Presiden Diminta Ratifikasi Konvensi ILO 188

Penulis : Aryo Bhawono

Kelautan

Jumat, 05 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Tim 9 menggelar aksi damai serentak di tiga kota untuk mendesak pemerintah meratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. 

Miniatur kapal sepanjang tiga meter berwarna biru dan corong hitam dengan nama KM Derita Nelayan terlihat berada di depan Patung Arjuna Wijaya (Patung Kuda), Jakarta, pada Rabu (3/4/2024) pagi. Seorang aktivis melakukan aksi teatrikal sebagai awak kapal yang terjerat di dalam jaring kapal, beberapa rekan lainnya membentang berbagai poster berisi pesan perlindungan bagi nelayan. 

Aksi serupa juga berlangsung di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, dan Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. 

Tiga aksi damai itu dilakukan untuk menyambut Hari Nelayan Nasional pada 6 April mendatang. Aksi diinisiasi oleh Tim 9, koalisi informal sejumlah individu dengan beragam latar belakang, dari elemen serikat pekerja, asosiasi perikanan, perusahaan perekrut awak kapal, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil. 

Aksi Tim 9 menggelar aksi damai serentak di Patung Arjuna Wiwaha, Jakarta pada Rabu (3/4/2024). Foto: Tim 9

Mereka mendesak Presiden Joko Widodo segera meratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Konvensi yang diterbitkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2007 tersebut secara khusus mengatur standar perlindungan bagi para pekerja di sektor perikanan.

Koordinator Tim 9, Syofyan, mengatakan Hari Nelayan Nasional merupakan momen yang tepat untuk terus menyuarakan perbaikan kesejahteraan bagi nelayan, khususnya yang menjadi awak kapal perikanan domestik maupun migran. Menurutnya nelayan tidak dilindungi dengan jaminan sosial, aturan standar upah minimum, dan justru menderita dengan sistem bagi hasil yang tidak adil bagi nelayan.

“Bertepatan Hari Nelayan Nasional tahun ini, kami mendesak Presiden Joko Widodo segera meratifikasi Konvensi ILO 188 agar standar pelindungan nelayan dan awak kapal di Indonesia lebih jelas dan lebih baik,” kata Syofyan saat aksi berlangsung.

Perwakilan Tim 9, Fikerman Saragih, menyebutkan banyak masalah krusial yang dialami oleh nelayan di Indonesia. Masalah ini menjadi ironi dari jargon Indonesia sebagai negara maritim. 

Pertama, kata Fikerman, tidak adanya jaminan pelindungan atas wilayah penangkapan nelayan kecil dan tradisional oleh negara, sehingga memicu kompetisi antara nelayan kecil dengan nelayan besar dan/atau industri. Kedua, minimnya pengakuan identitas perempuan nelayan. Padahal, pengakuan tersebut dibutuhkan guna memperkuat pelindungan terhadap mereka. 

Ketiga, saat ini kebijakan pemerintah berorientasi pada jaminan dan kepastian hukum untuk investasi, akan tetapi tidak pelindungan dan keberlanjutan ekologi di wilayah pesisir, perairan laut, dan pulau-pulau kecil. 

“Tim 9 mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi K-188 serta menjalankan mandat UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Dengan diratifikasinya K-188 dan implementasi UU 7/2016, pemerintah sudah maju satu langkah untuk melindungi nelayan dan AKP, serta menerapkan pelindungan hak asasi manusia dan pemenuhan hak-hak pekerja perikanan sebagai apresiasi pejuang protein bangsa,” katanya.

Perwakilan Tim 9 lainnya, Sihar Silalahi, melihat ada beberapa masalah penting yang perlu diperhatikan negara karena berpengaruh terhadap ekosistem ruang hidup nelayan. Salah satunya praktik illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing, yang jika tidak ditangani secara serius akan berujung pada overfishing dan  berdampak kepada kehidupan nelayan.

Menurutnya keterbukaan sejumlah informasi selama ini kerap dimonopoli oleh pemerintah. Salah satunya soal posisi kapal perikanan melalui Vessel Monitoring System (VMS) yang sulit diakses oleh publik. Ada juga minimnya informasi mengenai kejahatan perikanan di masa lalu dan hukuman yang diberikan kepada pelanggar juga belum dirilis ke publik.

“Informasi mengenai kepemilikan setiap kapal perikanan juga tidak bersifat publik, sehingga pengawasan tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas adanya kapal yang melakukan praktik penangkapan ilegal masih minim. Hal-hal inilah yang sangat berdampak bagi kehidupan nelayan di Indonesia,” tambah Sihar.