Gugatan PLTU Ditolak, Walhi: PTUN Jakarta Tak Pahami Krisis Iklim
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Rabu, 14 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terhadap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atas masuknya PLTU Jawa 3/Tanjung Jati A Cirebon di RUPTL 2021-2030 ditolak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Majelis hakim menyebutkan Walhi tidak memiliki kepentingan hukum atas perkara ini.
Pada pertimbangan putusan Perkara No 455/G/TF/LH/2024/PTUN.JKT itu hakim menyebutkan penggugat tak memiliki kepentingan hukum. Menurut mereka PLTU Tanjung Jati A Cirebon belum dibangun dan masih dalam proses pembahasan terkait dengan perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik terbaru.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin Iwang, menyebutkan putusan itu menunjukkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif belum serius merespon krisis iklim karena berkutat pada permasalahan formil. Ia menyebutkan salah satu penyebab krisis iklim adalah penggunaan batu bara.
Menurutnya saat ini Jawa Barat tidak membutuhkan elektrifikasi tambahan, apalagi menurut hitungan PLN memiliki kelebihan energi sebesar 6 giga watt, khusus untuk Jawa Barat sendiri sampai 2030.

“Artinya kalau terus dipaksakan tidak berkaitan dengan kepentingan yang seharusnya dilandaskan pada kebutuhan dan representatif masyarakat,” kata dia dalam jumpa pers di Kantor Walhi, Jakarta pada Jumat (9/5/2025).
Hingga saat ini pemerintah pusat dan daerah masih mengalami ketergantungan energi fosil. Jawa Barat, kata dia, punya target pensiun dini untuk dua PLTU.
Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jawa Barat, M Rafi Saiful Islam, menyebutkan hakim tidak mengadopsi pendekatan hukum lingkungan progresif. Mereka hanya berfokus pada hukum acara PTUN secara formil tanpa mempertimbangkan keadilan di masyarakat serta pelestarian lingkungan hidup.
Seharusnya majelis hakim mendasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
Menurutnya alasan penolakan bahwa Walhi tidak memiliki kepentingan hukum merupakan penyempitan makna keadilan lingkungan dan pengingkaran terhadap peran organisasi lingkungan hidup sebagai penjaga kepentingan publik. Hakim justru mengabaikan fakta persidangan soal potensi dampak yang seharusnya bisa digugat.
“Dampak putusan ini sangat serius karena membuka preseden buruk bagi upaya-upaya pencegahan perusakan, pencemaran lingkungan & perubahan iklim melalui jalur hukum. Dengan dalih tidak adanya kepentingan hukum. Jika WALHI yang memiliki kapasitas dan rekam jejak panjang dianggap tidak punya hak gugat, bagaimana nasib masyarakat biasa yang berpotensi terdampak?" kata dia.
Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim sendiri akan segera mengajukan banding atas putusan ini. Ia berharap kesalahan fundamental pada peradilan tingkat pertama ini tidak akan diulangi oleh tingkat banding.
Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi Nasional, Dwi Sawung, menyebutkan perencanaan PLTU Tanjung Jati A sendiri sebenarnya sudah tak layak dipertahankan. Pada 2022 lalu, PTUN Bandung telah membatalkan izin lingkungan PLTU itu.
Majelis Hakim PTUN Bandung menyatakan batal Surat Keputusan Kepala Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Provinsi Jawa Barat Nomor 660/32/19.1.02.0/BPMPT/2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Pembangunan PLTU Tanjung Jati A Kapasitas 2 x 660 MW dan Fasilitas Penunjangnya di Desa Pengarengan, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon oleh PT Tanjung Jati Power Company tertanggal 28 Oktober 2016.
Proyek PLTU Tanjung Jati A ini juga ada dalam pusaran suap yang menyeret Bupati Cirebon Periode 2014-2019, Sunjaya Purwadisastra. Ia diduga menerima suap dari General Manager Hyundai Engineering Construction, Herry Jung yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak 15 September 2019.
Herry diduga memberi suap kepada Sunjaya senilai Rp 6,04 miliar terkait dengan perizinan PT Cirebon Energi Prasarana PLTU-2 di Kabupaten Cirebon dari janji awal Rp 10 miliar. Pemberian uang suap diduga diberikan dengan bentuk tunai dan secara bertahap.
“Kabar yang kami dengar, KPK masih terus melakukan proses hukum atas kasus ini,” ucap Sawung.