Pimpinan Gereja HKBP Serukan Penutupan PT TPL
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Lingkungan
Rabu, 14 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Seruan tutup TPL (Toba Pulp Lestari) kembali mengemuka. Kali ini seruan untuk menutup perusahaan kebun kayu dan penghasil bubur kertas (pulp) yang berlokasi di Sumatera Utara (Sumut) itu datang dari Pdt. Victor Tinambunan, Ephorus atau Pimpinan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Pdt. Victor menganggap selama 30 tahun beroperasi, PT TPL telah mengakibatkan masyarakat Tano Batak sengsara. Menurutnya, perusahaan yang dulunya bernama PT Indo Rayon Utama itu sudah seharusnya ditutup untuk menghindari kerusakan ekosistem dan bencana ekologis yang lebih parah di masa depan.
“Melihat ironi kehidupan yang terjadi dalam kurun 30 tahun terakhir ini, dengan segala hormat dan tanggung jawab moral, saya menyerukan kepada bapak/ibu pemilik dan pimpinan PT TPL: tutup operasional perusahaan TPL sesegera mungkin,” kata Pdt. Victor Tinambunan dalam sebuah pernyataan yang diunggah di akun Facebook pribadinya, Rabu (7/5/2025).
Penutupan ini, imbuh Pdt. Victor, bukanlah sekadar desakan emosional, melainkan langkah preventif untuk menghindari krisis yang lebih parah di masa depan, khususnya bagi masyarakat di Tano Batak, bagi Sumatera Utara, dan bahkan bagi keberlanjutan ekologis di tingkat global.

Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa dirinya pribadi dan mayoritas masyarakat di Tano Batak, tidak mengenal secara langsung siapa sesungguhnya pemilik maupun pimpinan utama PT TPL. Hal tersebut ia anggap suatu ironi yang mencolok. Sebuah perusahaan berskala besar tetapi relasi sosial dan komunikasi dasarnya dengan masyarakat sekitar tetap asing dan tidak terbangun.
“Dalam konteks etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan, serta norma adat yang kami hidupi, absennya relasi bisnis ini merupakan sebuah bentuk pengabaian etika hidup bersama di masyarakat,” katanya, dalam sebuah pernyataan yang diunggah di akun Facebook pribadinya, Rabu (7/5/2025).
Fakta yang paling menyakitkan, lanjut Pdt. Victor, adalah bahwa PT TPL telah memicu berbagai bentuk krisis sosial dan ekologis. Mulai dari rusaknya alam dan keseimbangan ekosistem, rentetan bencana ekologis (banjir bandang, tanah longsor, pencemaran air, tanah, dan udara, perubahan iklim), jatuhnya korban jiwa dan luka, hilangnya sebagian lahan pertanian produktif, rusaknya relasi sosial antarwarga, hingga akumulasi kemarahan yang tidak mendapat saluran demokratis karena ketakutan.
“Ini bukan sekadar dampak insidental, tetapi sebuah jejak panjang dari konflik yang tidak kunjung diselesaikan secara bermartabat,” katanya.
Pdt. Victor mengatakan, berdasarkan pemberitaan media dan berbagai laporan publik, pihaknya mengetahui bahwa PT TPL telah memperoleh keuntungan finansial yang sangat besar, bernilai triliunan rupiah dari pemanfaatan sumber daya alam di wilayah Tano Batak.
Ironisnya, akumulasi kapital tersebut tidak tampak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pendapatan masyarakat lokal secara umum. Hanya sebagian kecil dari masyarakat yang mendapat keuntungan. Ketimpangan ini menjadi cermin ketidakadilan distribusi manfaat ekonomi.
Pdt. Victor juga meminta agar seluruh karyawan dan karyawati yang terdampak penutupan perusahaan ini, diberikan hak-hak normatif secara utuh, termasuk kompensasi atau pesangon yang layak dan proporsional, bahkan bila memungkinkan dalam bentuk dana modal usaha. Langkah ini bukan hanya mencerminkan tanggung jawab hukum, tetapi juga merupakan wujud dari etika korporasi yang bermartabat.
“Apa yang saya sampaikan ini sama dengan kerinduan sejak lama banyak pihak seperti pimpinan-pimpinan gereja di Sumatera Utara, Persekutuan Gereja Indonesia, tokoh masyarakat Batak yang tinggal di Tano Batak dan di luar Tano Batak, LSM, perguruan tinggi dan masyarakat Tano Batak,” ucapnya.
Terpisah, Direktur PT TPL, Jandres Silalahi, menyayangkan pernyataan tutup TPL yang disampaikan Pdt. Victor Tinambunan. Ia mengklaim, terdapat sekitar 50 ribu jiwa, baik dari tenaga kerja langsung dan tidak langsung, dan masyarakat yang bermitra dengan PT TPL, yang bergantung mata pencaharian dengan PT TPL.
“Dampaknya harus dipikirkan jauh ke depan. PT TPL yang sudah beroperasi 33 tahun, tentu perusahaan sudah ada dan berinvestasi, dan ini harus dipikirkan agar bagaimana caranya baik untuk masyarakat dan baik untuk negara juga,” katanya dalam sebuah wawancara dengan Kompas TV, 9 Mei 2025.
“Kami, pada kesempatan ini benar-benar sangat menyayangkan seruan dari opung ephorus menyatakan untuk menutup PT Toba Pulp Lestari,” imbuhnya