LIPUTAN KHUSUS:

Walhi Jatim: Tata Ruang Jatim Undang Kiamat Ekologi


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

RTRW Provinsi Jatim yang memfasilitasi pertambangan, hanya akan mengundang kiamat ekologi di masa akan datang

Tambang

Jumat, 02 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Provinsi Jawa Timur (Jatim) dinilai sangat rentan terhadap ancaman kiamat ekologis. Sebab rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi tersebut memfasilitasi kegiatan ekstraktif, terutama pertambangan, yang menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim, hana akan mengundang bencana di masa akan datang.

Dalam keterangan resminya, Walhi Jatim menyebut, konsesi pertambangan di Jatim tersebar hampir di seluruh wilayah, baik kawasan pesisir utara, kawasan hutan dan pesisir selatan. Berdasarkan data dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jatim, pada 2012 jumlah izin usaha pertambangan (IUP) di provinsi tersebut sekitar dari 378 unit, lalu menjadi 347 unit pada 2016. Kemudian pada 2017 meningkat menjadi 379 unit, lalu menurun menjadi 376 unit pada 2018.

Walhi Jatim menyebut, jumlah IUP ini akan bertambah, bila merujuk pada data Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang sejak 2018 tercatat sebanyak 268 unit izin. Walhi Jatim meyakini, apabila izin tambang semakin naik dan akan luasannya semakin bertambah. Luasan pertambangan di Jatim kurang lebih mencapai 500 ribu-600 ribu hektare, baik sifatnya sudah IUP operasi produksi, eksplorasi maupun proses penetapan wilayah pertambangan.

"Melihat hal ini tentu kami menilai penting untuk menyoroti dan menyuarakan persoalan semakin meningkat dan meluasnya industri ekstraktif di Jawa Timur, baik yang legal maupun ilegal," kata Wahyu Eka Styawan, Direktur Walhi Jatim, Senin (29/5/2023).

Tampak perumahan warga terendam akibat semburan lumpur panas PT Lapindo./Foto: Daniel Stephanus

Wahyu menyebut, isi Rancangan Perda Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Timur sangat mengkhawatirkan. Sebab pihaknya menemukan potensi peningkatan jumlah tambang, terutama di kawasan hutan yang tentunya difasilitasi melalui perencanaan tata ruang. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 12 Perda RTRW Provinsi Jawa Timur, yang menyebut pertambangan dikategorikan sebagai kawasan budidaya.

Hal ini, menurut Wahyu, berbahaya, sebab tambang adalah kegiatan ekstraksi yang mengeruk saripati bumi, sementara budidaya secara definisi adalah sebuah upaya yang terencana untuk memelihara dan mengembang-biakan tanaman atau hewan supaya tetap lestari sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan. Parahnya tidak hanya tambang, perumahan, infrastruktur dan pertahanan keamanan dimasukkan dalam kategori ini.

Selanjutnya, pada Pasal 74 paragraf ke-5 menunjukkan, hampir semua wilayah di Jatim adalah kawasan pertambangan mineral, logam, minyak, gas dan panas bumi. Perencanaan ruang ini juga tumpang tindih dengan Pasal 71 tentang pangan dan Pasal 72 tentang pengembangan holtikultura. Selain itu penetapan ruang pertambangan juga tumpang tindih dengan Pasal 54 tentang rencana kawasan lindung, Pasal 55 tentang kawasan lindung, Pasal 56 tentang kawasan perlindungan setempat dan Pasal 57 tentang konservasi.

"Sebagai contoh di Trenggalek, pemerintah mengeluarkan IUP tambang untuk PT SMN, tetapi lokasinya berada dalam kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan rakyat dan kawasan lindung karst. Selain itu juga beririsan dengan kawasan mata air, permukiman dan pesisir," ujar Wahyu.

Wahyu menjelaskan, membaca pola ruang di Jatim yang terbaru, IUP PT SMN tumpang tindih dengan kawasan budidaya perikanan, kawasan wisata, kawasan lindung dan konservasi. Hal yang sama juga terlihat pada keberadaan IUP PT Bumi Suksesindo dan PT Damai Suksesindo di Banyuwangi, yang terdapat tumpang tindih, serta parahnya berbatasan langsung dengan Taman Nasional Meru Betiri.

