Koalisi: Darurat Agraria di Mandalika

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Kamis, 03 Juli 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Darurat agraria terjadi di Mandalika, Kecamatan Sandubaya, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Demikian menurut Koalisi Front Rakyat Lawan PSN. Darurat agraria dimaksud merujuk pada aktivitas pengembangan pariwisata dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang belakangan menggusur lahan dan tempat usaha warga lokal.

Koalisi menguraikan, KEK Mandalika merupakan salah satu bagian dari Kawasan Pariwisata Strategis Nasional (KSPN) yang dikembangkan pemerintah Indonesia. Pengembangan KEK ini diserahkan kepada PT Injourney Tourism Development Centre (ITDC), salah satu anak perusahaan BUMN dengan dukungan pendanaan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Pengembangan KEK ini meliputi area Pantai Kuta, Pantai Serenting, Tanjung Aan, Pantai Kelieuw dan Pantai Gerupuk di Lombok Tengah, NTB.

Sejak ditetapkan sebagai KEK pada 2011—bagian MP3EI di masa Presiden SBY—dengan nilai investasi Rp27 triliun, Mandalika diarahkan menjadi pusat pengembangan pariwisata berskala internasional. Selanjutnya di masa Presiden Jokowi, KEK Mandalika menjadi salah satu proyek strategis nasional (PSN) demi percepatan pembangunan sirkuit balap motor internasional Mandalika (MotoGP).

Di luar pengembangan sirkuit, KEK Mandalika juga mempercepat pengadaan tanah untuk pembangunan jalan dan fasilitas umum penunjang pariwisata berkelas dunia. Sayangnya sejak proses groundbreaking 2011 dan pengadaan tanahnya dilakukan 2019, proyek mercusuar ini telah memakan banyak korban. Banyak masyarakat yang kehilangan tanahnya, nelayan kehilangan aksesnya ke laut dan kehilangan mata pencaharian para pedagang lokal.

KPPII sebagai perwakilan warga menuntut AIIB segera memulihkan hak korban yang terdampak penggusuran proyek Mandalika. Foto: KPPII

“Nyatanya proyek KEK Mandalika luput dalam hal penghormatan dan perlindungan warga setempat, utamanya yang berkaitan dengan perlindungan hak atas tanah dan mata pencaharian masyarakat,” tulis Koalisi dalam sebuah pernyataan tertulis, 27 Juni 2025.

Pada 15 Juni 2025, lanjut Koalisi, masyarakat di Tanjung Aan menerima surat dari pihak ketiga bernama Vanguard. Dalam suratnya Vanguard ini mengatasnamakan diri sebagai perwakilan yang ditunjuk para investor, yang mengklaim telah bekerja sama dengan pihak ITDC (pemegang hak pengelolaan/HPL).

Tujuan dari surat adalah memberikan tenggang waktu 14 hari sejak surat dikeluarkan kepada masyarakat/para pedagang lokal untuk segera melakukan pengosongan lahan dan pembongkaran warung/lahan usaha (land clearing) secara mandiri dengan batas waktu sampai dengan 28 Juni 2025.

Sebelumnya, Maret 2025, Kantor Pertanahan Lombok Tengah menerbitkan dan menyerahkan setidaknya 12 sertifikat hak pengelolaan (HPL) kepada ITDC, yang proses pengadaan tanahnya telah dimulai sejak 2019 dan telah mengakibatkan konflik agraria di tengah masyarakat, di mana banyak masyarakat kehilangan tanahnya. Proses perolehan HPL ITDC ini pun didukung oleh Bupati Lombok Tengah.

“Ironis, sebab pemda (pemerintah daerah) gagal memastikan perlindungan kepada warganya, sebab HPL-HPL tersebut telah memasukkan tanah dan lahan usaha warga tanpa didahului upaya perlindungan dan mitigasi dampak sosial-ekonomi masyarakat setempat,” kata Koalisi.

Koalisi melanjutkan, dengan mengantongi HPL, pihak ITDC juga terus melakukan tindakan intimidasi dengan mengerahkan aparat keamanannya (security/Vanguard) yang berkeliaran bebas di tengah-tengah aktivitas warga, mendatangi warung-warung dan bentuk patroli lainnya yang menimbulkan rasa ketakutan dan juga trauma kolektif warga.

