10 Tahun Asyik Mencuri di Halaman Belakang Istana IKN

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Senin, 21 Juli 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Operasi penambangan batu bara ilegal di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, di Kalimantan Timur (Kaltim), yang berlangsung selama hampir satu dekade sejak 2016, menjadi bukti gagalnya sistem pengawasan sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba). Demikian menurut Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.

Dalam sebuah rilis, PWYP menyebut pengungkapan kasus tambang ilegal ini, oleh Bareskrim Polri, menjadi bukti nyata adanya celah besar dalam tata kelola minerba, yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp5,7 triliun—termasuk deplesi batu bara Rp3,5 triliun dan kerusakan hutan Rp2,2 triliun. Untuk itu, PWYP Indonesia mendesak pemerintah untuk bertanggung jawab dan segera melakukan reformasi perbaikan tata kelola pertambangan, khususnya di aspek pengawasan, guna mencegah praktik ilegal yang merusak lingkungan dan merugikan sumber daya negara.

"Kasus ini bukan sekadar insiden, melainkan indikasi kegagalan pengawasan sektor pertambangan minerba. Bagaimana mungkin tambang ilegal bisa beroperasi begitu lama di kawasan prioritas nasional seperti IKN tanpa deteksi dini?” kata Adzkia Farirahman, peneliti PWYP Indonesia, dalam keterangan tertulis, 20 Juli 2025.

“Kami mendesak diikuti dengan investigasi menyeluruh terhadap kemungkinan dugaan kuat keterlibatan pihak-pihak terkait, mulai dari penambang, penyedia jasa transportasi, agen pelayaran, perusahaan-perusahaan pemilik berizin, operasional pelabuhan maupun pejabat terkait lainnya,” imbuhnya.

Tongkang yang penuh dengan batu bara berlabuh di sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia, Senin, 19 Desember 2022. Foto: AP Photo/Dita Alangkara.

Kasus ini terungkap melalui operasi Bareskrim Polri yang menyita 351 kontainer batu bara ilegal, alat berat, serta menangkap tiga tersangka dengan modus menggunakan dokumen palsu dari perusahaan seperti PT MMJ dan PT BMJ untuk menyelundupkan batu bara ke pelabuhan. Adapun modusnya disebutkan bahwa batu bara ilegal dikumpulkan terlebih dahulu di stock room atau gudang, kemudian dikemas menggunakan karung.

Selanjutnya, batu bara itu didistribusikan melalui jalur laut menggunakan kontainer dari Pelabuhan Kalimantan Timur (Kaltim) Kariangau Terminal (KKT) Balikpapan menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Untuk mengelabui petugas, para pelaku memanfaatkan dokumen resmi dari perusahaan yang memiliki Izin Usaha Produksi (IUP) saat proses pengiriman di terminal Balikpapan. Dokumen tersebut digunakan agar batu bara tampak seolah-olah berasal dari penambangan legal.

Dalam kesempatan yang sama, Buyung Marajo, Koordinator Pokja 30 Kaltim--salah satu anggota koalisi PWYP Indonesia yang berbasis di Samarinda—menuturkan, meskipun pengungkapan kasus tambang ilegal di kawasan IKN ini patut diapresiasi, namun kasus ini bukan satu-satunya. Masih banyak peredaran batu bara dan aktivitas tambang ilegal lainnya di Kaltim yang belum tersentuh.

“Bukan hanya tiga orang tersangka yang terlibat, harus diusut tuntas siapa pihak lain yang menerima dan menjadi penerima manfaat dari kejahatan ini,” katanya.

Buyung menganggap kasus tambang ilegal di IKN ini juga menjadi bukti lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di Kaltim ketika berhadapan dengan korporasi industri tambang yang melanggar hukum, apalagi yang ilegal. Buyung berpesan kepada Kepolisian Daerah (Polda) Kaltim, pemerintah daerah, Otoritas IKN, dan instasi penegakan hukum lainnya, agar jangan sampai publik berburuk sangka ada apa-apanya hingga Bareskrim Polri yang baru bisa mengungkap masalah ini.

Menurut Buyung, pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia bahwa pengawasan Kementerian ESDM hanya untuk tambang berizin adalah pernyataan tidak penting dan tidak perlu, sekaligus menunjukkan ketidakmampuan menteri untuk mitigasi agar kejadian serupa tidak terulang di daerah lain.

“Yang perlu dicatat, kasus ini juga melibatkan dokumen resmi dari perusahaan pemegang IUP sebagai salah satu syarat pengiriman. Dokumen tersebut digunakan seolah-olah batu bara tersebut berasal dari penambangan resmi atau pemegang IUP, padahal sebenarnya berasal dari kegiatan illegal mining,” ucapnya.

Azil mendesak Kementerian ESDM untuk segera mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola pertambangan minerba, khususnya dalam aspek pengawasan, termasuk melakukan deteksi dini.

“Mengingat aktivitas penambangan ilegal ini diduga sudah terjadi sejak 2016 di kawasan konservasi. Menjadi tanda tanya besar, apakah ini bentuk lain ‘pembiaran’?” tanya Azil.

Azil juga menuturkan, bahwa penambangan ilegal di kawasan konservasi seperti Tahura Bukit Soeharto tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mempercepat degradasi lingkungan, meningkatkan emisi karbon, dan menghambat transisi energi berkelanjutan. Sehingga Azil mendesak adanya audit menyeluruh terhadap semua izin pertambangan di sekitar IKN, termasuk sanksi tegas bagi perusahaan yang terbukti terlibat dalam pemalsuan dokumen.

“Memperkuat penguatan sistem pemantauan digital disinergikan dengan verifikasi lapangan. Juga perkuat transparansi dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan,” katanya.

Lebih lanjut, ia juga menyoroti lemahnya peran Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Penambangan Liar yang dibentuk oleh Otorita IKN (OIKN) bersama aparat penegak hukum pada 5 September 2023, yang memiliki tugas memperkuat pencegahan dan penanggulangan penambangan ilegal di IKN, selaras dengan visi kota hutan rendah emisi karbon yang netral karbon pada 2045, termasuk penyusunan pedoman reklamasi dan pasca tambang dengan dukungan universitas.

Namun, meskipun telah beroperasi hampir dua tahun, Satgas ini tampaknya belum efektif dalam mendeteksi atau menghentikan operasi ilegal skala besar seperti yang baru terungkap ini, yang telah berlangsung sejak 2016—sebelum pembentukan Satgas sekalipun.

Buyung menganggap perlu dilakukannya evaluasi mendalam terhadap implementasi Satgas, termasuk koordinasi antar lembaga dan outcome konkret, untuk menghindari kesan bahwa upaya pencegahan hanya formalitas tanpa tindak lanjut nyata, sementara kerusakan lingkungan di kawasan konservasi seperti Tahura Bukit Suharto terus berlanjut.