Main Ambil Alih Tanah di Watutau
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Agraria
Minggu, 20 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Konflik agraria di Sulawesi Tengah (Sulteng) terus bermunculan. Baru-baru ini terjadi di Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso. Seorang warga diduga mengalami kriminalisasi, saat memperjuangkan tanahnya yang terancam akan diambil alih oleh Badan Bank Tanah (BBT).
Dari informasi yang dihimpun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng, sejumlah warga Desa Watutau sudah 12 bulan melakukan penolakan kehadiran Badan Bank Tanah (BBT) di atas tanah mereka. Tapi alih-alih dilindungi, 12 orang warga Watutau itu justru dituduh sebagai penghasut. Terbaru, dari 12 warga itu, 1 warga bernama Christian Toibo telah ditetapkan sebagai tersangka.
Penetapan tersangka Christian Toibo itu dituangkan melalui Surat Ketetapan Nomor: S.TAP/20/VII/RES.1.10/2025/Reskrim tentang Penetapan Tersangka yang diterbitkan di Poso pada 14 Juli 2025. Christian Toibo dikenakan sangkaan Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghasutan orang lain untuk melakukan tindak pidana yang diduga terjadi saat aksi damai pada 31 Juli 2024 di Desa Watutau.
“Penggunaan Pasal 160 KUHP adalah bentuk represif terhadap aksi damai warga yang memperjuangkan ruang hidupnya justru dianggap penghasut. Padahal, konstitusi kita menjamin hak atas tanah, kebebasan menyatakan pendapat dan perlindungan masyarakat adat,” kata Wandi, Staf Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng, pada 17 Juli 2025.

Wandi menerangkan, warga Watutau hidup dari bertani, berkebun, dan menjaga ruang hidup yang telah mereka jalani sejak turun-temurun. Setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2021 tentang BBT dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraannya. BBT diberi kewenangan luas guna mengambil alih tanah, mengelola dan mendistribusikan tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Hasfarm.
Namun, lanjut Wandi, kini BBT mengklaim penguasaan tanah melebihi batas eks HGU PT Hasfarm, sampai masuk pada wilayah tanah-tanah rakyat, petani dan masyarakat adat. Proses pemberian Hak Pengelolaan (HPL) oleh Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) RI kepada BBT dilakukan tanpa konsultasi publik pada warga desa terlebih dahulu dan tanpa peninjauan lapangan.
“Hal ini tentu menyalahi Peraturan Presiden (PP) Nomor 62 Tahun 2023 yang menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat dalam reforma agraria,” kata Wandi.
Wandi melanjutkan, kasus Watutau ini bukanlah cerita lokal, tetapi salah satu potret konflik agraria di negeri ini, saat rakyat mempertahankan hak atas tanahnya, justru negara hadir dalam rangka melindungi kepentingan korporasi besar yang memonopoli tanah dibanding melindungi rakyatnya sendiri.
Menurutnya, Bank Tanah tidak dirancang sebagai solusi menyeluruh atas konflik agraria maupun pelaksanaan reforma agraria, melainkan lebih ditujukan untuk memfasilitasi penguasaan tanah oleh badan usaha dan investor, termasuk dalam proyek-proyek pemerintah.
“Keberpihakannya lebih condong pada kepentingan pembangunan dan investasi ekonomi ketimbang pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat kecil,” ucapnya.
Ia menilai, proses perolehan tanah oleh BBT menimbulkan tumpang tindih dengan wilayah kelola rakyat, terutama karena sumber tanahnya sering kali berasal dari lahan yang seharusnya diprioritaskan untuk kepentingan rakyat. Dengan demikian, imbuh Wandi, keberadaan Bank Tanah justru mengabaikan prinsip keadilan sosial dalam tata kelola agraria.
