12 Perusahaan di Kalteng Diadukan ke KLH dan Kemenhut
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Lingkungan
Senin, 26 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah (Kalteng), mengadukan 12 perusahaan kebun sawit, kebun kayu, dan tambang, ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Perusahaan-perusahaan itu diadukan atas dugaan sejumlah pelanggaran lingkungan hidup, tata kelola, dan sosial-ekonomi.
Perusahaan-perusahaan yang Walhi Kalteng adukan ke KLH jumlahnya ada 10, terdiri dari 4 perusahaan perkebunan sawit, 4 perusahaan kebun kayu, dan 2 perusahaan tambang. Perusahaan-perusahaan yang diadukan ke Kemenhut juga 10, namun terdiri dari 5 perusahaan perkebunan sawit dan 5 perusahaan kebun kayu.
Perusahaan-perusahaan sawit yang diadukan ke KLH adalah PT Maju Aneka Sawit (MAS), PT Mulia Agro Permai (MAP), PT Globalindo Agung Lestari (GAL) dan PT Gawi Bahandep Sawit Mekar (GBSM). Kemudian 4 perusahaan kebun kayu (hutan tanaman industri) yaitu, PT Industrial Forest Plantation (IFP), PT Baratama Putra Perkasa (BPP), PT Siemon Agro (SA) dan PT Borneo Ikhsan Sejahtera (BIS). Adapun 2 tambang batu bara yang diadukan yakni PT Tibawan Energi Indonesia (TEI) dan PT Multi Perkasa Lestari (MPL).
Beberapa perusahaan sawit dan kebun kayu yang diadukan ke KLH, lanjut Janang, juga pihaknya adukan Kemenhut. Perusahaan sawit yang dilaporkan ke Kemenhut adalah PT MAS, PT MAP, PT GAL, PT GBSM, dan PT Mitrakarya Agroindo (MKA). Sedangkan perusahaan kebun kayu yang diadukan ke Kemenhut yaitu PT IFP, PT BPP, PT Siemon Agro (SA), PT Kalteng Green Resources (KGR) dan PT Borneo Ikhsan Sejahtera (BIS).

“Jadi totalnya ada dua belas entitas perusahaan yang kita adukan ke KLH dan Kemenhut tadi,” kata Janang, Jumat (23/5/2025).
Janang mengatakan, dua belas perusahaan yang diadukan itu beroperasi di sejumlah kabupaten, yakni Kapuas, Kotawaringin Timur (Kotim), Seruyan, dan Barito Timur. Dugaan-dugaan pelanggaran didapat dari hasil desk study dan pengawasan Walhi Kalteng terhadap tata kelola perusahaan besar swasta di Kalteng.
Janang menjelaskan, wilayah Kalteng luasnya sekitar 15.426.781 hektare, tapi sekitar 9.166.713,74 hektare di antaranya dikuasai oleh investasi skala besar berbasis lahan. Secara rinci, perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) seluas 5.119.119.156 hektare, perkebunan 2.988.748 hektare, dan pertambangan 1.058.811 hektare.
“Di Kalimantan Tengah itu, menurut data yang kami kumpulkan, ada 670 izin usaha yang diterbitkan pemerintah. Investasi skala besar itu menguasai lebih dari 60 persen wilayah Kalimantan Tengah,” ucapnya.
Investigasi Walhi Kalteng sejak April-Desember 2024 terhadap 12 perusahaan tersebut menghasilkan sejumlah temuan. Temuan-temuan tersebut di antaranya, pelanggaran administrasi perizinan, aktivitas di lahan gambut, aktivitas di kawasan hutan tanpa izin di bidang kehutanan, deforestasi skala besar, pencemaran lingkungan, dan kebakaran lahan.
Selain itu, imbuh Janang, Walhi Kalteng juga menemukan adanya konflik perusahaan dengan masyarakat, mulai dari sengketa lahan, realisasi plasma perkebunan sawit, persoalan ketenagakerjaan, pembebasan lahan, tanggung jawab sosial perusahaan dan lain sebagainya.
“Dari perusahaan-perusahaan yang kami adukan itu, juga ada yang sudah diberi sanksi administratif oleh pemerintah, karena beraktivitas tanpa izin di kawasan hutan. Selain itu, ada juga yang sudah dipidana karena kebakaran hutan,” ujar Janang.
