LIPUTAN KHUSUS:
Raksasa Kayu Bangun PLTU di Pulau Kecil Tarakan, Gak Bahaya Ta?
Penulis : Aryo Bhawono
PT Phoenix Resources International, yang terhubung dengan RGE, membangun PLTU Captive di kompleks pabrik kayu di Tarakan. Demi pengadaan listrik untuk mengolah kayu, warga dalam bahaya.
PLTU
Kamis, 29 Februari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Bangunan cerobong berkelir warna merah dan putih berdiri tegak di pesisir Pulau Tarakan, Kalimantan Utara. Hasil penelusuran menemukan bangunan itu merupakan cerobong PLTU yang berada di dalam komplek pabrik kayu PT Phoenix Resources International (PRI).
Dari penelusuran melalui google map, cerobong tersebut berada dalam kompleks pabrik kayu milik PT PRI yang juga dalam proses pembangunan.
Dokumen Layanan Persetujuan di Bidang Pengelolaan Limbah B3 yang diajukan PT PRI kepada Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan perusahaan itu mengajukan Persetujuan Teknis di Bidang Pengelolaan Limbah B3l dengan kode limbah B409, B410, B411, B412.
B049 dan B410 adalah fly ash dan bottom ash, limbah proses pembakaran batubara pada fasilitas pembangkitan listrik tenaga uap (PLTU), boiler, dan tungku industri.
Tangkapan layar Persetujuan Teknis di Bidang Pengelolaan Limbah B3 PT PRI. Kredit: Auriga Nusantara
Penelusuran lebih lanjut menyebutkan kapasitas listrik yang diproduksi PLTU itu mencapai 2x150 megawatt (MW). Jenis PLTU yang dibangun adalah biomass co-ombust on captive power plant. Meski menggunakan penggunaan bahan bakar campuran biomassa dan batu bara (co-firing), produksi listrik hanya akan digunakan untuk perusahaan saja.
Kapasitas ini timpang dengan pasokan listrik untuk Kota Tarakan. Data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan beban puncak listrik di Tarakan hanya mencapai 46 MW. Namun kota itu mengalami defisit karena pasokan listrik hanya 43 MW, ada defisit sekitar 3,5 MW atau minus 7,5 persen.
PLN sendiri membatalkan pembangunan PLTU di pulau itu pada 2021. Rencananya mereka hendak membangun PLTU dengan kapasitas 2X7 MW.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Parid Ridwanuddin mengungkapkan pulau kecil dengan kepadatan tinggi seperti Tarakan, tidak layak dibangun PLTU apalagi industri.
“Pulau kecil memiliki daya dukung dan daya tampung terbatas sehingga tidak bisa diperlakukan seperti pulau besar,” ucapnya ketika berbincang melalui telepon pada Rabu (28/2/2024).
Kota Tarakan yang terdiri dari dua pulau, yaitu Pulau Tarakan dan Pulau Sadau hanya memiliki luas 254,18 km2. Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah penduduk kota itu pada September 2020 mencapai 247.786 jiwa. Kepadatan penduduk kota itu mencapai 986 jiwa per km2.
Analisis citra satelit menunjukkan cerobong itu hanya berjarak sekitar 1,5 km dari pemukiman terdekat, perumahan Juatai Permai.
Tangkapan layar Jarak PLTU Captive PT PRI dengan pemukiman di Tarakan, Kalimantan Utara. Kredit foto: Auriga Nusantara
Tingkat kepadatan penduduk dan jarak yang terlampau dekat dengan pemukiman ini menunjukkan keberadaan PLTU ini berisiko bagi kesehatan masyarakat. Penelitian sebelumnya di Cilacap menemukan, pola Persebaran Partikulat PLTU Di Desa Karangkandri, Cilacap menunjukkan cerobong asap PLTU memiliki dampak persebaran hingga 4 km.
Lebih lanjut meski dilabeli energi baru dengan co-firing, namun emisi yang dihasilkan oleh PLTU itu diperkirakan masih besar. Menurut Farid, co-firing merupakan bagian dari solusi palsu atas krisis iklim.
Peta jalan PLN memiliki target memberlakukan co-firing hingga 10 persen di 52 PLTU dan 30 di seluruh PLTU baru. PLN mengklaim sejak 2020 hingga Juni 2023 sebanyak 41 PLTU sudah melakukan co-firing dan menekan emisi gas rumah kaca sekitar 1.446.323 ton CO2 dengan kesetaraan green energy sebesar 1.313.759 MWh.
Namun kajian Trend Asia menyebutkan hilir karbon emisi produksi biomassa tetap terjadi. Dengan perhitungan, penerapan co-firing 10% biomassa pada 107 PLTU berpotensi menghasilkan total emisi hingga 26,48 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun.
