Sahabat Pengadilan Dukung TuK Indonesia Gugat Bank Mandiri
Penulis : Gilang Helindro
Lingkungan
Jumat, 20 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Delapan organisasi masyarakat sipil dari dalam dan luar negeri resmi mengajukan dokumen amicus curiae kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mendukung gugatan hukum yang diajukan oleh Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA) terhadap Bank Mandiri.
Direktur TuK INDONESIA, Linda Rosalina, menyatakan bahwa dukungan dari berbagai organisasi menunjukkan bahwa isu ini bukan semata urusan domestik. “Dunia sedang menyoroti tanggung jawab bank dalam rantai kerusakan lingkungan dan konflik agraria. Gugatan ini bukan hanya soal bisnis, tetapi soal keadilan dan keberlanjutan,” katanya dikutip Kamis, 19 Juni 2025.
Linda menyebut dukungan ini menjadi sorotan penting dalam perkara yang menuntut pertanggungjawaban lembaga keuangan atas pendanaan proyek yang diduga merusak lingkungan, merampas hak masyarakat adat, dan memicu konflik agraria.
Organisasi yang turut menyuarakan dukungannya antara lain BankTrack, Milieudefensie, RimbaWatch, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Trend Asia, WALHI Nasional, dan WALHI Riau. Mereka menyerukan pentingnya prinsip kehati-hatian (due diligence) lembaga keuangan dalam pembiayaan proyek, khususnya di sektor berisiko tinggi seperti perkebunan sawit.

Gugatan TuK INDONESIA, dalam kampanye “Desak Mandiri”, mempersoalkan pembiayaan Bank Mandiri kepada PT Agro Nusa Abadi (ANA)—anak perusahaan Astra Agro Lestari (AALI)—yang beroperasi di Sulawesi Tengah. TuK INDONESIA menilai bahwa operasi PT ANA ilegal dan melanggar prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
Data KPA menunjukkan bahwa antara 2017–2024, terjadi 413 konflik agraria akibat ekspansi sawit, mencakup wilayah seluas satu juta hektare di 533 desa. Benni Wijaya dari KPA menyebut bahwa pembiayaan Bank Mandiri terhadap PT ANA sangat bermasalah karena perusahaan tidak mengantongi hak guna usaha (HGU) yang sah.
“Bank Mandiri ikut melestarikan konflik agraria. AALI dan anak-anak perusahaannya terlibat dalam 17 letusan konflik dengan total luasan lebih dari 37.000 hektare,” ungkap Benni. Ia menegaskan bahwa praktik pembiayaan semacam ini bertentangan dengan amanat konstitusi dan reforma agraria.
WALHI Riau turut melaporkan dugaan pelanggaran serupa oleh PT Sari Lembah Subur (SLS), anak usaha AALI di Riau. PT SLS diduga mengelola kebun sawit tanpa izin pelepasan kawasan hutan dan HGU. Bahkan, Satgas Penertiban Kawasan Hutan menyita 250 hektare lahan yang digunakan secara ilegal.
Boy Jerry Even Sembiring dari WALHI Riau menyatakan, “Kasus ini menunjukkan pelanggaran serius terhadap hak masyarakat adat dan lingkungan. Kami mendesak hakim menjadikan kasus ini sebagai dasar untuk mempertegas batas tanggung jawab lembaga keuangan.”
Dukungan serupa juga datang dari WALHI Nasional. Menurut Uli Arta Siagian, AALI secara konsisten menciptakan kerusakan ekologis dan konflik agraria. Bahkan, Special Rapporteur PBB telah mengidentifikasi potensi pelanggaran HAM dalam operasi mereka. “Ini saatnya hakim menunjukkan keberpihakan pada keadilan ekologis dan tidak memberi ruang bagi bank yang membiayai perusakan,” kata Uli.
ICEL menyebut gugatan ini sebagai yang pertama di Indonesia yang secara langsung meminta pertanggungjawaban hukum dari sebuah bank atas pendanaan kegiatan yang ilegal dan destruktif. “Ini bukan sekadar sengketa perdata. Ini momen penting untuk menegaskan bahwa bank harus bertanggung jawab terhadap dampak dari uang yang mereka salurkan,” ujar Difa Shafira dari ICEL.
Gugatan ini juga mendapat penguatan dari komunitas internasional. Ola Janus dari BankTrack menyatakan bahwa lembaga keuangan harus tunduk pada Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM. “Tiga belas tahun sejak prinsip ini disepakati, masih banyak bank yang menganggap tanggung jawab sosial mereka sebagai pilihan, bukan kewajiban,” tegasnya.
RimbaWatch dari Malaysia memandang gugatan ini sebagai preseden global. “Lingkungan adalah kepentingan publik. Organisasi seperti TuK harus memiliki kedudukan hukum yang kuat karena mewakili kepentingan luas masyarakat dan ekosistem,” ujar Kuberan Hansrajh dan Claudia Nyon Syn Yue.
Sementara itu, Milieudefensie dari Belanda menekankan bahwa pembiayaan harus sejalan dengan Perjanjian Paris dan Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global. Danielle van Oijen menyebut gugatan ini sebagai bagian dari gerakan litigasi strategis global. “Kita perlu mengubah sistem keuangan secara mendasar agar berpihak pada iklim dan keadilan ekologis,” ujarnya.
Gugatan TuK INDONESIA terhadap Bank Mandiri kini memasuki tahap akhir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Para pendukung berharap majelis hakim tidak hanya menilai kasus ini sebagai sengketa bisnis biasa, melainkan sebagai peluang untuk menetapkan standar baru: bahwa bank sebagai penyandang dana tidak boleh lepas dari tanggung jawab atas dampak proyek yang mereka biayai. “Jika gugatan ini dikabulkan, hal ini akan menjadi preseden penting bagi penegakan akuntabilitas lembaga keuangan di Indonesia dan bahkan di tingkat internasional.”