RUU KUHAP: Menuju Kitab Hukum yang Modern dan Berkeadilan

Penulis : Rony Saputra, Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara

OPINI

Senin, 11 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

SELAMA lebih dari empat puluh tahun, sistem hukum acara pidana di Indonesia mempertahankan tahapan prosedural yang membedakan antara penyelidikan dan penyidikan. Pemisahan ini, secara tegas disebut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyelidikan diartikan sebagai tindakan awal aparat untuk mencari dan menemukan apakah suatu peristiwa mengandung unsur pidana. Sementara itu, penyidikan dianggap sebagai proses lanjutan untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna menentukan siapa tersangka. Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya harapan akan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana, keberadaan penyelidikan justru menimbulkan pertanyaan serius. Apakah tahap ini masih relevan? atau justru malah menjadi beban prosedural yang dapat mengaburkan keadilan?

Di lapangan, penyelidikan tidak hanya menjadi cara orang mengajukan laporan ke dalam sistem hukum, tetapi juga ruang ketidakpastian sering muncul. Banyak kasus terhenti atau tertunda lama di tahap ini tanpa tahu apakah akan dilanjutkan ke penyidikan atau tidak. Akibatnya, korban kehilangan harapan, sedangkan yang dituduh hidup dalam ketidakpastian hukum. Di sisi lain, aparat penegak hukum memiliki ruang yang tidak terbatas untuk menggunakan kewenangan diskresi tanpa pengawasan yang cukup. Ketiadaan mekanisme pengawasan hukum dalam penyelidikan memungkinkan seseorang diperiksa secara intensif bahkan cenderung mengabaikan hak asasi manusia, dengan dalih masih dalam penyelidikan.


Penyelidikan cenderung bersifat administratif tanpa fungsi kontrol yang jelas, menjadi ruang “hampa” yang tidak diawasi, nir-akuntabel, dan rentan disalahgunakan oleh oknum penegak hukum.


Sejarahnya, penyelidikan dan penyidikan yang berlaku saat ini merupakan warisan sistem kolonial yang sangat formalistik dan administratif. Pemisahan ini dulunya dimaksudkan untuk memberi saringan awal terhadap informasi hukum sebelum naik ke tahap penyidikan yang lebih serius. Namun, dalam sistem hukum modern yang mengedepankan efisiensi, transparansi, dan perlindungan hak asasi, pemisahan ini justru dianggap membebani sistem dan melemahkan prinsip due process of law. Hal ini sejalan dengan pendapat Barda Nawawi Arief dan Muladi yang menyatakan bahwa penyelidikan cenderung bersifat administratif tanpa fungsi kontrol yang jelas. Ia menjadi ruang “hampa” yang tidak diawasi, nir-akuntabel, dan rentan disalahgunakan oleh oknum penegak hukum.

Koalisi Sipil Tolak RKUHAP: Dinilai Perlemah Hak Pembela Lingkungan dan Masyarakat Adat. Dok: Istimewa

Kritik terhadap cara penyelidikan tidak hanya berada di tingkat aturan saja, tetapi juga berdampak pada praktiknya. Tindakan seperti mengecek kesaksian, mengumpulkan dokumen, atau menganalisis lokasi kejadian sering dilakukan baik saat penyelidikan maupun penyidikan. Hal ini menyebabkan prosedur yang berulang, tidak efisien, dan membuat batas tugas antara pihak-pihak yang bertugas dalam hukum tidak jelas. Dalam praktiknya, perbedaan antara penyelidik dan penyidik semakin kabur, padahal secara hukum mereka memiliki tugas yang berbeda. Tidak sedikit kasus yang terjebak lama di tahap penyelidikan, lalu hilang secara diam-diam tanpa ada keputusan resmi.

Di negara lain, sistem peradilan pidana mereka justru mengambil jalur yang berbeda. Negara seperti Belanda, Prancis, Amerika Serikat, Inggris, Singapura, dan Australia sudah tidak menggunakan model penyelidikan dan penyidikan yang terpisah secara formal. Di Belanda, proses awal kasus disebut sebagai vooronderzoek, yang merupakan investigasi pendahuluan yang diawasi oleh hakim penyidik dan di bawah kendali jaksa. Tidak ada istilah penyelidikan yang terpisah. Setiap tindakan di awalnya dikontrol ketat agar tetap proporsional dan bisa diawasi.

Di Prancis, sistem juga diubah besar-besaran, dari sebelumnya mengandalkan hakim penyidik menjadi lebih fokus pada peran jaksa sebagai penentu proses sejak awal investigasi. Semua kegiatan aparatur diarahkan langsung pada pengumpulan bukti dan penentuan apakah kasus layak diteruskan ke pengadilan, tanpa melalui tahap penyelidikan terpisah.

Di Amerika Serikat, model hukum mereka menggunakan istilah investigation sebagai proses tunggal yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan jaksa. Dalam pendekatan investigate to indict, proses ini berjalan terus-menerus hingga ada cukup bukti untuk diajukan ke pengadilan, tanpa ada batas administratif seperti "menaikkan status kasus". Model ini memungkinkan penanganan yang cepat, fleksibel, dan terkendali, meskipun tetap harus disertai perlindungan hak asasi dan partisipasi pengacara sejak awal.

