Banjir Bulan Juli, Pertanda Waspada di Pulau Sipora
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Ekosistem
Kamis, 17 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Banjir parah dilaporkan kembali terjadi di Pulau Sipora, salah satu gugusan pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), pada 14 Juli 2025. Hujan yang mengguyur selama 48 jam mengakibatkan Desa Saureinu terendam banjir untuk kedua kalinya di tahun ini. Hanya berselang satu bulan sejak banjir sebelumnya, yang merendam desa itu hingga ketinggian 1,5 meter.
Juru kampanye Bioenergi di Trend Asia, Amalya Reza, mengatakan intensitas banjir yang berulang terjadi dalam satu tahun ini menunjukkan bahwa Sipora adalah pulau kecil yang rentan terhadap krisis iklim, dan tengah merasakan dampak berupa cuaca ekstrim dan pergeseran musim.
“Ditambah dengan hadirnya ancaman-ancaman baru yang berpotensi mengubah bentang alam Pulau Sipora,” ujar Amalya, dalam sebuah keterangan tertulis, Rabu (16/7/2025).
Ancaman dimaksud Amalya ini adalah keberadaan konsesi hutan tanaman industri (HTI) atau kebun kayu yang diberikan kepada PT Sumber Permata Sipora (SPS). Konsesi perusahaan ini mencakup areal seluas 20.706 hektare untuk pemanfaatan hasil hutan kayu dan 200 hektare untuk jasa lingkungan. Luas konsesi ini mengambil sepertiga total luas Pulau Sipora yang hanya sekitar 61.518 hektare—menempati kategori pulau kecil.

Amalya melanjutkan, terdapat 17 daerah aliran sungai (DAS) yang masuk dalam konsesi PT SPS ini, dengan 6 DAS di antaranya, atau lebih dari 50 persen, berada dalam areal konsesi. Keberadaan dan aktivitas PT SPS berpotensi mengubah aliran sungai dan tutupan lahan di sekitarnya. Apalagi dengan karakteristik DAS di pulau kecil yang cenderung pendek, memperbesar kemungkinan banjir semakin sering terjadi.
Data DAS dalam Konsesi PBPH PT SPS. Sumber: Trend Asia.
"Izin PT SPS berpotensi mendeforestasi 20.143 hektare hutan alam, atau setara dengan 97% dari luas konsesi tersebut. Potensi perubahan bentang alam dengan hadirnya konsesi akan memperbesar kemungkinan bertambahnya intensitas banjir. Dengan begitu, menambah kerentanan pulau-pulau kecil serta masyarakat yang tinggal di dalamnya,” ucap Amalya.
Amalya bilang, hadirnya PT SPS di Pulau Sipora sangat tidak sesuai dengan semangat Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PPK). Meskipun Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) tidak secara eksplisit dilarang di pulau kecil seperti halnya tambang mineral, namun potensi kerusakannya terhadap sistem tata air di pulau kecil melanggar Pasal 23 UU PPK yang mengamanatkan pemanfaatan yang berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu.
Peta Konsesi PT SPS di Pulau Sipora. Sumber: Trend Asia.
Saat ini, imbuhnya, analisis dampak lingkungan (Andal) yang diajukan oleh PT SPS masih dalam proses untuk mendapat persetujuan pelepasan hak dari delapan desa yang masuk ke dalam konsesi, dan Andal tersebut termasuk dalam kategori risiko tinggi.
LBH Padang juga menemukan indikasi modus-modus kecurangan dalam perizinan, berupa manipulasi data penggunaan lahan dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), tidak adanya proses konsultasi publik yang sah dan partisipatif dengan masyarakat terdampak, serta tanda tangan persetujuan yang diduga diperoleh tanpa informasi yang utuh dan di luar prosedur yang berlaku.
“Perizinan PT SPS di Sipora menunjukkan dugaan abainya prinsip partisipasi bermakna dan pengakuan terhadap hak ulayat. Warga tak diberi informasi utuh dan sistem tenurial adat diabaikan. Di pulau kecil seperti Sipora, hal ini bukan hanya memicu konflik agraria, tapi juga memperbesar risiko bencana ekologis,” jelas Diki Rafiqi, Direktur LBH Padang, dalam kesempatan yang sama.