Walhi, sambung Wandi, menilai praktik semacam ini adalah bentuk nyata pembungkaman terhadap hak warga dalam menyuarakan ketidakadilan, hak warga mempertahankan kehidupannya dan melemahkan gerakan protes warga desa terhadap kehadiran BBT di wilayah hidup mereka dan pola-pola ini kerap terjadi di banyak tempat di Indonesia, terutama pada wilayah perkebunan skala besar maupun wilayah lingkar industri ekstraktif yang kesemuanya berdampak pada kerusakan ekologis, kehidupan sosial, ekonomi dan budaya.
“Atas dasar itu, Eksekutif Nasional Walhi dan Eksekutif Daerah Walhi Sulteng menyatakan sikap, mendesak Pemerintah Provinsi Sulteng dan Kementerian ATR/BPN untuk segera melakukan evaluasi dan meninjau kembali proses pemberian HPL kepada BBT,” ucap Wandi.
Kemudian, menuntut Kapolda Sulteng sekaligus Kapolres Poso segera menghentikan pemeriksaan dan mencabut status tersangka terhadap Christian Toibo serta 11 warga Watutau lainnya dan bebaskan seluruhnya dari segala tuduhan penghasutan.
“Agar mengetahui, mengkritisi dan mengawasi setiap bentuk penguasaan tanah yang dilakukan korporasi besar pertambangan dan perkebunan, badan-badan bentukan pemerintah, proyek-proyek strategis bentukan pemerintah yang selalu mengabaikan kepentingan rakyat,” kata Wandi.
Bank Tanah: Lahan itu eks-HGU PT Sandabi Indah Lestari
Terpisah, Sekretaris Badan Bank Tanah, Jarot Wahyu Wibowo, mengatakan Badan Bank Tanah memastikan tidak mengambil apapun tanah milik masyarakat. Seluruh proses perolehan tanah Badan Bank Tanah dilakukan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Ia menjelaskan, perolehan tanah Badan Bank Tanah di wilayah Poso berasal dari eks HGU PT Sandabi Indah Lestari. Dalam hal ini perolehan tanah Badan Bank Tanah di Poso berasal dari penetapan pemerintah.
Jarot menguraikan, eks HGU PT Sandabi Indah Lestari seluas 7.740 hektare itu sebelumnya tercatat atas nama PT Hasfarm Napu. Eks HGU ini sebelumnya beralih kepada PT Sandabi Indah Lestari berdasarkan Risalah Lelang pada 9 Februari 2011 Nomor 019/2011, yang telah berakhir haknya pada 2021 sebagaimana Sertipikat HGU Nomor 00001/Poso.
“Bahwasanya Bupati Poso telah menerbitkan surat pelarangan untuk penerbitan SKT dan SPKT di wilayah eks HGU PT Sandabi Indah Lestari pada Januari 2019 dan Maret 2022,” katanya, dalam keterangan tertulis, 19 Juli 2025.
Jarot menuturkan, Badan Bank Tanah memiliki program reforma agraria di Poso dengan alokasi lahan seluas 1.550 hektare sebagai upaya untuk menjamin hak dan akses masyarakat terhadap sumber daya. Melalui program Reforma Agraria, masyarakat yang bercocok tanam dan berkebun bisa mendapatkan alas hak yang legal dan sah di mata hukum.
“Diharapkan dengan adanya mekanisme Bank Tanah, masyarakat mendapatkan kepastian hukum terhadap alas hak tanah/garapan (sesuai dengan hasil identifikasi dan verifikasi dari pemerintah setempat, terutama kelurahan),” ucap Jarot.
Melalui Mekanisme Bank Tanah, imbuh Jarot, kawasan yang sebelumnya terlantar dan belum optimalnya pemanfaatannya akan ditata sedemikian rupa sehingga memberikan dampak positif bagi perkembangan wilayah setempat, peningkatan nilai tanah serta menunjang pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan.
“Terkait kasus Christian Tolbo menjadi kewenangan aparat penegak hukum,” katanya.