indikatif Terbakar (AIT) seluas 89.330 hektare yang tersebar di area konsesi hak guna usaha (HGU) sawit, migas, mineral batu bara, dan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di seluruh Indonesia. Sementara itu, di ekosistem gambut Pantau Gambut mengidentifikasi adanya 9.336 titik api di area HGU dan PBPH pada periode yang sama.
Pernyataan Menteri Kehutanan yang berulang kali menyalahkan cuaca panas sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2025, semakin tidak relevan. Karena jumlah kebakaran di 2025 justru lebih tinggi dari 2023, tahun ketika Indonesia mengalami El Nino. Sementara pada 2025, meskipun Indonesia juga mengalami musim kemarau, itu adalah kemarau basah.
Madani Berkelanjutan mencatat sepanjang Januari-Agustus 2025, terdapat sekitar 218 ribu hektare hutan dan lahan di Indonesia yang terbakar. Dari angka itu 99.099 hektare di antaranya terjadi pada Juli 2025. Luasan tersebut hampir dua kali lipat dibandingkan luas karhutla pada Juli 2023 yang mencapai dari 53.973 hektare.
Sementara itu, jumlah titik panas di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dalam periode tersebut, menurut Pantau Gambut, sebanyak 22.410 titik. Jumlah titik panas tertinggi dalam periode itu juga terjadi pada Juli yang mencapai 13.608 titik, empat kali lipat dibandingkan titik panas pada Juli 2023, yang hanya 3.157 titik.

Pada Juli 2025, data dari Pantau Gambut menunjukkan PT Sumatera Riang Lestari tercatat sebagai pemilik konsesi PBPH dengan area karhutla terluas di KHG, mencapai 4.787 hektare. Sedangkan Madani Berkelanjutan mencatat PBPH di luar KHG dengan AIT terbesar berada di PT Sumalindo Lestari Jaya II yang mencapai 1.100 hektare.
Untuk konsesi HGU, PT Sumatera Unggul Makmur 2 mendominasi kasus kebakaran dengan 260,5 hektare di area KHG, dan PT Mitra Austral Sejahtera dengan luas 600 hektare di luar area KHG.
“Pernyataan Menteri Kehutanan tentang cuaca ekstrim sebagai penyebab terjadinya karhutla merupakan ungkapan keliru dan sama saja membenarkan praktik salah yang dilakukan oleh korporasi atas aktivitas mereka yang berada di area KHG,” ujar Putra Saptian, Juru Kampanye Pantau Gambut, Senin (15/9/2025).
Putra menambahkan, pemerintah seharusnya lebih fokus melakukan upaya perlindungan ekosistem gambut dan tidak tebang pilih dalam penegakan hukum. Banyak perusahaan yang telah mengonversi lahan gambut dan menyebabkan karhutla.
“Ketika Menhut mengkambing-hitamkan cuaca, itu sama saja dia melepas tanggung jawabnya,” kata Putra.
Di tingkat provinsi, Kalimantan Barat menjadi wilayah dengan lonjakan karhutla tertinggi pada periode Juli-Agustus 2025. Dalam kurun waktu hanya dua bulan, Area Indikatif Terbakar (AIT) di provinsi ini naik dari 1.300 hektare pada Juni menjadi 40.000 hektare di bulan Agustus. Pada periode yang sama, tren kenaikan karhutla juga ditemukan pada area KHG yang mengalami peningkatan titik panas dari 327 menjadi 7.483.
Sadam Richwanudin, Legal Specialist Madani Berkelanjutan menyayangkan tingginya karhutla di kawasan lindung dan tutupan gambut. Menurut Sadam, lonjakan karhutla pada Juli-Agustus sebetulnya sudah dapat diprediksi. Sehingga pengambil kebijakan seharusnya sudah mengambil langkah mitigasi agar angkanya tidak sebesar ini.
“Kami menyayangkan karhutla tahun ini turut menyambar kawasan gambut dan lindung, kawasan yang seharusnya dijaga ekosistemnya,” ujar Sadam.
Sadam juga mendesak agar kebijakan siaga karhutla seperti yang sudah diterapkan di Kalimantan Selatan diikuti oleh provinsi lain dengan potensi karhutla yang besar. Selain itu ia juga mendesak penegak hukum untuk terus menindak perusahaan yang di area konsesinya terbakar.
“Apalagi kita memiliki prinsip strict liability yang mewajibkan perusahaan bertanggung jawab penuh pada area konsesinya,” ucapnya.
Putra dan Sadam sepakat, menjadikan cuaca sebagai satu-satunya alasan di balik masifnya karhutla adalah narasi yang berbahaya. Argumentasi ini tidak hanya mengabaikan fakta di lapangan yang menunjukkan dominasi aktivitas eksploitatif, tetapi juga menjadi dalih bagi pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya.
Alih-alih bertindak tegas pada pelaku konsesi, pemerintah justru memilih jalan termudah dengan menyalahkan kondisi alam, membuat mereka seolah-olah tidak berdaya di hadapan perubahan iklim. Padahal, solusi untuk karhutla sudah jelas terpampang di depan mata, yakni pengawasan ketat dan penegakan hukum yang serius terhadap korporasi yang terus mengulang kesalahan yang sama.