Diki menyebutkan, beberapa warga dari desa-desa dalam wilayah konsesi mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan dokumen lingkungan hidup, dan bahkan tidak mengetahui keberadaan proyek PT SPS. Juga ditemukan modus persetujuan pelepasan hak melalui permintaan tanda tangan dari perwakilan setiap desa, yang sudah dilakukan di 8 desa. Namun metode ini bertentangan dengan sistem tenurial beberapa kampung yang memakai sistem kepemilikan komunal kaum.
LBH Padang dan Trend Asia juga menemukan bahwa pemetaan batas wilayah adat tidak dijadikan rujukan utama dalam proses perizinan, sehingga ada tumpang tindih antara wilayah konsesi dan tanah ulayat masyarakat adat Mentawai.
Amalya melanjutkan, eksploitasi serupa tidak hanya terjadi di Sipora, tetapi juga di gugusan kepulauan lain di Mentawai. Di Pagai Utara dan Pagai Selatan, PBPH PT Minas Pagai Lumber menguasai hampir seluruh luas kedua pulau tersebut. Sementara di Pulau Siberut, yang meskipun masuk kategori pulau besar, hampir setengah wilayahnya dikuasai izin PBPH PT Salaki Suma Sejahtera, PT Biomass Andalan Energi, dan yang terbaru masih mengurus izin, PT Landarmil Putra Wijaya.
Peta Kerentanan Bencana dan PBPH di Kepulauan Mentawai. Sumber: Trend Asia.
Padahal, sambung Amalya, keseluruhan Kepulauan Mentawai sendiri, berdasarkan data Inarisk BNPB, merupakan wilayah dengan kerentanan tinggi terhadap bencana, dengan 69% dari total populasi telah terdampak oleh cuaca ekstrem. Analisis Trend Asia juga menemukan bahwa daerah-daerah pesisir dan DAS di Kepulauan Sipora memiliki kerentanan banjir yang tinggi.
“Pemerintah harus segera menghentikan penerbitan izin-izin industri ekstraktif di pulau-pulau kecil dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin yang sudah ada. Suara masyarakat adat tidak boleh diabaikan, menimbang melindungi ekosistem dan keberlangsungan hidup mereka yang rentan,” ujar Amalya Reza.
Bupati Kepulauan Mentawai memohon peninjauan kembali PBPH
Keberadaan PT SPS di Pulau Sipora ini juga mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Bupati Kepulauan Mentawai, Rinto Wardana, menyampaikan permohonan peninjauan kembali PBPH PT SPS dan percepatan pelaksanaan verifikasi usulan masyarakat hukum adat (MHA) kepada Direktur Jenderal Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat di Kementerian Kehutanan.
Pada intinya, dalam surat nomor 500.4.3.16/33/DLHK/2025 itu, Bupati Rinto mengatakan, bahwa di wilayah yang dibebani PBPH PT SPS itu, sebagian areal lokasinya telah ditetapkan sebagai wilayah MHA, berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang menyatakan pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak MHA.
Kemudian, berdasarkan hasil identifikasi dan pemetaan awal oleh pemerintah daerah bersama unsur masyarakat dan instansi terkait, ditemukan indikasi tumpang tindih antara area yang dimohonkan oleh PT SPS untuk PBPH dengan kawasan yang diakui sebagai wilayah MHA.
“Untuk menghindari potensi konflik tenurial, ketidaksesuaian pemanfaatan ruang, serta untuk memastikan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan, maka kami mohon peninjauan kembali dan evaluasi terhadap proses pemberian PBPH dimaksud,” kata Bupati Rinto Wardana, dalam surat tertanggal 15 Juli 2025.
Lebih lanjut Bupati Rinto menerangkan, mengenai pengajuan pelaksanaan verifikasi teknis untuk penetapan hutan adat, yang diusulkan pemerintah daerah, pihaknya memohon agar dirjen terkait untuk dapat mempercepat pelaksanaan verifikasi terhadap usulan hutan adat MHA di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Total hutan adat yang diusulkan luasnya sekitar 17.792,35 hektare, terdiri dari 12 MHA, yang berada di Kecamatan Siberut Utara dan Kecamatan Siberut Selatan. 12 hutan adat ini telah diusulkan pada 2020 dan 2022 lalu.