Lebih lanjut Janang mengatakan, Walhi Kalteng merekomendasikan agar perusahaan-perusahaan yang beraktivitas di lahan gambut dikenakan Pasal 30 Peraturan Pemerintah (PP) 57/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, dengan wajib melakukan pemulihan sesuai kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan.
Kemudian, apabila tidak melaksanakan pemulihan, dapat ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi administratif berupa paksaan pemerintah serta ditingkatkan ke pembekuan izin lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 PP 57/2016.
“Selain itu, dapat juga dikenakan Pasal 41 PP 71/2014 dengan sanksi berupa paksaan pemerintah dan dapat di tindak-lanjuti apabila tidak melaksanakan ketentuan paksaan tersebut dengan pembekuan perizinan berusaha dan pencabutan perizinan berusaha,” kata Janang.
Lalu, terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti mengakibatkan pencemaran sungai, dapat dikenakan Pasal 32B ayat (2) Undang-Undang (UU) 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Serta dengan ketentuan pidana jika dianggap pemberian sanksi administratif tidak dilaksanakan serta ditemukan hal-hal sebagaimana yang ada di Pasal 98 UU PPLH.
Walhi Kalteng rekomendasikan pemberian sanksi
Janang bilang, Walhi Kalteng, merekomendasikan KLH untuk melakukan penyidikan dan fungsi pengawasan serta mengambil langkah terhadap dampak kerusakan lingkungan yang menjadi temuan Walhi Kalteng. Juga dapat berkolaborasi dengan kementerian terkait, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, dan Dirjen Perkebunan pada Kementerian Pertanian.
“Untuk melaksanakan monitoring dan pengawasan serta penindakan dalam hal dugaan kerusakan lingkungan, pelanggaran aspek tata kelola/perizinan serta dampak sosial ekonomi,” ujar Janang.
Selanjutnya kepada Kemenhut, Janang menuturkan, Walhi Kalteng menyarankan dilakukannya evaluasi perizinan terhadap perusahaan kebun kayu sesuai UU 41/1999 tentang Kehutanan dan PermenLHK 62/2019 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Serta melihat kembali kesesuaian RKU dan RKT masing-masing perusahaan yang ada.
Terhadap adanya kebakaran hutan di areal perizinan berusaha kehutanan, Walhi Kalteng merekomendasi Kemenhut mengenakan Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) UU 41/1999 sebagaimana diubah dengan UU Cipta Kerja. Karena para pemegang hak atau perizinan berusaha bertanggung jawab atas kejadian kebakaran hutan di areal kerjanya.
Selain menggunakan UU Kehutanan, sanksi terhadap perusahaan perkebunan sawit menggunakan UU 39/2014 tentang Perkebunan. Karena menurut Pasal 56 UU tersebut disebutkan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar.
“Dalam perizinan HTI (kebun kayu) dapat dikenakan dengan Pasal 364 PermenLHK 8/2021 sanksinya berupa pembekuan PBPH yang dapat dilanjutkan menjadi pencabutan PBPH apabila tidak melaksanakan sanksi administratif yang telah diberikan sebelumnya,” tutur Janang.
Tak hanya itu, Walhi Kalteng juga meminta dilakukannya penegakan hukum terhadap aktivitas di dalam kawasan hutan tanpa perizinan di bidang kehutanan sebagai mana ditur Pasal 17 ayat (2) huruf b UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang diubah dengan UU Cipta Kerja. Sanksi yang diberikan kepada pelanggar dapat berikan berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda administratif, pembekuan perizinan berusaha dan/atau pencabutan perizinan berusaha.
Selain sanksi administratif, dapat juga dikenakan Pasal 18 PP 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. Pasal tersebut mengharuskan pelaksanaan pembayaran denda, dan jika tidak membayar denda maka dapat ditingkatkan dengan penetapan status tidak berlakunya perizinan berusaha.
“Berdasarkan pemantauan meskipun telah terjadi penyitaan terhadap areal yang masuk dalam kawasan hutan, namun kami merekomendasikan kepada Kementerian Kehutanan melalui Dinas Kehutanan serta tim satgas penindak, agar melakukan pemulihan terhadap lansekap serta mengembalikan areal hutan kepada masyarakat,” ucap Janang.
Terhadap adanya areal tumpang tindih, Walhi Kalteng merekomendasikan dilakukannya pengurangan atau penciutan wilayah kerja izin atau konsesi yang tidak sesuai rencana tata ruang, dan terhadap hak atas tanah, dilakukan penyesuaian pemanfaatan tanah dengan rencana tata ruang.