Koalisi menganggap, PT ITDC terbukti telah mengabaikan hak-hak konstitusional masyarakat yang dijamin oleh Konstitusi dan UUPA 1960. Pada setiap prosesnya, pembangunan KEK Mandalika dijalankan dengan proses tertutup, manipulatif, dan intimidatif kepada warga setempat sehingga menyebabkan konflik agraria dan perampasan tanah.

“Tidak ada konsultasi dan partisipasi yang bermakna serta transparan yang dilakukan oleh pihak ITDC, pemda dan kantor pertanahan, apalagi consent (persetujuan) warga terhadap eksekusi proyek, sejak rencana pembangunan, pengadaan tanah, ganti kerugian hingga upaya pengusiran terkini di Tanjung Aan melalui Vanguard,” ujar Koalisi.

Hadirnya Vanguard ini, imbuh Koalisi, menunjukkan Pemerintah Indonesia dan ITDC lepas tangan, membiarkan hak-hak rakyat digadaikan dan dihadapkan pada kelompok swasta yang tidak punya otoritas apa pun untuk melakukan land clearing. Bentuk-bentuk penggusuran paksa tersebut bisa kita lihat dari pola-pola pendekatan yang dilakukan oleh ITDC selama ini. Pihak ITDC melaksanakan pembangunan secara sepihak tanpa adanya persetujuan dan pelibatan warga setempat.

Koalisi bilang, tidak ada upaya menyelesaikan pembayaran lahan terhadap pemiliknya, tanpa kompensasi yang layak, tanpa relokasi atau pemukiman kembali yang layak dan adil, tanpa pemulihan kembali tatanan kehidupan sosial dan ekonomi bagi warga terdampak khususnya perempuan yang akan menanggung beban lebih berlapis dalam pusaran konflik agraria.

“Pada perkembangannya, bersamaan dengan rencana pembangunan hotel berbintang dan diskotik (beach club), PT ITDC dengan dukungan investornya akan kembali melakukan penggusuran paksa terhadap 186 warung, cafe dan restoran milik warga dan para pedagang di Pesisir Pantai Tanjung Aan,” kata Koalisi.

Koalisi memperkirakan, penggusuran ini akan mengorbankan 1.000 lebih warga yang selama ini menggantungkan hidupnya di sana. Sebab proses pembangunannya tidak pernah melibatkan partisipasi mereka, mendengar pendapat dan meminta persetujuan warga terdampak, serta pertimbangan terhadap dampak sosial, ekonomi dan lingkungan yang akan ditanggung oleh warga.

Jika kawasan pesisir pantai Tanjung Aan digusur, sambung Koalisi, maka akan menghilangkan sumber pendapatan ribuan warga yang selama ini menggantungkan hidup di Pantai Tanjung Aan. PT ITDC juga menghilangkan partisipasi warga dalam mengembangkan pariwisata di Pantai Tanjung Aan dan kawasan Mandalika.

“Penggusuran ini adalah cerminan dari pelaksanaan pembangunan yang dilabeli oleh PSN, KEK yang terjadi di berbagai daerah. Proyek-proyek ini kental dengan praktek-praktek manipulasi, penggusuran dan perampasan tanah, serta tindakan intimidasi dan teror terhadap warga terdampak,” tulis Koalisi.

Koalisi melanjutkan, berbagai pelanggaran dan perampasan tanah atas nama proyek-proyek pembangunan KEK atau yang dilabeli PSN di Indonesia telah menambah daftar panjang konflik agraria. Dalam lima tahun terakhir (2020-2024), pengadaan tanah untuk pembangunan PSN telah menyebabkan sedikitnya 154 letusan konflik agraria di seluas 1.004.803 hektare berdampak pada 103.685 KK di berbagai daerah (KPA, 2024)

“November tahun lalu, kami dari Koalisi Front Rakyat Lawan PSN melalui Resolusi Pejaten Timur menyatakan 5 masalah fundamental PSN,” kata Koalisi. Lima masalah tersebut yakni:

