LIPUTAN KHUSUS:

Peneliti: Bumi Sedang Hadapi Gelombang Keenam Kepunahan Spesies


Penulis : Tim Betahita

Penulis studi mencatat bahwa upaya konservasi mengalami sejumlah keberhasilan dan menyelamatkan hewan tertentu. Namun itu tidak mengubah kondisi kepunahan.

Biodiversitas

Selasa, 01 Februari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Tim dari University of Hawai’i di Mānoa dan Muséum National d’Histoire Naturelle di Paris, Prancis dalam studinya yang dirilis Biological Reviews pada 10 Januari lalu menyebutkan kalimat bersiap untuk gelombang kepunahan massal ke enam bagi spesies bumi. Bukan komet atau bencana alam, kepunahan kali ini disebabkan oleh manusia, begitu mereka tegaskan dalam penelitiannya.

Secara khusus, penelitian mereka mengungkapkan bahwa 7,5 persen hingga 13% dari dua juta organisme hidup berbeda yang menghuni planet ini kini telah punah. Sekitar 150 ribu hingga 260 ribu spesies di darat, laut, atau udara tidak ditemukan lagi pada tahun 2022.

“Tingkat kepunahan spesies yang meningkat drastis dan penurunan kelimpahan banyak populasi hewan dan tumbuhan didokumentasikan dengan baik, namun beberapa menyangkal bahwa fenomena ini sama dengan kepunahan massal,” kata penulis utama studi ini, Robert Cowie, Profesor Riset di UH Mānoa Pacific Biosciences Research Center.

Disebutkannya, penyangkalan ini didasarkan pada penilaian yang sangat bias terhadap krisis yang berfokus pada mamalia dan burung dan mengabaikan invertebrata, yang tentu saja merupakan mayoritas besar keanekaragaman hayati. “Termasuk invertebrata adalah kunci untuk mengkonfirmasi bahwa kita memang menyaksikan awal Kepunahan Massal Keenam dalam sejarah Bumi,” kata Cowie.

Sebuah laporan CSIRO baru tentang spesies invasif telah menemukan bahwa Australia dapat menghadapi gelombang kepunahan spesies asli tanpa tindakan segera terkait masalah ini. Foto: Hugh Mcgregor

Studi ini mencatat bahwa peristiwa kepunahan massal ini mempengaruhi kehidupan di darat pada tingkat yang berbeda daripada di lautan. Di darat, tim menemukan spesies pulau berada pada risiko kepunahan yang lebih tinggi daripada di benua yang lebih besar. Juga, tanaman tampaknya lebih tahan terhadap kepunahan daripada hewan.

Para peneliti percaya bahwa penolakan fakta bahwa Bumi sudah mengalami peristiwa kepunahan massal adalah masalah besar. Sama halnya seperti penolakan terhadap perubahan iklim dan ilmu pengetahuan.

Selain itu, tim mengklaim bahwa banyak orang akan menerima peristiwa ini sebagai perjalanan alami dari evolusi planet dan tidak berusaha untuk mengubahnya. Bagi sebagian orang, mereka memandang manusia hanya sebagai spesies lain dalam sejarah Bumi yang memiliki sedikit kemampuan untuk mengubah kesehatan planet secara keseluruhan.

Apakah ini benar? “Manusia adalah satu-satunya spesies yang mampu memanipulasi biosfer dalam skala besar. Kita bukan hanya spesies lain yang berevolusi dalam menghadapi pengaruh eksternal. Sebaliknya, kita adalah satu-satunya spesies yang memiliki pilihan sadar mengenai masa depan kita dan keanekaragaman hayati Bumi,” ujar Cowie.

Penulis studi mencatat bahwa upaya konservasi mengalami sejumlah keberhasilan dan menyelamatkan hewan tertentu. Sayangnya, upaya ini tidak dapat menyelamatkan setiap spesies di Bumi dan para peneliti percaya itu tidak akan mengubah tren kepunahan massal keenam yang sedang berlangsung saat ini.

