LIPUTAN KHUSUS:

Deforestasi Penyebab Banjir Sintang juga Terjadi pada Masa Jokowi


Penulis : Aryo Bhawono

Jokowi sebut kerusakan kawasan tangkapan hujan bertahun-tahun menjadi penyebab menyebabkan banjir Sintang, termasuk perusakan di masa pemerintahannya sendiri.

Ekosistem

Rabu, 17 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Presiden Joko Widodo menyebutkan banjir yang tak kunjung surut di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat karena kerusakan catchment area, kawasan tangkapan hujan, selama bertahun-tahun. Kerusakan ini juga terjadi pada masa pemerintahannya dari rentang 2014-2019.

Data Mapbiomas Indonesia mencatat penyusutan tutupan lahan hutan alam atau deforestasi di sembilan kabupaten/kota di daerah aliran sungai (DAS) Kapuas di Kalbar dalam rentang 2014-2019 mencapai 151.517 ha. Luas tutupan kawasan hutan alam pada 2014 mencapai 5.209.673 ha. Sedangkan pada 2019 luas tutupan kawasan hutan alam tersisa 5.058.156 ha.

Sembilan kabupaten/kota di daerah aliran sungai (DAS) Kapuas di Kalbar tersebut antara lain Kapuas Hulu, Sintang, Kubu Raya, Sanggau, Melawi, Landak, Sekadau, Mempawah, dan Pontianak.

Tercatat penambahan tutupan hutan alam hanya terjadi di Kapuas Hulu seluas 10.074 ha. Pada 2014 tutupan hutan alam seluas 2.378.924 ha, luasan ini bertambah menjadi 2.388.998 ha. Tapi pada delapan kabupaten lain terjadi deforestasi.

Mapbiomas Sembilan Kabupaten DAS Kapuas

Peneliti Auriga Nusantara, Yustinus Seno, mengungkap pernyataan Jokowi bahwa terjadi deforestasi selama bertahun-tahun di Kalbar memang benar. Namun angka penurunan tutupan hutan alam ini menjadi catatan penting, pada masa pemerintahan Jokowi sendiri deforestasi terus berjalan. 

“Angka ini menunjukkan bahwa deforestasi di masa Jokowi masih terus terjadi. Ini yang harus diakui dan dihentikan,” ucap peneliti Auriga Nusantara, Yustinus Seno pada Selasa (16/11).

Sebelumnya analisis data Yayasan Auriga Nusantara, setidaknya ada sekitar 357 izin kegiatan usaha berbasis lahan dan hutan yang diterbitkan di DAS Kapuas. Ratusan kegiatan usaha ini disinyalir telah mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi bentang alam signifikan di DAS Kapuas.

Izin perkebunan sawit yang diterbitkan di DAS Kapuas sebanyak 162 izin, dengan total luasan sekitar 1.135.650 ha. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) sebanyak 35 izin dengan total luas sebesar 1.209.056 ha.

Selanjutnya, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA)--dulu disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH)--di DAS Kapuas tercatat ada 16 unit izin dengan luas sekitar 653.355 ha. Jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada di DAS Kapuas sebanyak 144 izin dengan luas sekitar 474.595 ha. 

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar, Nicodemus Ale, menyebutkan deforestasi di Kalbar memang sudah terjadi sejak lama. Laju deforestasi di masa pemerintahan Jokowi sendiri masih terus terjadi. Ia menyayangkan jika presiden sekedar memapar data tersebut tanpa melakukan tindakan dini hingga banjir yang menerjang Kabupaten Sintang bertahan hingga berhari-hari. 

Ia menyebutkan kerusakan lingkungan di kawasan tangkapan air DAS Kapuas ini didorong investasi berdasar hutan dan lahan, serta eksploitasi sumber daya alam. Seharusnya Jokowi, selaku presiden, bisa menekan deforestasi ini.

“Laju deforestasi di masa pemerintahan Jokowi memang tidak sebesar sebelumnya, tetapi faktanya terus terjadi melalui berbagai kewenangan, termasuk kewenangan daerah,” ucap dia ketika dihubungi melalui telepon. 

Ia menyatakan pasca koordinasi dan supervisi KPK terhadap perizinan HTI, pertambangan, dan perkebunan sawit, laju deforestasi dapat ditekan. Namun pemerintah daerah masih terus memperbolehkan pembukaan perkebunan sawit. Pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaga seharusnya dapat menekan hal ini sehingga mencegah ancaman bencana akibat kerusakan ekosistem. 

Data RTRW Provinsi Kalbar sendiri sebelumnya menetapkan dari 14,7 juta ha luas daratan provinsi ini hanya seluas 6,4 juta ha yang dijadikan kawasan budidaya. Sedangkan sebanyak 8,3 juta ha ditetapkan sebagai kawasan non budidaya. Tetapi faktanya kegiatan budidaya mencapai 12 juta ha. 

Nico berharap pemerintah melakukan audit lingkungan terhadap perusahaan yang mendapatkan perizinan. Hasil audit ini kemudian menjadi dasar untuk melakukan revisi terhadap perizinan dan RTRW. 

“Tahun 2016 kami dapat data bahwa banyak perusahaan yang belum mengelola lahan seperti tertera di izin. Misal dari 10 ribu ha, mereka baru mengelola 6 ribu ha, dampaknya seperti ini. Makanya ini harus direvisi,” ucap dia.