Aliansi Rakyat Dorong RUU Keadilan Iklim di Indonesia
Penulis : Kennial Laia
Iklim
Selasa, 26 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Puluhan organisasi masyarakat sipil kembali menyerukan urgensi Rancangan (RUU) Undang-Undang Keadilan Iklim. Peraturan ini dinilai dapat memberikan perlindungan bagi lingkungan maupun warga terdampak dari bencana iklim di Indonesia.
Aliansi Rakyat Untuk Keadilan Iklim (Aruki) yang terdiri dari 36 organisasi masyarakat sipil mencatat, krisis iklim kini menjadi realita masyarakat Indonesia dan global. Selama satu dekade, terdapat lebih dari 28.000 bencana iklim terjadi dalam satu dekade terakhir, yang berdampak pada 38 juta jiwa, menurut Aliansi. Adapun kerugiannya mencapai Rp544 triliun hanya dalam periode 2020-2024.
“RUU Keadilan Iklim adalah kebutuhan mendesak. Tanpa payung hukum yang jelas, masyarakat dan sumber daya alam Indonesia akan terus menjadi korban. RUU ini hadir sebagai satu-satunya harapan untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Raynaldo Sembiring.
Sementara itu Direktur Eksekutif Yayasan Pikul Torry Kuswardono menyebut krisis iklim sebagai persolan politik. “Krisis iklim hari ini bukan sekadar soal cuaca atau banjir. Persoalan ini adalah soal politik, sejauh mana negara hadir menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya untuk memastikan bumi dan rakyatnya keluar dari masalah,” ujarnya.

Menurut Aruki, RUU Keadilan Iklim juga akan menjadi agenda utama dalam Indonesia Climate Justice Summit (ICJS). Digelar akhir bulan ini, forum inisiasi masyarakat sipil ini turut mengundang anggota parlemen untuk berdiskusi dan diminta mendengarkan aspirasi publik dalam setiap pembahasan kebijakan.
“ICJS menjadi ruang penting bagi suara perempuan yang selama ini terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan. Krisis iklim telah memperberat beban mereka, dari hilangnya akses air bersih hingga meningkatnya risiko kekerasan. Karena itu, kebijakan ke depan harus memastikan perlindungan dan partisipasi penuh perempuan,” ujar Armayanti Susanti dari Solidaritas Perempuan.
“Krisis iklim membuat nelayan kehilangan hasil tangkap dan terancam keselamatannya di laut. Lebih berat lagi, proyek-proyek pembangunan di pesisir justru menggusur ruang hidup kami. Jika suara nelayan terus diabaikan, maka kami akan selalu jadi korban, baik di laut maupun di darat,” kata Erwin Suryana dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan.
ICJS menjadi tonggak penting bagi perjuangan keadilan iklim di Indonesia. Berlangsung pada 26-28 Agustus 2025 di Jakarta, forum ini akan menghadirkan 500-1000 peserta dari masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, buruh, miskin kota, orang muda, hingga penyandang disabilitas.