COP30: Indonesia Potensial Gantikan Amerika Asal Tak Omon-omon

Penulis : Gilang Helindro

Iklim

Senin, 04 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sekretaris Eksekutif United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Simon Stiell, menyatakan Indonesia memiliki peluang besar untuk tampil sebagai pemimpin iklim global, menyusul mundurnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris. Namun, ia menegaskan bahwa kepemimpinan tersebut harus dibuktikan melalui langkah konkret, bukan hanya retorika politik.

“Ketika satu negara besar mundur, ruang untuk memimpin terbuka bagi negara lain. Indonesia punya posisi strategis dan potensi besar untuk menunjukkannya,” ujar Simon dalam keterangan resminya dikutip Senin, 4 Agustus 2025.

Simon menekankan pentingnya dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang akan diserahkan Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Brazil, September mendatang. Ia mendorong agar NDC Indonesia tidak hanya ambisius secara angka, tapi juga mencakup strategi implementasi yang rinci.

“Semakin rinci dan ambisius NDC, semakin kuat sinyalnya ke komunitas keuangan global bahwa Indonesia siap menjadi pusat investasi hijau,” ujarnya. Menurutnya, dokumen NDC yang kuat akan membuka peluang investasi di sektor energi, industri, dan teknologi ramah lingkungan.

Jumlah hari pada Indeks Pergeseran Iklim (CSI) level 3 atau lebih tinggi. Ikon yang dihamparkan mewakili 41 peristiwa cuaca ekstrem yang diidentifikasi oleh World Weather Attribution yang terjadi dari Maret 2024 hingga Mei 2024. Analisis berdasarkan data ECMWF ERA5 (1 Maret-28 Mei) dan NOAA GFS (29-31 Mei). Diproduksi 3 Juni 2024.

Simon juga mengungkapkan bahwa komitmen pendanaan iklim sebesar USD 300 miliar per tahun hingga 2035 yang disepakati dalam COP29, merupakan kelanjutan dari target USD 100 miliar yang telah tercapai pada 2022. Saat ini, roadmap menuju target baru sebesar USD 1,3 triliun per tahun tengah disusun oleh presidensi Azerbaijan dan Brazil.

Ia mengingatkan bahwa semua negara harus menyerahkan NDC yang sejalan dengan target pengendalian suhu bumi sebesar 1,5°C. Target globalnya adalah pengurangan emisi sebesar 60 persen pada 2035, mencakup seluruh sektor ekonomi dan semua jenis gas rumah kaca.

“Indonesia memiliki tantangan besar karena sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim dan masih bergantung pada bahan bakar fosil. Namun, ambisi seperti komitmen menuju 100 persen energi terbarukan menjadi peluang besar untuk kepemimpinan,” katanya.

Sementara itu, pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, menyatakan bahwa keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris merupakan pukulan besar bagi diplomasi iklim global. Namun, ia melihat peluang bagi negara-negara kekuatan menengah seperti Indonesia untuk tampil memimpin.

“Hanya ada dua cara untuk membuktikan kepemimpinan itu: pertama, menunjukkan transisi energi yang nyata di dalam negeri,” ujar Dino. Ia menyambut baik pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan. Menurutnya, ambisi itu belum pernah disampaikan secara terbuka oleh pemimpin Indonesia sebelumnya.

Dino menegaskan, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa target iklim benar-benar tercapai. Ia membedakan antara NDC yang dirancang dengan sungguh-sungguh dan dijalankan, dan yang hanya menjadi dokumen formal tanpa strategi nyata.

Untuk itu, ia mendorong agar target iklim Indonesia segera memiliki payung hukum yang mengikat. “Kalau kita serius, seharusnya ambisi iklim ini dijadikan undang-undang, agar tidak bergantung pada dinamika politik,” ujarnya. Ia mencontohkan langkah serupa yang telah diambil oleh Inggris dan negara-negara Uni Eropa.

Meski AS telah mundur dari Perjanjian Paris, Dino menekankan bahwa masih ada 194 negara lain yang tetap berkomitmen terhadap agenda iklim global.