Berhembus Kabar, Keluarga Fangiono Diduga Praktik Sawit Ilegal

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sawit

Senin, 11 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Salah satu dinasti bisnis paling kuat di industri agribisnis di Indonesia, keluarga Fangiono, dituding terlibat dalam pelanggaran hukum, lingkungan, dan hak asasi manusia secara sistematis melalui sejumlah perusahaan perkebunan sawit. Hal tersebut dibahas dalam sebuah laporan investigatif terbaru bertajuk A Family Affair, yang dirilis Kaoem Telapak dan Environmental Agency (EIA), pada 7 Agustus 2025.

Laporan ini membahas sejumlah grup perusahaan besar di mana posisi-posisi kunci seperti pemilik akhir, penerima manfaat, dan direktur dipegang oleh anggota keluarga Fangiono, seperti First Resources, FAP Agri, dan Ciliandry Anky Abadi (CAA), diduga terlibat dalam deforestasi masif, konflik berkepanjangan dengan masyarakat adat dan lokal, serta dugaan operasi ilegal tanpa izin yang lengkap.

Laporan ini mengungkap, di antaranya adanya deforestasi besar-besaran, termasuk pembukaan lebih dari 6 ribu hektare hutan yang diduga dilakukan oleh perusahaan afiliasi CAA di Papua sejak 2022. Di daerah lainnya, laporan ini juga menyoroti adanya indikasi manipulasi skema plasma dan kegagalan dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR), termasuk aksi massa dan pengaduan petani terkait ketidakadilan pembagian keuntungan.

Lebih jauh, laporan ini mencatat adanya dugaan aktivitas sejumlah perusahaan tanpa Hak Guna Usaha (HGU) maupun izin pelepasan kawasan hutan, bahkan dalam suatu kasus, kegiatan tetap berlangsung meskipun telah keluar perintah penghentian operasi. Temuan lain yang menjadi perhatian adalah pemberian sertifikasi ISPO kepada perusahaan-perusahaan yang disinyalir melakukan pelanggaran berat, yang menimbulkan pertanyaan serius terhadap kredibilitas sistem sertifikasi nasional tersebut.

Tampak dari ketinggian hutan alam yang dibabat di oleh PT IKS untuk perkebunan sawit di Kabupaten Sorong, Papua Barat./Foto: Pusaka

Tak kalah penting, laporan ini juga mengungkap konflik berkepanjangan dengan masyarakat adat, seperti yang terjadi di Kalimantan (Suku Dayak Agabag) dan Papua (Suku Moi), dengan indikasi terjadinya intimidasi, kriminalisasi, serta perusakan kebun tanaman pangan milik masyarakat adat dan komunitas lokal.

Laporan A Family Affair ini menyebut keluarga Fangiono memiliki jaringan luas perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan sawit, kayu, dan pembangunan program food estate dalam skala besar di Indonesia. Beberapa di antaranya melalui grup-grup perusahaan, yakni First Resources, FAP Agri, Ciliandry Anky Abadi (CAA), PT Surya Dumai Industri (SDI), New Borneo Agri (NBA), juga dikenal sebagai perusahaan Sulaidy, dan Merauke Sugar Group. 

Terdapat beberapa entitas perusahaan yang dijadikan studi kasus dalam laporan ini, yakni PT Setia Agrindo Lestari dan PT Surya Dumai Agrindo, dua perusahaan ini merupakan anak usaha First Resources yang beroperasi di Kabupaten Indragiri Hilir dan Bengkalis, Riau.

Kemudian PT Setia Agro Abadi anak usaha New Borneo Agri yang beroperasi di Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, PT Karang Juang Hijau Lestari dan PT Bulungan Hijau Perkasa, anak usaha FAP Agri yang beroperasi di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Selanjutnya, PT Agri Green Lestari dan PT Citra Agro Abadi, anak usaha CAA yang beroperasi di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Ada pula PT Inti Kebun Sejahtera, PT Inti Kebun Sawit dan PT Sorong Global Lestari juga anak usaha CAA yang beroperasi di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.

