Dikirim Burung Mati, KPA: Tak Ada Ruang bagi Teror Atas Hak Tanah
Penulis : Gilang Helindro
Pejuang Lingkungan
Senin, 02 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Konsorsium Pembaruan Agraria menyatakan "tidak ada ruang bagi teror terhadap pejuang hak atas tanah". Pernyataan tersebut disampaikan untuk menyikapi teror terhadap perjuangan masyarakat adat Tano Batak, yang mempertahankan tanah leluhur mereka dari penguasaan PT Toba Pulp Lestari (TPL), pada 30 Mei 2025.
Sebelumnya, ratusan massa kembali turun ke jalan pada Selasa (27/5) untuk mendesak Pemerintah Kabupaten dan DPRD Tapanuli Utara agar segera menutup operasi perusahaan bubur kertas TPL. Aksi yang diikuti berbagai elemen masyarakat adat ini merupakan kelanjutan dari deretan panjang protes terhadap TPL—perusahaan yang dahulu bernama Indorayon yang dinilai menyengsarakan masyarakat adat di 12 kabupaten wilayah Tano Batak.
Berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020, TPL diberikan izin untuk menguasai lahan seluas 167.912 hektare. Izin ini dinilai menjadi legitimasi baru bagi TPL untuk terus melakukan ekspansi, merampas tanah adat, dan merusak lingkungan.
Di tengah tekanan publik terhadap TPL itu, aksi teror dialami oleh Delima Silalahi, anggota Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang ikut memimpin demo penghentian operasi perusahaan itu pada Selasa. Sebuah paket berisi bangkai burung ditemukan di atas meja tamu rumah pada Jumat pagi, sekitar pukul 08.15 WIB. Tidak ada yang mengetahui siapa pengirim atau waktu kedatangan paket tersebut.

Jika teror ini berkaitan dengan aktivitas Delima sebagai pejuang agraria di Tano Batak, kata KPA, maka ia menambah panjang daftar korban intimidasi yang diduga dilakukan oleh TPL. Data Aliansi Tutup TPL tahun 2021 mencatat bahwa sedikitnya 93 orang diduga dikriminalisasi oleh perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto ini hanya karena mempertahankan tanahnya.
Sepanjang tahun 2024, TPL juga tercatat memicu sembilan konflik agraria di Toba Samosir, Simalungun, dan Tapanuli Selatan, dengan total luas konflik mencapai 8.464,36 hektare dan melibatkan 270 keluarga sebagai korban (KPA, 2024).
“Kejahatan TPL yang telah berlangsung sejak 1980-an seharusnya cukup menjadi alasan bagi pemerintah pusat untuk segera dan tegas mencabut izin operasionalnya,” tulis KPA tegas pernyataannya.
Menanggapi aksi teror terhadap Delima Silalahi dan memburuknya situasi di lapangan, KPA bersama elemen gerakan rakyat mengutuk tindakan teror dan kekerasan simbolik terhadap Delima Silalahi, mendesak Presiden Republik Indonesia dan Menteri Kehutanan untuk segera menutup PT TPL, dan mendesak aparat penegak hukum untuk segera mengusut dan mengungkap pelaku serta aktor intelektual di balik teror tersebut. KPA juga menyerukan solidaritas luas kepada seluruh organisasi rakyat dan masyarakat sipil untuk bersatu melawan segala bentuk intimidasi terhadap para pejuang agraria dan lingkungan.
Perjuangan masyarakat adat di Tano Batak, menurut KPA, adalah cerminan dari perlawanan agraria yang lebih luas di Indonesia. "Di tengah tekanan dan intimidasi, suara rakyat yang memperjuangkan keadilan agraria dan lingkungan terus menggema, menuntut keadilan yang nyata dari negara," kata organisasi ini.