Emisi dari pembakaran wood pellet sebesar 668.869 ton adalah 1.188.160 juta ton emisi setara karbon. Emisi dari pembakaran berbagai jenis biomassa padat lain sejumlah 668.869 ton : 790.397 ton emisi setara karbon.
“Artinya PLTU di Tarakan itu tetap menghasilkan emisi besar,” kata Parid.
Laku serampangan pembangunan pabrik kayu
Pemberitaan Betahita mencatat pembangunan pabrik kayu PT PRI di Tarakan sendiri terkesan serampangan. Pertama, Peta Interaktif Sistem Geospasial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SIGAP KLHK) mencatat pembangunan kompleks pabrik kayu itu dilakukan di kawasan mangrove.
Mereka membabat mangrove dan melakukan reklamasi untuk pabrik pulp dengan produksi sebanyak 1.700.000 ton/tahun.
Kedua, proses pembangunan pabrik kayu mendapat keluhan warga karena aktivitas pengangkutan bahan urugan reklamasi melalui jalan umum. Aktivitas galian C untuk keperluan pembangunan menimbulkan dampak polusi, lingkungan, dan kenyamanan pengguna jalan. Kasus kecelakaan kendaraan beberapa kali dilaporkan oleh masyarakat
Ketiga, pembangunan dilakukan sebelum proses perizinan selesai. Saat konsultasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bulan Maret 2023 lalu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tarakan mempersoalkan landas izin mengenai aktivitas PT PRI di lahan PT TCM.
Surat Arahan Perubahan Persetujuan Lingkungan KLHK tertanggal 5 Oktober 2021 No. 1410/DALUK/P2T/PLA-4/10/2021 menyebutkan untuk melakukan kegiatan maka harus mengajukan permohonan Persetujuan Lingkungan dengan kewajiban menyusun AMDAL kepada menteri.
Pembangunan pabrik kayu milik PT Phoenix Resource International di kawasan mangrove di Kota Tarakan, , Kaltara. Kredit Foto: Istimewa
RGE, sang raksasa di balik PT PRI
Direktur Hutan Auriga Nusantara, Supintri Yohar, menyebutkan laju pembangunan pabrik itu tak terbendung meski ada konflik masyarakat maupun perizinan. Terkini pembangunan PLTU sendiri seperti berjalan senyap. Ia menyebutkan ada raksasa kayu di belakang perusahaan itu.
Laporan Auriga Nusantara berjudul ‘Babat Kalimantan: Deforestasi di rantai pasok Royal Golden Eagle (RGE Group) dan kaitan RGE dengan pabrik pulp baru di Kalimantan Utara’ menyebutkan keterhubungan PT PRI dengan RGE, raksasa kayu.
PT PRI merupakan entitas sepengendali dengan PT Balikpapan Chip Lestari (BCL) dan RGE. Perusahaan itu didirikan pada 2 Juni 2021 dengan alamat terdaftar di Kota Tarakan di Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia. Rantai kepemilikan perusahaan tersebut mengarah kepada perusahaan induk di Kepulauan Cayman, pusat keuangan offshore tempat identitas pemegang saham perusahaan tersebut tidak dapat diakses oleh publik.
Pemegang saham mayoritas PT PRI adalah Chung Hua United Resources Sdn Bhd, perusahaan yang didirikan di Malaysia pada 5 April 2021. Pemegang saham minoritas Phoenix, Chung Hua United Capital Sdn Bhd, dimiliki oleh pemegang saham mayoritas. Pemegang saham mayoritas, pada gilirannya, berada di bawah kepemilikan Phoenix Resources Holdings Ltd, perusahaan yang didirikan di Kepulauan Cayman pada 20 Mei 2021.
Galian C untuk keperluan pembangunan pabrik kayu PT Phoenix Resource International di Tarakan, Kalimantan Utara. Kredit Foto: Istimewa
Pemegang saham terdaftar dari perusahaan di Kepulauan Cayman tidak dapat diidentifikasi dalam dokumen yang tersedia untuk publik, tetapi beberapa detail perusahaan menunjukkan kaitan Phoenix dengan pabrik serpih kayu, PT Balikpapan Chip Lestari (BCL), dan keterlibatan RGE.
Selain itu terdapat direksi dan manajemen PT PRI yang terdata pernah menjabat di PT BCL Balikpapan dan beberapa perusahaan di bawah RGE Group. Lokasi kantor PT PRI pun sama dengan PT BCL, perusahaan yang memiliki pabrik kayu serpih di Kalimantan Timur. Hal ini mengindikasikan kedua perusahaan tersebut berada di bawah kendali yang sama.
“Relasi-relasi ini yang kami temukan dan mengindikasikan keterhubungan antara PT PRI dengan RGE. Patut diduga kekuatan raksasa sebesar RGE ini yang membuat mereka melenggang meski ada hambatan lingkungan, sosial, maupun perizinan,” ucap dia.