Walhi Jatim, kata Wahyu, juga menemukan kecacatan tata ruang di Jatim, pada Pasal 121 dan Pasal 122 Perda tersebut memfasilitasi kegiatan pertambangan di kawasan hutan, termasuk hutan lindung. Lalu dipertegas dalam Pasal 132 dalam arahan zonasi pertambangan dan energi terutama pada poin ke-4 dan ke-5, diizinkan pengembangan kawasan pertambangan bersama penelitian dan pengembangan infratruktur.

"Tentu ini rancu dan bias, sehingga membuka keran eksploitasi ekstraktif di semua tempat, tidak terkecuali kawasan lindung. Membaca bagaimana tata ruang Jatim memfasilitasi industri ekstraktif adalah sama saja dengan mengundang kiamat ekologis. Karena semua ruang dikeruk, dihancurkan tanpa melihat keberlanjutan kawasan dan generasi yang akan datang," hemat Wahyu.

Selain itu perluasan industri ektraktif tidak berkaca pada krisis ekologis yang disebabkan oleh tambang, sebagaimana yang terjadi di Porong, Sidorajo. Semburan lumpur akibat tambang migas sampai saat ini masih menyembur, meninggalkan jejak luka dan trauma pada warga. Karena mereka harus terusir dari kampung tercintanya dan hidup dalam penuh kerentanan.

Wahyu berpendapat, sampai saat ini industri ekstraktif terutama pertambangan adalah yang paling brutal dan telah banyak memicu konflik sosial. Di Banyuwangi, warga bernama Budi Pego yang menyuarakan tolak tambang emas Tumpang Pitu mengalami kriminalisasi dengan dituduh seorang komunis, parahnya yang melaporkan kasus tersebut adalah orang tambang.

"Saat ini Budi Pego mendekam di penjara setelah sempat digantung nasibnya selama 3 tahun lebih, terutama pasca putusan kasasi MA (Mahkamah Agung)yang cacat dengan memberatkan hukuman Budi Pego. Perlu diketahui Budi Pego divonis bersalah tanpa bukti, sebab spanduk yang dituduhkan secara misterius hilang," ungkap Wahyu.

Masih di Banyuwangi, imbuh Wahyu, 3 orang warga Alasbuluh melakukan protes karena kampungnya rusak akibat dilewati kendaraan tambang Galian C, bukannya didengar oleh Pemerintah Banyuwangi. Tiba-tiba mereka dilaporkan perusahaan, lalu ditahan dan diadili. Ketiganya divonis bersalah dan dijatuhi hukum 3 bulan penjara. Namun pada 2023 ini ketiganya bisa bernafas lega sebab MA mengabulkan kasasi 3 warga ini dan diputus tidak bersalah.

"Situasi serupa juga terjadi di Bojonegoro, bahkan proses hukum masih berlanjut ada beberapa warga yang dikriminalisasi perusahaan ketika protes penolakan tambang," katanya.

Catatan-catatan tambang ini, kata Wahyu, melengkapi betapa industri ekstraktif memiliki banyak dampak dan turut meningkatkan ancaman kerusakan lingkungan hingga konflik sosial. Selain itu industri ekstraktif adalah salah satu penyumbang emisi yang besar, karena mengeruk tanah yang merupakan carbon storage (penyimpan) dan membabat hutan serta lahan hijau yang menjadi carbon sequestration (pengikat). Profit ekonomi yang didapatkan tidak seberapa, itu pun larinya ke segelintir orang, tetapi dampaknya luas dan bersifat jangka panjang.

"Pada Hari Anti Tambang (Hatam) 2023 ini, kami tidak bosan mengingatkan betapa bahayanya industri ekstraktif, serta menunjukkan bagaimana political will dari pemerintah melalui kebijakan dan regulasi yang semakin beringas dengan memperluas kawasan pertambangan bahkan di kawasan esensial seperti hutan lindung. Tentu lambat laun proyek ekonomi ekstraktif ini akan mengundang bencana dan parahnya membuka gerbang kiamat ekologis di Jawa Timur. Lalu bagaimana nasib generasi yang akan datang jika semua tempat dikeruk?"

Terakhir Wahyu mengajak segenap elemen masyarakat Jatim untuk turut menyuarakan penolakan terhadap Perda RTRW Provinsi Jawa Timur serta mendorong pencabutan UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Sekaligus mendesak Pemerintah Indonesia untuk menghentikan semua kegilaan yang mengancam kehidupan warga Indonesia, khususnya Jatim, di masa yang akan datang dengan menghentikan pemberian izin baru serta melakukan evaluasi izin tambang, sekaligus menagih janji komitmen pemerintah dalam upaya melawan perubahan iklim.