Laporan ini menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan anggota keluarga Fangiono telah menyebabkan deforestasi dalam skala besar, diduga melanggar hak-hak masyarakat adat, serta terindikasi menghindari kerangka hukum nasional, termasuk dengan berlindung di balik skema sertifikasi formal seperti sistem ISPO.

Senior Campaigner Kaoem Telapak, Olvy Tumbelaka, menegaskan bahwa laporan ini menunjukkan ironi mendalam terhadap eksistensi hutan Indonesia yang terus dikorbankan demi kepentingan segelintir elit bisnis. Olvy menyoroti bagaimana celah dalam sistem hukum, lemahnya pengawasan, serta konflik kepentingan telah memungkinkan operasi bisnis skala besar tetap berjalan tanpa akuntabilitas.

Sejalan dengan itu, Olvy menambahkan laporan ini memperingatkan bahwa kondisi tersebut berpotensi melanggar Peraturan Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang mewajibkan uji tuntas terhadap rantai pasok komoditas, termasuk kelapa sawit dan produk turunannya, agar terbebas dari deforestasi.

“Laporan ini bukan hanya soal kerusakan lingkungan, tapi juga soal hak hidup dan martabat masyarakat yang tinggal di wilayah terdampak,” kata Olvy, dalam sebuah pernyataan tertulis, Rabu (7/8/2025).

Untuk itu dalam laporan ini Kaoem Telapak dan EIA mendesak Pemerintah Indonesia untuk menindak tegas para pelaku pelanggaran hukum, menghentikan alih fungsi hutan, mengakui wilayah adat, serta memperkuat pengawasan dan memperketat perizinan terhadap perusahaan kelapa sawit skala besar.

Kemudian kepada pembeli, pendana, dan investor untuk mengevaluasi hubungan mereka dengan perusahaan-perusahaan ini, dan mempertimbangkan penghentian kerjasama hingga kepatuhan terhadap HAM dan lingkungan dipenuhi.

Terakhir, untuk lembaga sertifikasi ISPO untuk segera mengevaluasi dan mencabut sertifikasi dari perusahaan-perusahaan yang terbukti melanggar hukum dan prinsip keberlanjutan.

Bantahan First Resources dan FAP Agri

Kaoem Telapak dan EIA menyertakan sejumlah tanggapan klarifikasi First Resources dan FAP Agri dalam laporannya itu. Beberapa di antaranya mengenai tuduhan suap dalam proses perizinan HGU serta audit internal perusahaan terkait tuduhan tersebut.

First Resources menjawab bahwa mereka mematuhi seluruh prosedur dan peraturan pemerintah terkait pengurusan HGU serta menyatakan bahwa mereka telah membangun dan menerapkan Kebijakan Anti-Suap, Korupsi, dan Pencucian Uang yang semakin memperkuat komitmen perusahaan dalam menjalankan operasi bisnisnya berdasarkan integritas, transparansi, dan kejujuran.

“Perusahaan menerapkan kebijakan tanpa toleransi terhadap segala bentuk suap, korupsi, atau pencucian uang dalam bisnisnya, dan kebijakan itu menjelaskan tanggung jawab grup, karyawan, serta para pemangku kepentingan untuk mematuhi dan menjunjung tinggi perusahaan ini,” demikian tertulis dalam laporan itu.

Ketika ditanya apakah First Resources mengakui bahwa sejumlah anak perusahaannya mengelola lahan tanpa HGU yang lengkap dan/atau berada di kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan, perusahaan menjawab bahwa mereka telah mematuhi persyaratan hukum yang ditetapkan pemerintah.

“Termasuk memiliki Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan (IUP), dan/atau Hak Guna Usaha (HGU). Apabila terdapat ketidaksesuaian dalam perizinan perkebunan, Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (yang umum dikenal sebagai ‘Omnibus Law’) serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 2 Tahun 2022, beserta peraturan pelaksanaannya, menyediakan jalur hukum yang jelas untuk penyelesaian,” kata First Resources.