Di Inggris, tidak ada tahap penyelidikan formal seperti di Indonesia. Polisi melakukan investigasi awal, lalu menyerahkan ke Crown Prosecution Service (CPS) untuk ditilik dan menentukan apakah kasus bisa didakwa. Hak tersangka dijaga sejak awal oleh kode etik polisi serta akses ke penasihat hukum. Singapura dan Australia juga menyederhanakan proses awal penyelidikan. Mereka tidak membebani sistem hukum dengan menjadikan penyelidikan sebagai tahap terpisah. Polisi dan Jaksa bekerja bersama dalam sistem yang terpadu dan terkontrol dengan ketat, serta melakukan investigasi secara efisien.

Tiga hal yang menjadi kunci keberhasilan reformasi sistem hukum pidana di negara-negara tersebut di atas yaitu pengawasan jaksa atau hakim terhadap investigasi sejak awal, integrasi fungsi antara polisi dan penuntut umum, dan jaminan perlindungan hukum bagi tersangka dan korban tanpa harus menunggu perkara naik tingkat.

Dari perbandingan tersebut, jelas bahwa menghilangkan penyelidikan sebagai tahap terpisah bukanlah kemunduran, melainkan kemajuan yang didasarkan pada prinsip keadilan prosedural secara universal. Model penyelidikan dan penyidikan dalam satu tahap memberikan banyak keuntungan, seperti penyederhanaan proses, pengurangan birokrasi, peningkatan transparansi, dan peningkatan akuntabilitas aparat hukum. Selain itu juga memperkuat peran jaksa sebagai pengendali perkara atau dominus litis, yang sebelumnya masih terbatas dalam konteks hukum Indonesia. Dalam sistem modern, jaksa tidak hanya bertugas menuntut, tetapi juga memastikan adilnya proses penanganan perkara sejak awal.

Pemisahan fungsi penyelidikan dan penyidikan sejatinya menimbulkan ketidakefisienan dan menciptakan ketidakpastian hukum. Tidak ada aturan yang pasti mengenai kapan sebuah kasus harus ditingkatkan ke penyidikan, dan tidak ada kewajiban untuk memberitahukan kepada Jaksa, pelapor atau terlapor mengenai perkembangan kasus ditingkat penyelidikan. Akibatnya, banyak laporan tertunda tanpa kepastian, bahkan patut diduga menjadi bahan negosiasi informal yang merugikan integritas hukum. Di sisi lain, tersangka atau terlapor yang hak-haknya belum dilindungi secara formal sangat rentan terhadap penyalahgunaan wewenang, seperti intimidasi, penyiksaan, dan tekanan psikologis, yang semuanya dilakukan tanpa ada pengawasan dari sistem hukum formal.


Polisi masih bisa melakukan investigasi awal, tetapi segala tindakannya harus dicatat, dikontrol, dan memenuhi standar bukti yang ketat. 


Dalam mereformasi sistem hukum pidana, menghilangkan fungsi penyelidikan seharusnya menjadi prioritas utama dalam RUU KUHAP. Tindakan ini tidak berarti menghilangkan seluruh fungsi awal dalam mendeteksi kasus yang dilakukan pihak berwenang, melainkan menggabungkannya ke dalam proses penyidikan resmi yang mengikuti prinsip keadilan dan akuntabilitas. Polisi masih bisa melakukan investigasi awal, tetapi segala tindakannya harus dicatat, dikontrol, dan memenuhi standar bukti yang ketat. Di sisi lain, jaksa harus memiliki peran yang lebih kuat sebagai pengawas dalam proses penyidikan, dengan hak penuh untuk mengarahkan, menghentikan, atau melanjutkan kasus sesuai prinsip hukum yang berlaku.

Lebih lanjut, penghapusan penyelidikan akan memperkuat posisi Indonesia dalam ranah hukum internasional. Sebagai negara yang telah menandatangani Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Indonesia berkewajiban menjamin perlindungan terhadap hak individu sejak awal proses peradilan pidana. Melalui penyederhanaan proses hukum dan memastikan setiap tindakan pemerintah berada dalam kerangka hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, Indonesia menunjukkan komitmen terhadap prinsip negara hukum yang sejati.

Reformasi ini bukan hanya soal masalah teknis hukum, tetapi juga tentang keberanian politik dan komitmen untuk memperbaiki akar-akar ketidakadilan dalam sistem hukum nasional. Fungsi penyelidikan yang sudah tertinggal dan tidak efisien hanya akan menjadi penghalang dalam membangun sistem peradilan pidana yang lebih modern dan manusiawi. Dengan menghadapi tantangan ke depan, meninggalkan model prosedural yang kaku, dan menggantinya dengan sistem investigatif yang efisien, transparan, dan berbasis akuntabilitas, Indonesia dapat mengambil langkah signifikan menuju sistem hukum acara pidana yang tidak hanya adil secara normatif, tetapi juga dirasakan adil oleh masyarakatnya.