Hanya 7 dari 134 Negara yang Penuhi Standar Kualitas Udara WHO

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Rabu, 20 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Saat ini hanya tujuh negara yang memenuhi standar kualitas udara internasional yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menurut sebuah laporan terbaru. Selain itu polusi udara yang mematikan semakin parah di beberapa tempat akibat pulihnya aktivitas ekonomi dan dampak racun dari asap kebakaran hutan. 

Dari 134 negara dan wilayah yang disurvei dalam laporan ini, hanya tujuh – Australia, Estonia, Finlandia, Grenada, Islandia, Mauritius, dan Selandia Baru – yang memenuhi batasan pedoman WHO untuk partikel kecil di udara yang dikeluarkan oleh mobil, truk, dan industri.

Laporan itu menemukan, sebagian besar negara gagal memenuhi standar PM2.5, sejenis jelaga mikroskopis yang berukuran kurang dari lebar rambut manusia. Jika terhirup, partikel ini dapat menyebabkan banyak sekali masalah kesehatan dan kematian, serta menimbulkan dampak serius bagi manusia, menurut laporan yang disusun oleh IQAir. Organisasi asal Swiss yang meneliti kualitas udara yang mengambil data dari lebih dari 30.000 stasiun pemantauan di seluruh dunia.

Meskipun udara dunia secara umum jauh lebih bersih dibandingkan abad-abad yang lalu, masih ada tempat-tempat yang tingkat polusinya sangat berbahaya. Negara yang paling berpolusi, Pakistan, memiliki tingkat PM2.5 14 kali lebih tinggi dibandingkan standar WHO, menurut laporan tersebut. India, Tajikistan, dan Burkina Faso menyusul sebagai negara paling berpolusi.

Polusi udara di kota besar China. Dok China Power Project

Namun bahkan di negara-negara kaya dan berkembang pesat, kemajuan dalam mengurangi polusi udara masih terancam. Kanada, yang sudah lama dianggap sebagai salah satu negara dengan udara terbersih di dunia barat, menjadi negara dengan jumlah PM2.5 terburuk pada tahun lalu karena rekor kebakaran hutan yang melanda negara tersebut, yang menyebabkan gas beracun menyebar ke seluruh negeri dan ke Amerika Serikat.

Sementara itu, di Tiongkok, peningkatan kualitas udara dipersulit tahun lalu karena kembali pulihnya aktivitas ekonomi pasca pandemi Covid-19. Laporan IQAir tersebut menemukan terjadi peningkatan tingkat PM2.5 sebesar 6,5% di negara tersebut. 

“Sayang sekali segalanya berjalan mundur,” kata Glory Dolphin Hammes, kepala eksekutif IQAir Amerika Utara, Selasa, 19 Maret 2024.  “Ilmu pengetahuan sudah cukup jelas mengenai dampak polusi udara, namun kita terbiasa memiliki latar belakang tingkat polusi yang terlalu tinggi untuk menjadi sehat. Kita tidak melakukan penyesuaian dengan cukup cepat,” ujarnya. 

Polusi udara diperkirakan membunuh 7 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia, lebih tinggi dibandingkan angka kematian akibat AIDS dan malaria. Beban ini paling berat dirasakan di negara-negara berkembang yang bergantung pada bahan bakar kotor untuk pemanasan, penerangan, dan memasak di dalam ruangan.

Polusi udara diperkirakan membunuh 7 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia, lebih tinggi dibandingkan angka kematian akibat AIDS dan malaria.

Daerah perkotaan yang paling berpolusi di dunia tahun lalu adalah Begusarai di India, menurut laporan tahunan IQAir yang keenam, dan India merupakan salah satu dari empat kota paling berpolusi di dunia. Namun, sebagian besar negara berkembang, khususnya negara-negara di Afrika, tidak memiliki pengukuran kualitas udara yang dapat diandalkan.

WHO menurunkan pedoman tingkat PM2.5 yang “aman” pada 2021 menjadi lima mikrogram per meter kubik. Dengan pedoman ini banyak negara, seperti negara-negara di Eropa yang telah melakukan pembersihan udara secara signifikan dalam 20 tahun terakhir, gagal.

Namun pedoman yang lebih ketat ini mungkin tidak sepenuhnya mencakup risiko polusi udara yang berbahaya. Penelitian yang dirilis oleh para ilmuwan AS bulan lalu menemukan bahwa tidak ada tingkat PM2.5 yang aman, bahkan paparan terkecil pun dikaitkan dengan peningkatan rawat inap karena kondisi seperti penyakit jantung dan asma.

Hammes mengatakan bahwa negara-negara harus bertindak untuk menjadikan kota mereka lebih nyaman untuk dilalui dengan berjalan kaki dan tidak terlalu bergantung pada mobil, mengubah praktik kehutanan untuk membantu mengurangi dampak asap kebakaran hutan, dan bergerak lebih cepat untuk memanfaatkan energi ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil. 

“Kita berbagi atmosfer dengan semua orang di dunia dan kita perlu memastikan bahwa kita tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain di tempat lain,” katanya.

“Pada 2023 polusi udara masih menjadi bencana kesehatan global. Kumpulan data global IQAir memberikan pengingat penting akan ketidakadilan yang diakibatkannya dan perlunya menerapkan banyak solusi yang ada untuk masalah ini,” kata Farrow.