Liak-liuk Satgas Geotermal di Poco Leok
Penulis : Kennial Laia
Masyarakat Adat
Jumat, 18 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Gubernur Nusa Tenggara Timur menuai kritik perihal pengembangan pembangkit panas bumi di kabupaten Flores dan Lembata. Menurut sejumlah organisasi masyarakat sipil, pemerintah daerah represif terhadap penolakan masyarakat adat di sejumlah kampung.
Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena melakukan kunjungan mendadak ke salah satu lokasi proyek, yakni Poco Leok, Kamis, 17 Juli 2025. Kunjungan tersebut, menurut pemantauan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Geotermal, terjadi dua pekan berselang laporan investigasi Satgas Geotermal bentukan Pemprov diumumkan.
Satgas ini diklaim sebagai respons atas penolakan masyarakat di enam lokasi proyek panas bumi di Flores dan Lembata, serta dibentuk oleh pemerintah provinsi NTT. Wilayah yang menolak di antaranya Wae Sano di Manggarai Barat, Ulumbu dan Poco Leok di Manggarai, Mataloko dan Nage di Ngada, Sokoria di Ende, dan Atadei di Lembata.
“Namun hasil investigasi yang diumumkan pada 4 Juli 2025 di Kupang justru mengabaikan fakta utama di lapangan: penolakan masif warga adat, dampak lingkungan yang serius, serta catatan panjang kekerasan dan kriminalisasi,” kata Edy Kurniawan Wahid, ahli hukum dan pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

“Bukannya menjadi alat koreksi, laporan ini justru menjadi dalih untuk melanggengkan proyek tambang geotermal,” katanya.
Edy mengatakan, dalam kunjungan itu gubernur NTT datang dengan iring-iringan aparat bersenjata dari kepolisian dan TNI. “Akibatnya, suasana mencekam kembali tercipta. Ini memperpanjang daftar praktik intimidasi yang telah lama dilakukan oleh PT PLN bersama pemerintah kabupaten Manggarai,” ujarnya.
Menurut pemantauan Koalisi di lapangan, sejak dua tahun terakhir, pola pengawalan bersenjata kerap mengiringi pengukuran lahan, pemasangan patok, hingga berbagai aktivitas proyek geothermal. Masyarakat adat Poco Leok, yang sebelumnya hidup damai, dipaksa menjalani keseharian mereka di bawah ancaman senjata. Kedatangan gubernur NTT dengan aparat bersenjata tersebut dianggap sebagai pola intimidasi, yang megngirim pesan bahwa pemerintah lebih memilih menaklukkan rakyatnya sendiri ketimbang melindungi hak-haknya.
Masyarakat adat di wilayah proyek geotermal menerima teror dua tahun terakhir. Menurut Kepala Divisi Penanganan Kasus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sinung Karto, intimidasi, kekerasan fisik, dan kriminalisasi menimpa setidaknya 22 warga Poco Leok, termasuk jurnalis yang meliput isu tersebut. “Namun bukan perlindungan yang hadir, melainkan arogansi kekuasaan yang menempatkan rakyat sebagai ancaman,” kata Sinung.
“Bagi kami, kunjungan ini sama sekali bukan simbol kepemimpinan yang mendengarkan, melainkan pameran kekuatan untuk menekan warga,” kata Sinung.
“Pola represif ini membuka jalan bagi pendekatan serupa di wilayah lain di Flores dan Lembata yang saat ini juga berjuang menolak proyek geothermal bermasalah,” ujarnya.
Pastor Simon Tukan SVD, aktivis lingkungan dan Kordinator Komisi JPIC-SVD Ruteng, mengatakan pihaknya mengecam keras kunjungan gubernur NTT yang diiringi aparat bersenjata. “Kami menuntut dihentikannya pengerahan aparat keamanan ke wilayah-wilayah adat, penghentian segala bentuk tekanan terhadap masyarakat adat, serta pencabutan seluruh proyek geotermal di Flores dan Lembata.”
“Kami juga mendesak penghentian kriminalisasi terhadap 22 warga yang hingga kini masih dijerat proses hukum,” katanya.