Gigi Mundur Rancangan KUHAP
Penulis : Gilang Helindro
Hukum
Minggu, 20 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Gelombang kriminalisasi terhadap masyarakat pembela lingkungan, masyarakat adat, dan kelompok rentan terus meningkat. Karena itu, koalisi masyarakat sipil menyatakan penolakan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dinilai sarat muatan represif, memperkuat impunitas, serta mengancam perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan.
Dalam komunikenya, koalisi yang terdiri dari organisasi lingkungan, agraria, dan masyarakat adat menilai RKUHAP bukan bentuk reformasi hukum, melainkan langkah mundur. “Ini memperparah kriminalisasi terhadap mereka yang memperjuangkan tanah, hutan, dan sumber penghidupan,” demikian isi pernyataan koalisi dikutip Minggu, 20 Juli 2025.
Mereka menyoroti bagaimana pembela lingkungan, akademisi, jurnalis independen, hingga masyarakat adat kerap menjadi korban sistem hukum yang justru lebih berpihak pada korporasi dan kekuasaan. Revisi RKUHAP dikhawatirkan akan semakin mengesahkan praktik-praktik penyiksaan, penyadapan ilegal, dan penangkapan sewenang-wenang terhadap kelompok kritis.
Koalisi menilai bahwa pengaturan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan dalam RKUHAP masih lemah. Tidak ada ketentuan yang jelas kapan korporasi harus bertanggung jawab sebagai badan hukum atau kapan pengurusnya yang dimintai pertanggungjawaban. Selain itu, tidak terdapat pembedaan upaya paksa yang dapat dikenakan pada badan hukum dan individu, serta belum ada aturan rinci terkait pembubaran atau pemisahan korporasi.

RKUHAP juga dianggap gagal memberikan perlindungan hukum terhadap pembela lingkungan dari jeratan gugatan SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation). Koalisi menuntut agar prinsip Anti-SLAPP yang saat ini tersebar di berbagai regulasi—seperti UU PPLH, UU Pencegahan Perusakan Hutan, serta Perma 1/2023—dimasukkan secara eksplisit ke dalam KUHAP baru.
RKUHAP juga dinilai melemahkan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di sektor lingkungan hidup. Ketentuan baru yang mewajibkan PPNS berkoordinasi dengan kepolisian dinilai menghambat independensi dan efektivitas penegakan hukum lingkungan karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan birokratisasi berlebihan.
Koalisi mengkritik tidak adanya pengakuan eksplisit terhadap masyarakat adat sebagai kelompok rentan dalam RKUHAP. Padahal selama ini, masyarakat adat seringkali menjadi korban dalam konflik agraria dan lingkungan. Mereka menekankan pentingnya menjamin hak kolektif masyarakat adat dalam proses hukum, termasuk partisipasi, perlindungan hukum adat, dan akses terhadap mekanisme hukum yang adil.
“KUHAP baru harus mengintegrasikan mekanisme hukum adat dalam sistem peradilan pidana, menjamin partisipasi, serta meningkatkan kapasitas aparat dalam menerapkan hukum adat secara akuntabel,” koalisi menegaskan.
Koalisi mendesak DPR RI untuk menghentikan pembahasan RKUHAP yang dinilai tidak transparan dan minim partisipasi publik yang bermakna. Mereka menuntut agar RKUHAP menjadi alat transformasi menuju sistem peradilan yang menghormati hak asasi manusia, keadilan ekologis, dan keberagaman budaya Indonesia.
“Negara melalui KUHAP yang progresif harus memastikan pembela lingkungan dan masyarakat adat tidak dikriminalisasi, tetapi justru dilindungi,” tegas pernyataan itu.
Mereka menutup pernyataan dengan menegaskan bahwa RKUHAP harus sejalan dengan semangat UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta menjadi pijakan bagi sistem hukum yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.