Meskipun menghadapi perjuangan berat, para peneliti mengatakan masih penting untuk mencegah kepunahan sebanyak mungkin spesies dan mendokumentasikan keragaman planet ini sebelum menghilang selamanya.

“Terlepas dari retorika tentang gawatnya krisis, dan meskipun solusi perbaikan ada dan menjadi perhatian para pembuat keputusan, jelas bahwa kemauan politik masih kurang,” ujar Cowie menyimpulkan.

“Menyangkal krisis, menerimanya tanpa bereaksi, atau bahkan mendorongnya merupakan hal tak bertanggung jawab umat manusia dan membuka jalan bagi Bumi untuk melanjutkan lintasannya yang menyedihkan menuju Kepunahan Massal Keenam, katanya.

Peneliti MIT berpendapat sama

Setidaknya lima kepunahan massal telah terjadi di masa lalu, didorong oleh fenomena alam dan kosmik. Para ilmuwan memperkirakan hingga 99,9 persen dari semua kehidupan, tumbuhan dan hewan, telah musnah. Kepunahan terbaru, yang disebut Kepunahan Tersier Kapur, terjadi sekitar 66 juta tahun yang lalu ketika asteroid pembunuh menghantam planet ini di lepas pantai Meksiko modern.

Tidak hanya kepunahan Kapur yang secara tiba-tiba mengakhiri kekuasaan dinosaurus, tetapi juga memusnahkan hingga 75 persen dari semua kehidupan di Bumi pada tahap itu. Banyak ilmuwan khawatir nasib serupa bisa menunggu umat manusia di masa depan dan yang lebih mengkhawatirkan, manusia mungkin memiliki andil dalam kematian planet ini.

Menurut ahli geofisika MIT Daniel Rothman, aktivitas manusia berpotensi mengganggu siklus karbon global dan memicu bencana ekologis selama 10.000 tahun. Rothman sebelumnya telah berbicara tentang ramalannya yang mengerikan, yang dia klaim bisa terjadi pada akhir abad ini.

Dalam satu studi yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances, Rothman menganalisis perubahan siklus karbon selama 540 juta tahun terakhir, termasuk lima kepunahan massal terakhir. Dia menggunakan ini untuk menentukan ambang kapasitas dalam siklus karbon, di luar itu dia percaya kondisi di Bumi menjadi terlalu tidak stabil untuk menopang kehidupan.

Berdasarkan penelitiannya, Profesor Rothman mengklaim Bumi bisa memasuki wilayah yang tidak diketahui pada 2100, yang menyebabkan bencana di seluruh planet yang bisa berlangsung hingga 10.000 tahun. Dia mengulangi keprihatinannya dalam sebuah wawancara baru dengan The Times of Israel.

"Setiap kali ada peristiwa besar dalam sejarah kehidupan, ada juga gangguan besar terhadap lingkungan. Hal-hal ini cenderung menyatu," katanya, dilansir dari Express.

Siklus karbon adalah proses pergerakan karbon antara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer planet ini. Bersama dengan siklus air dan siklus nitrogen, proses ini adalah kunci untuk mempertahankan kehidupan di Bumi.

Ilmuwan MIT ini prihatin dengan jumlah karbon yang disimpan ke lautan sebagai akibat dari emisi gas rumah kaca buatan manusia. Terlalu banyak karbon di lautan membuat air menjadi terlalu asam dan berpotensi tidak ramah bagi banyak spesies.

Menurut Rothman, setidaknya empat dari lima kepunahan massal masa lalu telah dikaitkan dengan peningkatan laju perubahan siklus karbon. Dia percaya manusia memompa terlalu banyak karbon ke atmosfer, lebih cepat daripada peristiwa geologis masa lalu dan dalam skala waktu yang jauh lebih singkat.

Profesor Rothman memperkirakan ambang batas karbon di lautan adalah sekitar 300 gigaton per abad. Sayangnya, beberapa perkiraan menunjukkan bahwa Bumi berada di jalur yang tepat untuk menambah hingga 500 gigaton pada tahun 2100.