Capaian ISPO Rendah, Hanya Mencapai 37%

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Selasa, 02 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Realisasi program sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, saat ini lahan perkebunan kelapa sawit yang telah memiliki sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) mencapai 5,68 juta hektare. Angka tersebut hanya 37% dari total luas lahan sawit Indonesia yang mencapai 16,38 juta hektare.

Sertifikasi ISPO merupakan program mandatori yang berlaku sejak 2019 melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Program ini berlaku bagi perusahaan perkebunan skala besar sejak berlakunya Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Sementara itu bagi pekebun diberikan waktu lima tahun hingga 2024. 

“Capaian sertifikasi ISPO tahun 2019-2024 mencapai 1.050 sertifikat untuk luasan 5,68 juta ha,” kata Direktur Jenderal Perkebunan Andi Nur Alamsyah dalam Rapat Koordinasi Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan yang turut diadakan secara daring, Sabtu, 30 Maret 2024. 

Andi mengatakan, capaian sertifikasi tersebut terdiri dari 969 perusahaan dan 81 kelembagaan pekebun. Untuk meningkatkan perkebunan berkelanjutan, pemerintah menargetkan sertifikasi ISPO untuk perusahaan seluas 5 juta hektare dan 3,9 juta hektare untuk pekebun atau sawit rakyat. 

Tandan buah segar yang baru dipanen di pinggir jalan kebun sawit rakyat di kampung Sungai Enau, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Dok Kennial Laia/Betahita

Dalam penerapan ISPO, pemerintah telah melakukan revisi Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi ISPO yang menggabungkan sektor hulu dan hilir dengan melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.  

“Selain regulasi juga akan dilakukan beberapa kegiatan seperti penguatan kelembagaan pekebun, pembiayaan pekebun untuk peremajaan sawit, pengembangan untuk peremajaan sawit rakyat dan sertifikasi ISPO, serta kemitraan perusahaan dan pekebun yang didukung oleh pihak terkait,” ujar Andi. 

“Di sisi lain kolaborasi dengan kementerian lain dan pemerintah daerah terus kita harapkan untuk kita tingkatkan,” kata Andi. 

Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kelapa sawit merupakan komoditas strategis yang menjadi andalan ekspor dengan kontribusi senilai US$ 2,304 miliar per Januari 2024. 

Menurut Airlangga, kebijakan ISPO bertujuan untuk akselerasi sertifikasi berkelanjutan untuk usaha skala besar dan perkebunan sawit. Di sisi lain program tersebut menjadi upaya pemerintah dalam memenuhi standar global seperti Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang resmi berlaku pada 16 Mei 2023. 

“Peraturan telah direvisi, sehingga ISPO turut mencakup ketelusuran dari rantai pasok minyak sawit dengan menggunakan konsep hilirisasi. Ini penting karena menjadi respons terhadap kebijakan EUDR,” kata Airlangga. 

Selain sertifikasi ISPO, pemerintah turut menyoroti percepatan dan penguatan sawit rakyat melalui program peremajaan sawit rakyat. Hingga saat ini dana yang disalurkan untuk program ini adalah Rp9,25 triliun melalui Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. 

“Rata-rata kita baru mencapai sekitar 50 ribu per tahun atau kurang dari 30 persen dari yang dicanangkan presiden yakni 180 ribu hektare per tahun,” kata Airlangga. 

Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan meningkatkan dana PSR dari Rp30 juta menjadi Rp60 juta per hektare. 

“Kita berharap dengan kenaikan biaya ini dapat membantu biaya atau penghidupan para pekebun tidak hanya di tahun pertama, tetapi juga tahun kedua dan ketiga,” kata Airlangga.