  1. Bahwa PSN telah menjadi alat baru perampasan tanah, wilayah adat, dan wilayah tangkap nelayan di berbagai daerah.
  2. Bahwa PSN di berbagai daerah telah menyebabkan krisis agraria, sosial, ekonomi, lingkungan yang berdampak luas dan genting.
  3. Bahwa PSN telah menghilangkan sumber pencaharian, pangan dan penghidupan rakyat yang memperparah kemiskinan nasional secara terstruktur, sistematis, dan masif.
  4. Bahwa PSN di berbagai daerah dilaksanakan dengan cara-cara represif, intimidatif, manipulatif, dan koruptif dengan menghilangkan partisipasi rakyat secara bermakna dan transparan.
  5. Bahwa PSN di sebagian daerah memobilisasi keuangan negara untuk kepentingan kelompok bisnis.

“Atas dasar itu kami menyatakan sikap mengecam PT ITDC yang melakukan pemaksaan land clearing terhadap warga di Tanjung Aan, dan mendukung penuh perjuangan warga terdampak proyek Mandalika untuk mempertahankan dan memperjuangkan haknya,” tulis Koalisi.

Koalisi menuntut kepada Pemerintah Indonesia, PT ITDC, dan AIIB untuk menghentikan upaya penggusuran (land clearing) di Tanjung Aan atas nama investasi KEK Mandalika. Mereka juga mendesak Menteri ATR/BPN RI untuk mengevaluasi penetapan seluruh sertifikat HPL bagi PT ITDC oleh Kantor Pertanahan Lombok Tengah, sekaligus mencabut HPL yang telah melanggar dengan memasukkan tanah pemukiman, kampung, sumber kehidupan dan lahan usaha masyarakat setempat ke dalam otoritas ITDC, selanjutnya menjalankan Reforma Agraria bagi warga terdampak sebagai bagian dari blue print KEK Mandalika.

Koalisi mendesak kementerian/lembaga terkait dan PT ITDC menjalankan partisipasi bermakna dengan cara pelibatan sepenuhnya warga terdampak, mengedepankan hak konstitusional dan prioritas penguasaan tanah oleh warga,  mendorong keterbukaan informasi terkait proses pembangunan serta rencana mitigasi dampak sosial-ekonomi di seluruh Kawasan KEK Mandalika, utamanya di Ebunut, Moloq, Pedau, dan Tanjung Aan.

Berikutnya, koalisi juga mendesak kementerian/lembaga dan PT ITDC untuk mengusut dan membuka laporan terkait daftar warga terdampak, proses pengadaan tanah, proses dan bentuk-bentuk ganti kerugian yang menjadi hak warga (pengakuan HAT, tanah pengganti, relokasi, penyertaan saham warga, dll.), termasuk investigasi terhadap keterlibatan keamanan swasta (Vanguard) dalam pelaksanaan proyek di Kawasan KEK Mandalika.

“Pemerintah daerah dan kepolisian harus menghentikan praktek intimidasi, kekerasan, dan penggusuran di Bukit Tengal-Engal serta uapaya pengusiran paksa terhadap pengelola pantai di kawasan Tanjung Aan dalam setiap pembangunan KEK Mandalika,” kata Koalisi.

Kemudian, Koalisi meminta AIIB dan investornya, untuk menangguhkan investasi/pinjaman proyek karena pembangunan yang terjadi selama ini dilakukan tanpa persetujuan warga, merampas tanah rakyat, mengabaikan gender action plan, tidak memberikan kompensasi layak dan adil, hingga konflik agraria, sengketa tanah, kompensasi, dan pemukiman kembali telah diselesaikan secara adil dan beradab.

“Mendesak presiden untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek KEK Mandalika dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan lainnya yang telah menyebabkan konflik agraria di berbagai daerah, sekaligus memastikan adanya jaminan perlindungan serta pemulihan hak-hak masyarakat terdampak,” tulis Koalisi.

Koalisi Front Rakyat Tolak PSN sendiri merupakan himpunan dari sejumlah lembaga masyarakat sipil, seperti AGRA, KPA, Walhi, AMAN, Solidaritas Perempuan, Greenpeace Indonesia, dan berbagai kelompok lainnya.